[Nusantara] Kunang-Kunang Kebenaran di Langit Malam

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Dec 17 09:24:34 2002


“Kunang-Kunang Kebenaran di Langit Malam” 
(Tinjauan Buku Korban G30S) 
Oleh: Harsutejo 

Benarkah Hanya Pengungkapan Kebenaran? 

Pada 1 Oktober 2002 yang lalu telah diluncurkan buku
tersebut di atas yang merupakan “Tuturan Anak-anak
Pahlawan Revolusi, Keluarga Korban, dan Saksi pada
Peristiwa Dini Hari, 1 Oktober 1965” sebagai tercantum
dalam sub-judulnya. Buku yang dicetak rapi ini
diterbitkan oleh Keluarga Pahlawan Revolusi, Jakarta
dalam 227 & xvi halaman, cetakan kedua Oktober 2001. 

Dalam situasi dengan khasanah yang kian kaya dalam
penerbitan sejarah seputar G30S, buku ini hanya
ditopang oleh 4 (empat) sumber (masa) Orde Baru yakni
koran Berita Yudha 17 Oktober 1965, Dokumen Terpilih
G30S/PKI Dinuth, majalah Sarinah no.131 1987, dan buku
30 Tahun Indonesia Merdeka terbitan Sekneg sebagai
tercantum dalam daftar pustaka (h.227). Selanjutnya
adalah kesaksian narasumber para anak jenderal yang
menjadi korban yang menyaksikan penembakan ayah
mereka, atau penculikan ayah mereka atau pengawal
dalam hal di rumah Jenderal Nasution dan penembakan
yang mengenai Ade Irma, setidaknya mendengar tembakan
dan keributan di rumah mereka. 

Dalam hal di rumah Jenderal S Parman catatan itu dari
keluarga bukan anaknya karena ia tidak mempunyai anak,
dalam hal Kapten Tendean ditulis adiknya yang hanya
mengetahuinya dari cerita. Mereka itu ketika kejadian
berumur antara 5 sampai 19 tahun, umumnya mengaku
tidak tahu politik ketika peristiwa terjadi. Sulit
berharap lebih banyak dari buku dengan kepustakaan
yang miskin ini. Dan yang miskin itu pun berasal dari
koran seperti Berita Yudha (BY) Oktober 1965, yang
kita kenal selama 1965/1968 berduet dengan koran
Angkatan Bersenjata (AB) dan koran lain memuat begitu
banyak dongeng fitnah jorok terutama terhadap Gerwani
dan Pemuda Rakyat serta berbagai macam berita bohong. 

Lalu kumpulan dokumen terpilih oleh Alex Dinuth,
dipilih berdasarkan kepentingan rezim Orde Baru,
misalnya kita tak bisa berharap menemukan SP 13 Maret
1966 yang membatalkan SP 11 Maret. Buku ini secara
konsisten menggunakan istilah resmi rezim Orde Baru
G30S/PKI, yang mengandung arti G30S identik dengan
PKI. Jadi versi resmi Orba ini masih tetap
dikukuhinya, sesuatu yang telah mendapat bantahan
dalam studi akademik dari berbagai macam pakar dalam
dan luar negeri seperti tulisan-tulisan Benedict
Anderson, Peter Dale Scott, WF Wertheim, Coen
Holtzappel, Michael van Langenberg, Dr Asvi Warman
Adam dsb. 

Bantahan itu pun juga dilakukan oleh para pelaku
sejarah, dari Kolonel Latief, Omar Dhani, Subandrio,
Manai Sophiaan, Maulwi Saelan dsb. Hal ini kemudian
diperkaya pada 2001 dengan pembukaan dokumen rahasia
CIA yang bersangkutan dengan Indonesia periode
1964-1968 sebanyak 600 halaman diterbitkan oleh US
Government Printing Publication (telah diterjemahkan,
Dokumen CIA, Melacak Pernggulingan Sukarno dan
Konspirasi G30S 1965, Hasta Mitra, Jakarta, 2002). 

