[Nusantara] Ke Mana Arah Reformasi Pendidikan Tinggi Kita?

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Dec 17 09:24:44 2002


Ke Mana Arah Reformasi Pendidikan Tinggi Kita? 

REFORMASI pendidikan tinggi agaknya masih berjalan
jauh dari yang diharapkan. Tahun ini, hampir tidak ada
fokus bagi institusi pendidikan tinggi nasional untuk
memperkuat posisinya dalam persaingan penyiapan
kualitas sumber daya manusia Indonesia. Hampir tidak
terlihat usaha yang signifikan untuk memperbaiki
proses pembelajaran, penelitian, dan usaha membangun
kekuatan untuk berkompetisi dengan institusi
pendidikan asing. 

Padahal, sejak beberapa tahun terakhir, institusi
pendidikan tinggi asing sudah mulai mengintip pasar
pendidikan di Indonesia, terutama Australia. Negara
tetangga yang berada di sebelah selatan Indonesia ini
setiap tahunnya berusaha menawarkan lembaga pendidikan
yang bermutu pada warga negara Indonesia. Bahkan,
bukan hanya mutu pendidikan yang ditawarkan, tetapi
juga kesempatan kehidupan di lingkungan masyarakat
maju di negara mereka bagi orang-orang yang
berprestasi tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan. 

Di tengah situasi semacam itu, institusi pendidikan
tinggi nasional masih berkutat pada masalah-masalah
klasik. Sebutlah soal pembiayaan perguruan tinggi,
sebuah persoalan riil yang cenderung dijadikan
pembenaran atas kemerosotan kualitas pendidikan.
Sementara persoalan manajemen perguruan tinggi yang
lebih independen, dan daya saing lulusan perguruan
tinggi nasional yang menghadapi persaingan tenaga
kerja di era global, sepertinya malah tidak pernah
dihiraukan. 

Hampir tidak ada usaha gigih yang dilakukan kalangan
pengelola institusi pendidikan untuk keluar dari
kegiatan pendidikan yang cenderung menjadi sebuah
rutinitas. Meminjam ungkapan Menteri Pendidikan
Nasional (Mendiknas) Abdul Malik Fadjar, proses
pendidikan kita sekarang cenderung berjalan menjadi
mekanis dan tidak lagi mempunyai semangat pedagogis.
Padahal, semangat pedagogis itu sangat dibutuhkan
untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional. 

Selain itu, persoalan hubungan antara tanggung jawab
negara untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu
bagi warga negaranya di satu sisi, dan tanggung jawab
institusi pendidikan tinggi nasional pada kualitas
lulusannya di sisi lain, belum memperlihatkan kemajuan
yang cukup berarti. Akibatnya, tidak ada kesamaan
gerak langkah untuk menyelesaikan persoalan
peningkatan mutu pendidikan. 

MEMANG, tidak sedikit tantangan yang dihadapi lembaga
pendidikan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri
(PTN), yang sedang berusaha mengubah paradigma
pengelolaan manajemennya; dari sekadar menunggu
instruksi menjadi sebuah lembaga yang mandiri dan
memiliki inisiatif serta kebebasan untuk berekspresi
mengembangkan bidang keilmuan yang dimilikinya dengan
kekuatan anggaran yang dipunyainya. 

Persoalan ini juga dihadapi oleh PTN yang telah
berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Secara
hukum, PTN BHMN sudah memiliki kemampuan untuk mandiri
dan diperbolehkan melakukan inisiatif bidang keilmuan
dan pengelolaan keuangan. Mendiknas dan Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi dalam banyak kesempatan
juga menaruh harapan besar kepada PTN dengan status
BHMN, terutama agar pengelolaannya dilakukan secara
kreatif dan penuh inovatif. Akan tetapi, dalam
pelaksanaannya ternyata PTN BHMN harus dihadapkan pada
berbagai kendala yang justru datang dari pemerintah. 

