[Nusantara] Bangsa "Buta Sejarah"

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Dec 17 09:24:40 2002


Bangsa "Buta Sejarah" 

Rachmat H Cahyono 

Pernah sebagai wartawan, saya bersama seorang teman
terlibat dalam percakapan mengasyikkan dengan
sastrawan besar Pramudya Ananta Toer. Pramudya
merupakan salah satu ikon dalam sejarah sastra
Indonesia modern. Pengalaman dan pilihan hidupnya
sebagai pengarang adalah juga cerminan salah satu
babak paling muram dalam sejarah hidup bangsanya. Ia
kaya dengan pengalaman kehilangan kebebasan,
penindasan, dan hak-hak sipil sebagai warga negara-
terlepas dari benar tidaknya pilihan hidup yang
dijalaninya di masa silam. Pram merasakan pengalaman
sebagai orang tertindas dalam tiga zaman berbeda:
zaman revolusi kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru.
Namun, segala pengorbanan itu tak mengusir perasaan
bersalah dalam diri Pram. 

"Saya ini dari generasi yang gagal," kata Pram yang
lahir tahun 1925 sehingga bisa dikategorikan Angkatan
'45 dengan suara lirih. "Dulu yang dicita- citakan
pada zaman revolusi adalah negara demokratis dan
modern. Apa yang terjadi sekarang? Demokratis tidak.
Jangankan modern, tapi malah biadab." Saya terdiam.
Kata-kata Pram terdengar keras, langsung menohok hati.
Ia melanjutkan perkataannya, "Betapa rendahnya budaya
kita. Rendah sekali. Saya mengerti jarak kita sekarang
ini dengan masa kanibalisme belum satu setengah abad.
Mengapa orang mudah sekali membunuh. Jarak budaya
kanibalisme itu masih dekat sekali," katanya mencoba
menyimpulkan. 

Saya termenung. Jika Pram yang begitu banyak berkorban
masih merasa bersalah, bagaimana dengan saya?
Bagaimana dengan kita? Seringkali kita bingung dengan
paradoks semacam ini: katanya bangsa ini bangsa
beradab dan berbudaya tinggi. Namun kadang-kadang saya
terpaksa percaya bahwa kenyataan "jauh panggang dari
api". Sebab, siapa lagi yang mengiringi pergantian
pemimpin nasionalnya, baik pada masa peralihan Orde
Lama ke Orde Baru maupun pasca-Orde Baru, dengan
didahului jatuhnya korban jiwa dan harta benda
rakyatnya? Di negeri ini, hal semacam itu berulang
kali terjadi-bahkan sejak ratusan tahun lalu (ingat
episode berdarah pergantian tahta raja-raja di Jawa). 

Dalam buku Menjadi Indonesia, Parakitri dengan bagus
menggambarkan sifat- sifat kekuasaan lokal di
Nusantara yang terpusat di tangan raja, dan tampaknya
rendah tingkat kelembagaan dan kepastiannya, keras
penggunaannya, bahkan berdarah. Juga dipaparkan
bagaimana kekuasaan itu runtuh, bukan terutama karena
hantaman kekuasaan Barat, tapi justru karena
sifat-sifatnya tadi itu. 

Padahal, di zaman modern banyak negara mengganti
presiden atau kepala pemerintahannya sama mudahnya
dengan mengganti kaos kaki, melalui sebuah proses yang
demokratis pula. Tampaknya, ada di antara bangsa kita
telanjur terbiasa bersikap dikotomis dan apriori.
Seolah-olah ada dinding tak terlihat antara "kita" dan
"mereka". Kita terjebak dalam penyeragaman cara pikir
dan sudut pandang. Akibatnya, pemaknaan sempit dalam
menghayati aliran politik dan pemikiran yang berbeda,
agama yang dianut, atau keragaman kultur, menyebabkan
meluasnya sentimen pada berbagai bidang kehidupan. 

Batas "kita" dan "mereka" makin meruncing, tidak hanya
sebatas perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan,
tapi sudah menyangkut hal-hal seperti "apa partaimu",
"apa institusimu" -bahkan yang remeh-temeh dan lebih
tidak penting dari itu, seperti "apa sekolahmu" atau
"apa kampungmu" (yang menyulut tawuran antarpelajar
atau tawuran antarkampung). Begitu pula ketika kita
bicara tentang kekuasaan. Baik Soekarno, Soeharto,
Habibie, bahkan Gus Dur dan Megawati kini, menonjol
dengan ciri dikotomi dan apriorinya. Wacana para
pemimpin pun baru sebatas "kita" dan "mereka".
Akibatnya, rakyat kerap terjerembab dalam egoisme
politik para pemimpinnya. 