Dokumen rahasia CIA telah memberikan sumbangan
signifikan terhadap kejelasan peristiwa G30S, kegiatan
gelap dinas rahasia ini selama bertahun-tahun serta
dalam hubungannya dengan lapisan kanan AD dan seputar
peristiwa itu. Rupanya istilah G30S/PKI mengandung
nilai emosional, menjadi darah daging berkat brain
washing (cuci otak) luar biasa yang dilakukan oleh
rezim Orba selama 30 tahun. Bahkan ketika mengutip
pengumuman RRI 1 Oktober 1965 pun beserta dekrit Dewan
Revolusi digunakan istilah G30S/PKI seperti
“Disebutkan bahwa Presiden Sukarno berada dalam
keadaan selamat di bawah perlindungan G30S/PKI. Suatu
Dewan Revolusi dinyatakan akan dibentuk...” dst (lihat
h. 124-126). 

Jelas ini fakta yang dimanipulasi sementara buku ini
mengklaim “Yang kami tuturkan di sini adalah kebenaran
peristiwa sejarah sebagaimana ia terjadi di rumah kami
masing-masing. Kebenaran yang kami ungkapkan melalui
tuturan buku ini adalah kebenaran sebagai pengalaman
yang kami alami sendiri” (h.ix). Selanjutnya mereka
menulis dilandasi “semangat kejujuran dan niat baik
bagi perjalanan bangsa ini” (h.xi). 

Mungkin sebagian besar di antara mereka tidak
menyadari bahwa dalam penulisan mereka telah dilakukan
penyesatan fakta sejarah tentang dokumen G30S yang
dapat disimak oleh siapa pun dari buku-buku yang
ditulis secara layak. Pada halaman yang sama diakui
bahwa “...peristiwa ini tak kunjung tersingkapkan...
G30S/PKI pada hakekatnya masih sebuah misteri. D

engan sekumpulan data yang faktual pun kekaburannya
tidak kunjung tercerahkan, apalagi jika kemudian
keterangan yang faktual bercampur aduk dengan yang
fiktif” (h.viii-ix). Studi sejarah peristiwa G30S
menunjukkan kebenaran kalimat terakhir ini. 

Fakta, Isu, Fiksi dan Analisis 

Pada pagi hari 1 Oktober 1965 terdapat tiga orang
jenderal AD yang dibunuh atau setidaknya ditembak di
rumahnya masing-masing, empat korban dibunuh di Lubang
Buaya. Pembunuhan itu dilakukan oleh pasukan militer
resmi yang tergabung dalam gerakan G30S bertentangan
dengan perintah komandan mereka Letkol Untung.
Pembunuhan itu dilakukan dalam keadaan tidak ada
ancaman yang serius yang tak teratasi. 

Dalam semua kesaksian para putera-puteri korban dan
yang lain semua menyebut pelakunya adalah pasukan
militer, “mereka berseragam Tjakrabirawa” (h.23),
“mereka memakai baret Tjakrabirawa” (h.37), “’Lho, kok
Tjakra?’ tanya Pak Parman” (h.57), “gerombolan tentara
bersepatu lars” (h.71), “diapit beberapa anggota
Tjakra” (87), dst semuanya menyebut anggota militer
sampai halaman 101, 108, 111, 120. Itu semua merupakan
fakta. Pada hari itu kira-kira jam 8.00 pagi Presiden
Sukarno datang ke PAU Halim sebagai bagian prosedur
baku untuk menyelamatkan presiden ketika dalam keadaan
bahaya, menemui tuan rumah Men/Pangau Laksdya Omar
Dani. Beliau diikuti dan memanggil sejumlah petinggi
negara. 