Rektor Universitas Indonesia (UI) dr Usman Chatib
Warsa PhD SpMK melihatnya sebagai ketidakkonsistenan
dari aturan pemerintah sendiri. Pelaksanaan aturan
yang memuat ketentuan tentang BHMN belum konsisten
dengan aturan lainnya yang dianggap masih berlaku.
Akibatnya, PTN yang menerapkan model pengelolaan BHMN
tidak bisa berbuat banyak. Keluwesan dalam pengelolaan
PTN yang diharapkan dari status BHMN masih terkungkung
oleh aturan yang berkaitan dengan aspek legal,
finansial, dan manajemen sumber daya manusia (SDM). 

UI, misalnya, meskipun statusnya sudah BHMN, masih
kesulitan dalam mengelola keuangan sendiri. Ada aturan
lain yang masih mengikat, seperti keharusan
menyerahkan dulu penghasilan yang didapat ke Kantor
Kas Negara. Padahal, keuangan dengan status BHMN
seharusnya diberikan secara block grant dan dapat
mengelola secara mandiri. 

Contoh lain, dalam manajemen SDM, UI tidak bisa
memperpanjang masa kerja guru besar, padahal
kekurangan guru besar saat ini merupakan problem riil
yang harus segera diatasi. Usaha untuk menambah guru
besar sulit dilakukan karena harus mengikuti aturan
pola lama, seperti kriteria pengangkatan guru besar
dan dukungan dananya yang masih mengikuti pola lama. 

Keinginan PTN yang berstatus BHMN agar ada konsistensi
dalam aturan yang dibuat pemerintah sendiri bukanlah
keinginan yang berlebihan. Memang, implikasinya tidak
hanya Depdiknas yang harus terlibat, tetapi juga
departemen pemerintah lainnya juga harus mendukung
status BHMN. 

Dalam sebuah pertemuan di UI, yang kemudian
menghasilkan Kesepakatan Depok, muncul keinginan kuat
untuk lahir sebuah Undang-Undang (UU) Perguruan Tinggi
BHMN yang bisa dijadikan landasan hukum bagi PTN yang
berstatus BHMN saat ini. UU ini diharapkan bisa
menjadi sarana untuk mempertemukan peraturan yang
selama ini masih saling bertabrakan. Untuk itu, aspek
legal yang berkaitan dengan status BHMN dan tertuang
dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 dan 61 Tahun
1999, dan PP Nomor 152, 153, 154, dan 155 Tahun 2000,
perlu diamandemen. Pasalnya, banyak bagian dari aturan
tersebut yang tidak bisa dioperasionalkan. 

Sayangnya, PTN yang berstatus BHMN sendiri belum
secara konkret menetapkan bagian mana atau pasal-pasal
mana saja yang perlu diubah dan belum memiliki usul
perubahannya. Empat PTN yang berstatus BHMN-UI,
Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi
Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor
(IPB)-ternyata baru sampai tahap merasakan hal-hal
yang kurang pas dalam penerapan BHMN selama ini,
terutama terkait dengan masalah finansial, SDM, dan
aspek legal status hukum BHMN. 

Dirjen Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro
mengakui, perguruan tinggi di Indonesia perlu
melakukan introspeksi melihat di mana posisinya saat
ini berada. Perguruan tinggi juga perlu menyadari
bagaimana kondisi mutu dirinya dan lulusannya dalam
konteks persaingan global. 

"Saya melihat masih banyak yang harus dibenahi untuk
memperbaiki mutu pendidikan tinggi. Juga yang
terpenting adalah bagaimana cara pengelolaan perguruan
tinggi," ujarnya. 

Menurut Satryo, pengelolaan perguruan tinggi tidak
hanya dilakukan seperti sebuah sekolah, bukan juga
sebuah kantor pemerintahan yang sepi dari kegiatan
kreatif. Ia adalah institusi yang penuh dengan
pengembangan ilmu pengetahuan. Karena itu, pengelola
perguruan tinggi harus memperbaiki dirinya sendiri dan
sistem yang dipergunakan untuk mengelola secara
profesional. Harus ada kesadaran untuk mengembangkan
pola pengelolaan perguruan tinggi yang sebetulnya.
Bukan sekadar untuk mencari keuntungan bagi
universitas dengan merekrut mahasiswa sebanyak
mungkin, tetapi tidak mempedulikan bagaimana kualitas
lulusan dan kebutuhan pasar tenaga kerja. 

