[Nusantara] Merefleksikan Persoalan Pendidikan Nasional

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Dec 17 09:24:48 2002


Merefleksikan Persoalan Pendidikan Nasional
Oleh Prof Suyanto PhD 

TAK lama lagi kita akan meninggalkan tahun 2002,
kemudian memasuki tahun baru 2003. Pergantian tahun
memang merupakan hal yang alami, bagaikan pertambahan
usia manusia yang semakin menua, tidak bisa dicegah
oleh kekuatan apa saja. Meskipun demikian, bukan
berarti kita akan memasuki tahun 2003 dengan bebas
persoalan di sektor pendidikan nasional. Tahun 2003
masih dan tetap akan dipenuhi banyak persoalan yang
amat pelik, yang kalau mau dipecahkan mustahil
persoalan itu akan bisa selesai ditangani oleh
Departemen Pendidikan Nasional plus semua kekuatan
sektor pendidikan yang ada di semua pemerintah daerah
di era desentralisasi ini dalam waktu dua atau tiga
tahun mendatang. 

Persoalan-persoalan rumit yang tetap menghadang
pendidikan kita masih saja akan berkisar pada aspek
kualitas, relevansi, dan peningkatan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Dari aspek kualitas, pendidikan kita memang
sungguh sangat memprihatinkan: terutama pendidikan di
luar Jawa, yang jika dibandingkan dengan pendidikan di
Jawa memiliki kesenjangan yang amat lebar, meskipun
hal ini bukan berarti pendidikan di Jawa sudah
memiliki kualitas yang memadai. Persoalan ini sungguh
menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi
pemerintah untuk mempersempit kesenjangan kualitas
antara Jawa-luar Jawa dan desa-kota. Terlebih-lebih
dengan adanya perkembangan teknologi informasi yang
demikian pesat, kesenjangan kualitas pendidikan akan
semakin terbuka sangat tajam. Kalau hal ini tidak
diatasi, dalam jangka panjang akan berakibat pada
kesenjangan sosial, yang pada akhirnya akan menjadi
benih-benih persoalan di bidang politik maupun
ekonomi. 

Dari aspek relevansi, pendidikan kita ke depan masih
harus mendapat sentuhan pengembangan yang lebih
serius. Saat ini telah digalakkan mengenai
pengembangan kurikulum berbasis kompetensi maupun life
skills di dunia pendidikan kita. Dengan pengembangan
itu, diharapkan relevansi hasil pendidikan terhadap
tuntutan zaman akan dapat ditingkatkan. Meskipun
demikian, pengembangan itu akan sia-sia manakala guru
dan kepala sekolah tidak memiliki profesionalisme yang
tinggi dalam melaksanakan kurikulum berbasis
kompetensi pada konteks pendidikan berbasis sekolah di
era desentralisasi ini. Bahkan, fenomena semakin
birokratisnya pemerintah daerah yang menghambat
perkembangan pendidikan juga muncul. 

Pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang sudah
berusia dua tahun belum menemukan bentuk mekanisme
kerja yang pas buat dunia pendidikan di berbagai
daerah. Persoalan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan mengalami kendala yang amat besar karena
adanya krisis ekonomi yang melanda negeri ini sejak
lima tahun yang lalu. Bahkan, saat ini anak-anak yang
drop out semakin bertambah, begitu pula penduduk yang
buta huruf. Paling tidak ada 6 juta anak tidak bisa
mengenyam pendidikan, dan 18,5 juta penduduk masuk
dalam kategori buta huruf secara alpabetikal. Jumlah
itu tentu akan terus bertambah jika pemerintah tidak
serius menanganinya. Ini semua sungguh akan tetap
menjadi persoalan yang amat pelik untuk bisa
dipecahkan di tahun 2003. 

Persoalannya sekarang ialah mengapa fenomena seperti
di atas terjadi pada negeri yang sebenarnya begitu
subur dengan kekayaan sumber alam yang cukup melimpah
dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita,
seperti Singapura maupun Jepang. Inilah pentingnya
bagi kita semua untuk melakukan refleksi mengenai
perjalanan pembangunan sektor pendidikan kita untuk
menyongsong kehadiran tahun 2003. 

Rendahnya komitmen 

Jika kita melakukan flash back terhadap sejarah
bangsa-bangsa yang sudah maju di dunia ini, ada satu
fenomena yang sama di antara mereka, yaitu sangat baik
dan kuatnya pembangunan sektor pendidikan mereka.
Dengan pendidikan yang baik, mereka mampu menyediakan
tenaga kerja yang terampil dan profesional, pengusaha
yang memiliki jiwa entrepreneur, bukan pengusaha yang
hanya mampu bertindak sebagai pedagang dan makelar
yang hanya suka cari keuntungan abnormal (supernormal
profit) dalam jangka pendek. Dengan pendidikan yang
baik, mereka akhirnya juga mampu mempersiapkan
pemimpin yang bijak, andal, bisa bicara, dan juga bisa
bekerja untuk kejayaan bangsanya: tidak sekadar
bicara, tetapi tidak ada kinerja yang bermanfaat bagi
kemakmuran bangsa dan rakyatnya, atau bahkan bicara
saja tidak bisa apa lagi berkinerja demi kemakmuran,
harga diri, dan martabat bangsanya. 