Panggilan terhadap Brigjen Umar Wirahadikusumah dan
Mayjen Pranoto Reksosamudro ditolak oleh Pangkostrad
Mayjen Suharto. Aidit, Ketua PKI ketika itu juga
berada di tempat lain di lingkungan PAU Halim. Ia
berhubungan dengan orang bernama Kamaruzaman alias
Syam, Ketua Biro Khusus PKI, suatu badan yang berada
di bawah Aidit pribadi yang tidak (banyak) diketahui
oleh pimpinan PKI lainnya. 

Syam yang misterius ini orang penting G30S,
diperlakukan sebagai anggota militer. Tiga pelaku
G30S, Letkol Untung, Kolonel Latief, Brigjen Suparjo
adalah anak buah atau bekas anak buah Mayjen Suharto,
berhubungan dekat dengannya. Latief menemui Suharto
4-5 jam sebelum terjadinya penculikan para jenderal.
Mayjen Suharto orang terpenting nomor dua AD sesudah
Jenderal Yani, namanya tidak tercantum dalam daftar
mereka yang harus ditangkap oleh G30S. 

Kantor PKI pada 1 Oktober 1965 buka seperti biasa
dengan kegiatan normal. CIA mengucurkan bantuan lewat
Adam Malik sebagai yang dimintanya sebesar Rp50 juta,
setara dengan US$1,2 juta (dokumen CIA 2001:379-380),
untuk membiayai demo anti PKI dan anti Presiden
Sukarno di Jakarta termasuk pembakaran sejumlah
bangunan. Itulah fakta-fakta sejarah yang kini sudah
diketahui. 

Dalam buku ini disebut isu penculikan jenderal oleh
Pemuda Rakyat (h.66, 108), isu ini merupakan fiksi.
Demikianlah isu bertebaran dari berbagai macam penjuru
dengan berbagai macam model menjelang tragedi G30S
1965. Dokumen CIA yang telah dibuka 1964-1968 berisi
banyak hal tentang penyebaran isu dan berbagai macam
kabar bohong, provokasi dan berbagai macam penyesatan
(disinformasi) yang lain yang sulit dilacak
asal-usulnya untuk menjatuhkan lawan-lawannya yang di
Indonesia ketika itu ialah Presiden Sukarno, PKI dan
gerakan kiri lainnya. 

CIA mempunyai semacam pabrik untuk hal khusus ini
dengan kumpulan berbagai macam pakar. Hal yang sama
terjadi dengan dinas rahasia Inggris MI6.
Kesimpulannya semua dinas rahasia rupanya mempunyai
bagian untuk melakukan penyesatan terhadap
lawan-lawannya. Bagaimana dengan dinas intelijen sipil
dan militer yang pernah giat di Indonesia seputar
peristiwa itu? Sampai saat ini dokumen-dokumennya
belum pernah disiarkan. 

Sudah sejak 4 Oktober 1965 ketika terjadi pengambilan
jenazah korban G30S di Lubang Buaya Mayjen Suharto
memulai kampanye yang rupanya sudah dirancangnya
dengan rapi dalam situasi yang menimbulkan emosi
tinggi. “Jelas betapa kejam dan biadabnya aniaya yang
dilakukan oleh petualang-petualang G30S. Ketujuh
jenazah... ditemukan dalam keadaan tubuh yang jelas
penuh luka siksaan. Bekas luka di sekujur tubuh akibat
siksaan sebelum ditembak mati masih membalur pada
tubuh-tubuh pahlawan kita...” (Dwipayana 1 1991:8-9). 

“Komando” Suharto ini segera disambut oleh koran BY
5-10-1965 menulis tentang Jenderal Yani bahwa selama
dalam perjalanan terus menerus disiksa sampai ke
Lubang Buaya, sehingga tubuhnya tidak sempurna lagi.
Pada 7-10-1965 koran AB yang dikuatkan koran BY
menulis bahwa mata Jenderal Yani dicungkil. Pada
9-10-1965 koran BY memberitakan [ya berita! hs] kepala
Jenderal Suprapto remuk oleh penteror biadab.
Sementara Letnan Tendean disebut lehernya digorok,
matanya dicungkil. Hari berikutnya koran yang sama
memberitakan bahwa ada jenderal yang kelaminnya
dipotong. 