SEPERTI diketahui, ASEAN Free Trade Area (AFTA) sudah
akan dimulai awal tahun 2003. Seharusnya, situasi
persaingan global semacam ini sudah diantisipasi oleh
perguruan tinggi. Permintaan pelayanan jasa pendidikan
tidak lagi terbatas pada wilayah lokal, tetapi
konstituennya sudah meluas melewati batasan-batasan
negara. Munculnya konstituen pendidikan baru yang
melewati batas negara ini, disadari atau tidak, telah
menciptakan pasar global penyediaan jasa pendidikan
dan menjadi tantangan lembaga pendidikan. 

Pasar global ini tentu saja melahirkan
tuntutan-tuntutan baru pada institusi pendidikan.
Salah satu pemicu tuntutan itu adalah pencapaian
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang
berkembang semakin cepat. Bahkan, perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi telah mengikis
batas-batas negara dan membantu menciptakan jaringan
internasional. 

Pasar global jasa pendidikan merupakan kesempatan emas
sekaligus tantangan terbesar yang harus dihadapi
institusi pendidikan tinggi di masa depan. Pasar ini
telah menciptakan persaingan global bagi institusi
pendidikan tinggi. Implikasi persaingan global ini
bukan saja dihadapi lembaga pendidikan tinggi, tetapi
juga lulusan perguruan tinggi tersebut juga harus
bersaing ketat. Mereka harus memperebutkan setiap
kesempatan kerja yang ada dengan pesaing yang tidak
hanya dari negaranya, tetapi juga internasional. 

Persoalannya, mampukah institusi pendidikan tinggi
kita memenuhi tuntutan pasar global? Mampukah lembaga
pendidikan menyediakan layanan yang berkualitas, bisa
memberikan nilai tambah pada kalangan bisnis, dan
tidak meninggalkan masyarakat setempat. Siap atau
tidak, tampaknya lembaga pendidikan harus berhadapan
dengan pasar global ini. 

Untuk bisa bertahan hidup, institusi pendidikan harus
menunjukkan keunggulannya. Apalagi saat ini penyedia
jasa pendidikan tidak hanya dilakukan oleh universitas
yang sudah diakreditasi. Institusi kursus swasta yang
didirikan oleh kalangan industri, sebutlah seperti
Microsoft Certification Course, ijazahnya dapat diakui
di seluruh dunia. 

Kenyataan ini bukan tidak disadari oleh sebagian
perguruan tinggi. UI, misalnya, kini sudah mulai
dengan mendatangkan eagle dunia bisnis untuk mengajar
di kampus. UI juga sudah menggaet industri untuk
mendukung kerja sama dengan universitas luar negeri
yang bermutu, seperti Havard University dari Amerika
Serikat. Kerja sama itu dilakukan dengan
menyelenggarakan sebuah mata kuliah yang diajarkan
langsung oleh dosen dari Havard University. 

Ada banyak jalan dengan beragam kemungkinan yang bisa
dipergunakan untuk memperbaiki kualifikasi perguruan
tinggi nasional. Bukan saja seperti yang dilakukan UI,
tetapi universitas harus kreatif mencari jalannya
sendiri. Pasti ada titik temu antara sektor pelatihan
dan kebutuhan tenaga kerja dengan universitas yang
melahirkan inovasi baru dalam bidang keilmuan. 

Persoalannya ke depan adalah bagaimana meyakinkan
institusi pendidikan tinggi nasional agar tidak selalu
terjebak pada kursi menara gading. Bagaimana mendorong
universitas untuk selalu dekat dengan stakeholders-nya
sehingga lulusannya pun diterima masyarakat. Bagaimana
pemerintah membuat sebuah sistem pendidikan nasional
yang bisa mendorong munculnya inovasi baru di berbagai
bidang keilmuan, memberikan pemecahan pada berbagai
soal yang dihadapi bangsa, dan berbuat sesuatu di
forum tingkat internasional.(Imam Prihadiyoko) 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com