Bagaimana dengan sistem dan praksis pendidikan bangsa
kita? Sejak memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun
1945, bangsa ini sebenarnya telah berhasil merumuskan
niat dan tekad baik untuk mendidik dirinya sendiri.
Niat dan tekad itu dengan jelas dirumuskan dalam
Pembukaan UUD 1945, yang mengatur kehidupan berbangsa
dan bernegara, dengan menggunakan tiga kata kunci:
"... mencerdaskan kehidupan bangsa". 

Meskipun demikian, ternyata niat itu belum pernah
didukung dan ditopang oleh political will yang kuat
dari berbagai orde pemerintahan yang pernah ada. Sejak
merdeka sampai sekarang, pendidikan tidak pernah
menjadi panglima bagi pembangunan nasional. Akibatnya,
sumber daya manusia (SDM) Indonesia tidak memiliki
keunggulan kompetitif. Bahkan, untuk saat ini kualitas
pendidikan kita berada pada urutan ke-12 dari 12
negara di Asia. Kita ternyata sudah kalah dari
Vietnam, yang pada empat tahun yang lalu bangsa ini
masih ada yang mengungsi ke Pulau Galang di Batam. 

Terlebih-lebih jika dibandingkan dengan Korea Selatan,
kita berada pada urutan ke-12 di bawahnya, walaupun
negara itu pada tahun 1953 masih terlibat perang
saudara yang amat memilukan. Negara ini begitu selesai
perang saudara segera bangkit membenahi diri dengan
mengangkat sektor pendidikan sebagai prioritas utama
dalam membangun bangsanya. 

Begitu pula dengan Jepang, setelah bangsa ini hancur,
menderita kekalahan dalam Perang Dunia II, ia bangkit
melalui sektor pendidikan. Pendidikan dibangun dengan
besar-besaran melalui kesadaran budaya secara
sistematis. Bahkan, Kaisar Jepang pada waktu itu
bertanya kepada para pejabat penting yang menentukan
arah pembangunan Jepang pada era pascakekalahan Perang
Dunia II, yang secara metaporik mencerminkan betapa
tingginya komitmen Jepang pada pembangunan pendidikan.
Apa gerangan pertanyaan sang kaisar setelah menderita
kehancuran pasca-Perang Dunia II? Pertanyaan itu
sangat populer, yaitu berapa guru yang masih tersisa
hidup, bukan berapa tank dan tentara yang masih
tersisa. Ini semua menunjukkan betapa besarnya
komitmen bangsa Jepang terhadap kebangkitan bangsanya
yang didesain melalui pembangunan sektor pendidikan. 

Kita perlu merefleksi fenomena tersebut agar bangsa
ini ke depan memiliki keunggulan kompetitif yang bisa
diandalkan. Salah satu penyebab mengapa bangsa
Indonesia tidak mampu segera keluar dari krisis
ekonomi, jika dibandingkan dengan negara-negara lain
yang juga mengalami krisis ekonomi pada kurun waktu
yang sama seperti Korea Selatan, Malaysia, Thailand,
dan Filipina, juga disebabkan oleh rendahnya kualitas
SDM yang dimiliki. Oleh sebab itu, untuk ke depan,
bangsa ini harus benar-benar memberikan prioritas yang
tinggi pada investasi di sektor pendidikan. 

Masa depan bangsa 

Masa depan bangsa ini tidak akan cerah jika tidak
diperbaiki melalui perbaikan dan pembangunan sektor
pendidikan secara besar-besaran. Untuk menuju ke arah
itu sudah ada keputusan politik penting yang telah
menetapkan anggaran pendidikan yang sekurang-kurangnya
20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). 

Dengan besarnya anggaran itu, ada harapan pendidikan
bisa dibangun untuk pemberdayaan masyarakat secara
keseluruhan. 

Ke depan, dalam kurun waktu lima tahun ini, pendidikan
memerlukan investasi yang amat besar, terutama untuk
membangun kembali puluhan ribu gedung sekolah yang
tidak layak untuk proses belajar-mengajar,
mengentaskan kemiskinan sehingga terbuka peluang untuk
akses pada pendidikan bagi kelompok miskin yang
jumlahnya terus meningkat dari hari ke hari,
menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun,
meningkatkan profesionalisme guru, penyediaan buku
ajar, alat-alat laboratorium, komputer, dan
sebagainya. 

Dalam konteks global, pendidikan kita ke depan harus
mampu menanamkan nilai-nilai entrepreneurship, trust,
kreativitas, toleransi, empati, dan budaya dialog.
Aspek itu penting untuk dikuasai semua siswa karena di
era global kita harus mampu berperan aktif dan
pro-aktif dalam model hidup yang mengandalkan
networking dalam sistem ekonomi yang memiliki
ciri-ciri: conectivity, speed, dan intangible.
Konsekuensinya, pendidikan harus mampu memberdayakan
peserta didik agar memiliki kemampuan berkomunikasi
secara global dalam sistem networking. 

Oleh karena itu, para siswa kita ke depan harus mampu
menguasai teknologi informasi dan bahasa asing, di
samping kemampuan intelektual dasar yang harus mereka
miliki. Dengan kemampuan itu, baru kita bisa berharap
bangsa ini memiliki unggulan kompetitif di
tengah-tengah kehidupan pasar global. 

PROF SUYANTO PhD Rektor Universitas Negeri Yogyakarta,
alumnus Boston dan Michigan State University, USA 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com