Pada 11-10-1965 koran AB milik Angkatan Darat ini
menulis panjang tentang kematian Letnan Tendean,
setelah diserahkan kepada Gerwani ia menjadi permainan
jahat perempuan-perempuan ini. Koran yang sama ini
pada 13-10-1965 memberitakan bahwa perempuan anggota
Gerwani dengan telanjang melakukan tarian harum bunga
di bawah pimpinan Ketua PKI Aidit dalam pesta pora
seks jorok sebagai puncaknya. Dinas Penerangan AD
26-10-1965 memberitakan apa yang disebutnya keterangan
Nyonya Jamilah (15 tahun), pimpinan Gerwani Pacitan
yang datang ke Lubang Buaya dan menerima pembagian
pisau kecil dan silet bersama 100 anggota Gerwani. 

Atas perintah mereka memotong-motong kemaluan para
jenderal dan menyayat tubuhnya. Itulah sederetan kecil
dongeng horor fitnah keji berbau seks yang dipandegani
oleh pihak militer AD beserta corongnya yang kemudian
diikuti oleh seluruh media massa termasuk radio dan
televisi ketika itu. Visum et Repertum Dokter
Membantah Telak Fitnah Buku Kunang-Kunang...
mendasarkan gambaran keadaan jenazah pada keterangan
seseorang yang bernama Oon Sukarto yang dimuat koran
[tak disebut koran mana dan kapan] yang memandikan
jenazah dari jam 19.00 sampai 24.00. 

Disebutkan bahwa “terlihat jejak-jejak luka yang
sangat berat. Ada bekas-bekas sayatan, ada bekas-bekas
pukulan benda tajam, ada pula bekas-bekas tembakan”
(h.156-157). Keterangan yang begitu penting didasarkan
hanya pada sumber koran yang tidak jelas dan
narasumber yang tidak jelas pula sosoknya. Suatu luka
itu terjadi sesudah orang jadi mayat atau sebelumnya
memerlukan keterangan seorang ahli, apalagi keterangan
seperti sayatan, pukulan benda tajam dsb. Hanya dokter
yang mempunyai keahlian yang dapat memberikan
keterangan yang sahih pula. Dan tim dokter semacam itu
memang sudah ditugaskan oleh pihak resmi. 

Betapa aneh bahwa para penulis tidak mencari
keterangan pada dokumen yang bersangkutan atau pada
dokter yang masih hidup, seolah malah ingin tetap
memelihara trauma kekejaman sadis dongeng Orba.
Autopsi jenazah para korban G30S dilakukan oleh tim
dokter atas perintah Mayjen Suharto dengan surat no.
Prin-03/10/1965 kepada kepala RSPAD. Tim terdiri dari
Brigjen Dr Rubiono Kertopati dengan anggota Kolonel Dr
Frans Pattiasina, Prof Dr Sutomo Cokronegoro, Dr Liauw
Yan Siang, dan Dr Lim Yu Thay. Mereka melakukan
tugasnya dari jam 16.30 4 Oktober sampai jam 24.30.
Visum et repertum menyebutkan bahwa tidak ada mata
korban yang dicungkil, kemaluan mereka utuh, 4 korban
berkhitan 3 tidak. 

Hasil pemeriksaan menyebutkan bahwa 6 korban meninggal
karena luka tembak, sedang luka Jenderal Haryono
berupa sobekan panjang dan dalam pada perut, mungkin
oleh bayonet. Tidak sepatah pun disebut adanya
siksaan. Pemeriksaan jenazah setelah penggalian 75 jam
sesudah penguburan dalam sumur, dalam iklim tropis
maka jenazah sudah dalam keadaan rusak membusuk. 