Kita juga menghadapi budaya radikalisme yang diam-diam
tumbuh dalam masyarakat. Konflik bersenjata dan kasus
pengeboman di berbagai tempat yang menelan korban
orang-orang tidak berdosa, membuktikan hal itu. Telah
muncul kelompok-kelompok ekstrem dan radikal yang
tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan
mengorbankan orang tidak berdosa untuk mencapai
tujuannya. Akhirnya, rakyat pun juga belajar
menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan
mereka sehari-hari. 

Mutlaknya Kekuasaan 

Kondisi menyedihkan itu secara tidak langsung
mengingatkan saya pada mutlaknya paham kekuasaan dalam
budaya Jawa. Budaya itu harus disebut secara khusus di
sini, karena suka atau tidak suka, Jawanisasi di
berbagai bidang telanjur berlangsung subur dan
berakar, khususnya pada rentang panjang 32 tahun masa
Orde Baru. Kekuasaan mutlak ala budaya
Jawa-Mataram-pedalaman, bukan Jawa pesisir yang
cenderung lebih egaliter-menghendaki penyeragaman dan
tidak membuka ruang publik untuk sekadar berbeda
pendapat. Raja hanya satu tingkat di bawah Tuhan. 

Kita lupa mensyukuri sunnatullah, ketetapan Tuhan,
yang memberi anugerah keragaman suku, agama, adat
istiadat, budaya, keanekaragaman hayati terhadap
Indonesia. Semua hal diseragamkan, untuk memudahkan
kontrol negara terhadap masyarakat. Tak pernah
berlangsung keseimbangan dialektika antara negara di
satu sisi dengan masyarakat di sisi lain. Selama
bertahun-tahun bangsa ini tak pernah diberikan
kesempatan oleh para elitenya untuk bisa belajar
dewasa, belajar mengelola konflik dan mensyukuri
perbedaan secara terbuka. Akibatnya, ya harus kita
rasakan sekarang ini. Kita belum kunjung bisa
melepaskan diri dari krisis multidimensional yang kita
hadapi dalam beberapa tahun terakhir. 

Tentu saja, tanggung jawab budaya kolektif itu
sebagian dapat dipahami sebagai akibat pembelengguan
berabad-abad oleh kaum ningrat pribumi serta
kekuasaan-kekuasaan kolonial asing. Bangsa ini
telanjur mengalami penghinaan berabad-abad terhadap
harkat kemanusiaannya. Simak saja karya sosiolog
Belanda Jan Breman tentang politik kolonial pada awal
abad ke-20 yang merendahkan harkat kuli kontrak di
Sumatera setara dengan hewan penarik beban. 

Potret dahsyat kepahitan hidup bangsa ini juga bisa
disimak dari novel Multatuli, Max Havelaar, tentang
nasib petani di Banten pada abad ke-19. Celakanya,
selalu saja ada lapis sosial elite bangsa sendiri yang
bekerja sama dengan kekuatan asing dalam menginjak dan
merendahkan harkat dan martabat bangsa sendiri. Ah,
kalau sedang suntuk begini, lebih menyenangkan
mengenang tokoh, seperti Romo Mangun. Ya, tiba-tiba
saja saya teringat mendiang Romo Mangunwijaya, yang
dengan indah mempersembahkan hampir seluruh
kehidupannya untuk kemanusiaan. 

Dalam salah satu tulisannya yang berisi harapan
tentang perjalanan sebuah bangsa, Romo Mangun
menyimpulkan, "Ada ups and downs dalam perjalanan
sejarah itu, bahkan sering jurang mengerikan menganga,
tetapi garis besar efektif naik ke wilayah
keseimbangan antara kemerdekaan dan keterikatan, baik
kolektif maupun individual. Namun keterikatan arif
justru memekarkan kemerdekaan, sehingga keterikatan
itu bukan beban, melainkan kegembiraan, kebanggaan,
kehormatan, sumber pemekaran diri. Itulah ideal semua
masyarakat dan nasion yang pastilah tidak dapat
tercapai sekali jadi, namun suatu rangkaian perjuangan
yang tidak ringan namun pasti lagi mulia." 

Setuju Romo (beristirahatlah dalam damai). Karena itu,
ada baiknya kita sama- sama merenung sejenak:
sepertinya bangsa ini butuh pahlawan-pahlawan baru di
berbagai bidang, para pembebas yang menularkan jiwa
merdeka kepada lingkungan terdekatnya. Mereka yang
dengan sungguh-sungguh berjuang membangun kultur baru
yang sesuai dengan harapan masa depan, dan memulihkan
kembali hakikat kemanusiaan bangsa ini sesuai
kapasitas masing-masing. Kalau tidak, kita akan tetap
menjadi bangsa "buta sejarah", bangsa pecundang yang
gagal membaca dan belajar dari perjalanan sejarahnya
sendiri. 

Penulis adalah pengarang dan pemerhati masalah sosial
budaya. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com