Publikasi pertama yang dilakukan oleh Benedict
Anderson ini dibenarkan oleh dokter yang melakukan
autopsi yang masih hidup ketika Suharto telah turun
panggung. Gambar-gambar jenazah semacam itu yang
disiarkan secara luas oleh media massa saat itu yang
memancing emosi tinggi lebih lanjut. Dan gambar-gambar
itu pula termuat lagi dalam buku
Kunang-Kunang...(h.218-224). 

Laporan pemeriksaan dokter ini tidak pernah diumumkan
secara resmi oleh pemerintah Orba sampai kejatuhan
rezim Jenderal Suharto (juga sampai detik ini pun
akhir tahun 2002). Mudah sekali dimengerti karena ia
akan menelanjangi propaganda fitnah keji rezim militer
Orba selama ini. Laporan asli dokter itu merupakan
lampiran berkas dokumen asli Mahmillub dalam kasus
Letkol Pnb Heru Atmojo sebanyak beberapa kg yang pada
1970-an diserahkan oleh orang-orangnya Jenderal Benny
Murdani di CSIS kepada Mc Turnan Kahin dan Ben
Anderson, kini disimpan di Cornell University, AS
(Anderson 1996:1). 

Jenderal Nasution dalam pemakaman para korban di
Kalibata pada 5 Oktober 1965 menyatakan bahwa fitnah
lebih kejam daripada pembunuhan (Nasution 6 1988:284)
dikutip juga oleh buku ini (h.167). Benar sekali,
dongengan horor penuh fitnah keji yang seperti banjir
tersebut di atas diikuti oleh pembunuhan dan
pembantaian ratusan ribu atau jutaan rakyat Indonesia
yang tidak bersalah yang dituduh terlibat G30S,
terlibat PKI, atau Gerwani, atau pengikut Bung Karno
dsb. Ratusan ribu dipenjarakan bertahun-tahun, dibuang
ke Nusakambangan, Plantungan, Pulau Buru dsb. 

Satu lapisan rakyat Indonesia sejak itu menjadi warga
negara kelas kambing yang terus menerus
didiskriminasikan termasuk yang ada di luar negeri,
bahkan sampai detik ini! Buku Kunang-Kunang...
selanjutnya mencatat ”..horor dan teror yang
diciptakannya sangatlah mengguncangkan... Kami tak
akan mungkin dan tak akan bisa melupakannya kapan
pun... Pada memori kami yang masih belia telah
terbentuk sebuah cetakan data yang dalam dan kuat,
yang tak mungkin lagi tersapu oleh waktu dan
perubahan” (h.10). 

Bagi mereka yang menyaksikan ayahnya bersimbah darah
ditembak tentu mempunyai akibat psikologis yang
mendalam. Tetapi saya menduga kuat bahwa anak-anak
para jenderal korban G30S yang ketika itu berumur
antara 5-19 tahun itu juga ikut menjadi korban dongeng
horor fitnah kejam yang menyeramkan dari media massa
ketika itu yang menyangkut orang-orang terhormat ayah
mereka. 

Secara psikologis hal ini sangat bisa dimengerti,
bahwa dongengan yang ketika itu diperlakukan sebagai
“kebenaran tak terbantahkan” itu mempunyai pengaruhnya
terhadap pembentukan memori anak-anak dan para remaja
itu di samping terhadap jutaan anak dan remaja
Indonesia yang lain. Apalagi dongengan itu
terus-menerus dikunyah selama 30 tahun kekuasaan rezim
Orba, bahkan diabadikan dalam film, buku-buku sejarah,
monumen Pancasila Sakti dst. Betapa dahsyat pengaruh
merusaknya. 

Saya yakin seorang psikolog seperti Doktor Nani Sutoyo
(putri almarhum Jenderal Sutoyo) paham benar akan hal
ini. Dengan demikian mereka bukan saja menjadi korban
karena dibunuhnya ayah mereka oleh G30S tetapi juga
korban propaganda dongeng horor fitnah rezim militer
Orba yang ikut memberikan cap pada memori mereka. Nani
Sutoyo menulis bahwa “melihat sejarah itu mestinya
dari perspektif kemanusiaan, yaitu karakter manusia
pelaku dan korbannya dan dampaknya terhadap kehidupan
masyarakat... kami melihat akan lebih baik dan lebih
lengkap jika digali sebanyak mungkin fakta dari
berbagai perspektif” (h.90). 

Alangkah eloknya jika ia (Doktor Nani Sutoyo) ikut
meminta perhatian akan fiksi yang menjadi monopoli
kebenaran rezim Orba dan menyebarkan fakta-fakta
sejarah G30S yang kini sudah lebih diperkaya kepada
teman-temannya sesama korban khususnya. Salah satu
contoh bagus untuk seorang psikolog adalah dongeng
horor alias fiksi yang sepenuhnya bohong dan merupakan
fitnah semata itu, apa dampaknya secara psikologis
bagi mereka. Apalagi penulisan mereka dilandasi oleh
“semangat kejujuran dan niat baik bagi perjalanan
bangsa ini” (h.xi). 

Di kemudian hari ada pengakuan mereka yang
bersangkutan dengan diciptakannya dongeng fitnah itu.
Sunario Sunarsal, redaktur rubrik hankam koran Berita
Yudha, atas pertanyaan menceritakan bahwa pada 4
Oktober 1965 malam hari (sesudah pidato Jenderal
Suharto di Lubang Buaya), Brigjen Ibnu Subroto, Kepala
Penerangan AD dan Pemimpin Redaksi BY memerintahkan
agar wartawannya menulis begitu rupa demi
membangkitkan semangat anti PKI pada rakyat [cetak
tebal hs] (Tempo 3-10-1999:49). 

Seperti kita ketahui Brigjen Ibnu Subroto ini orang
dekat Jenderal Suharto ketika itu. Dapat
diperhitungkan bahwa dongeng fitnah itu sudah
merupakan konsep matang untuk terus menerus
dikembangkan sebagai yang kita lihat dalam
perkembangan-nya kemudian. Hal ini seiring dengan yang
diperbuat CIA (lihat dokumen CIA). Jenderal Suharto
dan Para Jenderal Korban G30S Hari-hari setelah
penculikan dicatat buku ini “...di lapangan Jenderal
Suharto melakukan serangkaian manuver. Pencarian ayah
kami Jenderal A Yani dan para pembantunya ia jadikan
salah satu prioritas” (h.131). 

Benarkah hal itu menjadi prioritas Jenderal Suharto,
apakah ini bukan persepsi penulisnya? Adakah itu fakta
sejarah? Marilah kita lakukan tinjauan. Kita buka
catatan otentik yang dibuat Jenderal Suharto dalam
buku otobiografinya, Soeharto-Pikiran, Ucapan, dan
Tindakan Saya (1989) dan buku yang ditulis oleh
Brigjen G Dwipayana yang direstuinya, Jejak Langkah
Pak Harto, 1 Oktober – 27 Maret 1968 (1991). 

Selama tanggal 1 Oktober 1965 Jenderal Suharto
menunjukkan bahwa ia seorang yang serta merta sudah
tahu bahwa Jenderal Yani telah meninggal, jadi ia
langsung mengambilalih fungsinya sebagai prosedur
normal, ia bertindak begitu cepat, tidak
memperlihatkan keraguan apa pun sebagai yang dialami
semua pihak (lihat David Johnson 1976:13). Selama
tanggal 1 dan 2 Oktober 1965 Jenderal Suharto
melakukan serangkaian tindakan cepat di lapangan
seperti perebutan RRI, Telekom, dan pendudukan
Pangkalan Halim. Ia juga melakukan serangkaian rapat
dengan stafnya di Makostrad. 

Kedua buku itu tidak mencatat sepatah pun pembicaraan
maupun upaya untuk mencari dan menyelamatkan para
jenderal yang diculik, keadaan kritis sangat
berkejaran dengan waktu. Pembantu dekat Suharto
Kolonel Yoga Sugomo pun tidak menyebut sama sekali
tentang pencarian, penyelamatan, dan pembebasan para
jenderal yang diculik (lihat Memori Jenderal Yoga,
1990). Baru pada 3 Oktober 1965, “Minggu, 3 Oktober...
Sementara operasi pembersihan terhadap pemberontak
berjalan terus, Jenderal Suharto juga tanpa henti
mencari keterangan tentang nasib enam orang perwira
tinggi dan satu perwira pertama AD yang diculik..”
(Dwipayana:8). 

Hal ini juga sesuai dengan yang ditulis oleh buku
Kunang-Kunang... bahwa pada jam empat pagi 3 Oktober,
Kolonel Ali Murtopo, tangan kanan Jenderal Suharto
menelepon Mayor Bardi, ajudan Jenderal Yani,
mengabarkan bahwa Jenderal Yani sudah gugur (h.140).
Ketika itu Jenderal Suharto secara resmi telah
ditunjuk oleh Presiden Sukarno sebagai Panglima
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban setelah tekanan kuat
yang dilakukannya terhadap Presiden. 

Dengan demikian jelas bahwa selama dua hari prioritas
itu bukanlah melakukan pencarian dan penyelamatan para
jenderal yang diculik, akan tetapi antara lain adalah
melakukan berbagai manuver untuk menekan Presiden
Sukarno bagi memperkokoh kekuasaan dirinya. Agaknya
seperti ditulis oleh David Johnson, (Gestapu: The CIA
“Track Two” in Indonesia, 1976) Jenderal Suharto
nampak sudah tahu segala-galanya [termasuk nasib para
jenderal, buat apa bicara tentang pencarian dan
penyelamatan mereka]. 

Harapan 

Dalam bagian akhir buku ini ditulis tentang masalah
dimensi psikologis trauma masa lalu yang harus
diterima sebagai realitas kehidupan, berdamai
terhadapnya dan diri sendiri. Disebut juga tentang
penerimaan perbedaan yang sudah dipahami, yang harus
dipelajari, maupun yang dibencinya tetapi tidak harus
membenci manusianya (h.195). Mereka pun tidak
berpretensi menjadi kebenaran yang berdiri sendiri,
kebenaran yang diungkapkannya sebagai pengalaman
(truth as experience) dan bukannya yang diverifikasi
(truth as verification) (h.196) sebagai yang telah
dimonopoli penguasa Orba selama 30 tahun. 

Disebutkan bahwa dalam sejarah selalu ada sisi gelap
yang tak terungkap dan menjadi perdebatan akademik
(h.198). Dalam hal sejarah G30S lebih kental lagi
aspek gelap ini karena peristiwa tersebut tak dapat
dipisahkan dari perang dingin skala dunia yang
dahsyat, dan Indonesia menjadi salah satu arena
penting. Peran dinas rahasia dalam dan luar negeri
yang tak nampak sosoknya mendominasi perpolitikan dan
perkembangan situasi. Suka atau pun tidak kita
terpaksa harus menimbangnya dan menelusuri jejak
mereka untuk lebih memahami dan menempatkannya secara
proporsional. Porsi peran dinas rahasia ini pun sulit
untuk ditakar. 

Salah satu penutup buku menyebutnya sebagai refleksi
pribadi dalam upaya melakukan rekonsiliasi individual
(h.199). Alangkah eloknya jika hal itu diteruskan
dengan rekonsiliasi nasional untuk kepentingan hari
depan Indonesia bagi seluruh warganya tanpa kecuali
untuk bangkit dari keterpurukan di segala bidang.
Untuk itu diperlukan rumusan yang jelas dan persiapan
memadai. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com