[Nusantara] Dari Pelajaran Agama Menuju Insan

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Dec 17 09:24:24 2002


Dari Pelajaran Agama Menuju Insan Beragama 
Oleh Yonky Karman 

Pelajaran agama wajib dalam kurikulum sekolah dasar
hingga perguruan tinggi. Namun, pelajaran itu
sepertinya tidak berdampak pada perilaku tawuran
antarpelajar, pemakaian narkoba, dan gejala seks bebas
di kalangan muda. Bahkan diperhadapkan dengan problem
nasional yang lebih luas seperti pertikaian
antaretnis, pertikaian antarumat, kekerasan
horizontal, teror, dan budaya korupsi, kita patut
bertanya-tanya ”Apakah efek pendidikan agama?” 

Semua imoralitas itu berlangsung kian intensif
berbarengan dengan kemandulan pendidikan agama di
sekolah. Fenomena pendidikan agama itu tidak lain
cerminan problem hidup keberagamaan di Tanah Air yang
telah terjebak ke dalam formalisme agama. Pemerintah
merasa puas sudah mensyaratkan agama sebagai wajib
dalam kurikulum. Guru agama merasa puas sudah
mengajarkan materi pelajaran sesuai kurikulum. Peserta
didik merasa sudah beragama dengan menghafal materi
pelajaran agama. Semua pihak merasa puas dengan
obyektifikasi agama dalam bentuk kurikulum dan nilai
rapor. 

Memberagamakan dan Memanusiakan 

Mengikuti pelajaran agama tidak otomatis mencetak
insan beragama. Insan beragama adalah pribadi yang
mampu menghayati agama, menjadikannya semakin bertakwa
dan semakin manusiawi. Itulah fitrah manusia. Tujuan
agama adalah memanusiakan manusia. Ini bukan
tautologi. Lahir sebagai manusia adalah satu hal,
tetapi hidup sebagai manusia dalam martabatnya adalah
hal lain. 

Manusia berpotensi untuk melakukan kebaikan dan
keburukan, kesucian dan maksiat, kelembutan dan
kekerasan. Agama tidak mencampur aduk kedua kutub yang
bertentangan itu. Karena itu, keburukan, maksiat, dan
kekerasan tidak sesuai dengan jiwa agama. 

Lewat pendidikan agama (education), potensi-potensi
positif itu hendak ditarik ke luar dari dalam diri
murid untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga ia
menjadi insan beragama. Kata Inggris educate sendiri
berasal dari kata Latin educere, e artinya ”ke luar”
dan ducere ”memimpin, menarik, atau membawa.” Maka,
educere adalah menarik atau membawa ke luar. 

Dan pendidikan sebagai education berarti seni menarik
ke luar potensi-potensi kebaikan dan kebenaran yang
ada dalam diri murid. Bila sekolah pada umumnya
bertujuan mencerdaskan murid menjadi, pandai ilmu dan
luas pengetahuan, maka gol pendidikan agama di sekolah
adalah kecerdasan spiritual. Thomas Moore, seorang
psikolog Inggris, menyadari bahwa pendidikan umum
seharusnya tidak cuma mengisi otak dengan informasi
atau memberi keterampilan, tetapi mendidik dan
mengembangkan budi yang luhur (The Education of the
Heart, New York, 1996). 

Setelah lama Pendidikan Budi Pekerti dihapuskan dari
kurikulum dan kini dimasukkan sebagai bagian dari
Pendidikan Kewarganegaraan, pendidikan agama di
sekolah menjadi kesempatan formal satu-satunya untuk
pencapaian kecerdasan rohani. Sebenarnya bila efektif,
ada mata pelajaran lain yang berfungsi memperhalus
budi pekerti dan membentuk kemanusiaan dalam diri
murid. Namun karena kendala kultural dan SDM,
pelajaran humaniora di Tanah Air belum mampu mengambil
peranan penting dalam memanusiawikan manusia yang
potensi moralnya ambigu itu (Dick Hartoko, ed.,
Memanusiakan Manusia Muda: Tinjauan Pendidikan
Humaniora, Yogyakarta, 1985). 

Materi, Guru, dan Sistem Materi pelajaran agama harus
dikembalikan kepada konteks masyarakat pembelajar.
Pejabat di pusat tidak boleh mendikte materi pelajaran
agama di daerah seperti yang sekarang masih
berlangsung. Daerah memiliki persoalan dan
karakteristiknya sendiri. Kendati sifat universal
agama, ketika agama dipeluk, tampak perbedaan cara
menghayatinya dari daerah ke daerah. Bila dibutuhkan,
pusat hanya menjadi fasilitator dan bukan penentu
materi pelajaran agama. Ini bukan semata mengikuti
euforia otonomi daerah, tetapi sekali lagi, setiap
daerah mempunyai karakteristik masing-masing. 

Materi pelajaran agama yang kontekstual idealnya
menyesuaikan diri dengan problem sosial, tantangan dan
pergumulan, adat dan kearifan lokal. Ini semua tidak
mungkin diperhitungkan pusat dalam kurikulum
nasionalnya. Sebagai contoh, materi pelajaran aama di
daerah konflik bernuansa agama sebaiknya mengedepankan
aspek universalisme atau humanisme dari agama, bukan
aspek doktrinal yang eksklusif. Selain materi
pelajaran yang kontekstual, guru agama juga harus
kreatif. 

Pelajaran agama tidak bisa berhenti pada tahap
informatif. Kodrat agama adalah untuk dihayati, bukan
diketahui. Maka, guru agama yang menekankan hafalan
dengan sendirinya akan membuat jemu murid dan
menyetarakan pelajaran agama seperti pelajaran sejarah
atau geografi. Celakanya, murid kemudian menjadi lebih
segan berhadapan dengan pelajaran matematika atau
fisika daripada pelajaran agama. Manusia tidak
diciptakan untuk keserakahan, kekejaman, tipu daya,
hal-hal yang tidak senonoh. Itu bukan fitrahnya. 

Pendidikan agama harus mampu menyadarkan murid akan
fitrahnya sebagai manusia. Materi pelajaran yang baik
tentu penting, namun lebih dari itu faktor guru akan
menentukan efektif tidaknya pendidikan agama di
sekolah. Pemerintah telah menggariskan kebijakan
pentingnya pendidikan agama di sekolah dengan cara:
angka pelajaran agama di rapor tidak boleh merah.
Tetapi ini kebijakan kontraproduktif. Urgensi dan
kepenting pelajaran agama didegradasi ke dalam bentuk
nilai, kuantitatif, bisa diukur. 

Karena itu, guru mau tidak mau terjebak untuk menilai
keberagamaan murid juga dari aspek terukur. Dan yang
dapat diukur secara pasti adalah pengetahuan agama.
Maka, pendidikan agama di sekolah identik dengan
pengajaran pengetahuan tentang agama. Itu bukan persis
maksud pendidikan sebagai education dan, yang lebih
openting lagi, juga bukan kodrat agama. Agama
diberikan untuk menuntun manusia di jalan hidup yang
benar. Jalan harus dijalani bukan dihafal. Maka,
aplikasi agama dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat
dipisahkan dari pendidikan agama dan di sini ukurannya
menjadi relatif. Seorang anak yang suka melawan
orangtua di rumah tidak boleh dinilai buruk nilai
agamanya kendati perilaku itu tidak sesuai dengan
ajaran agama supaya menghormati orangtua. 

Seorang murid yang tidak rajin sembahyang tidak boleh
mendapat nilai jelek dibandingkan dengan murid yang
sebaliknya. Sudah waktunya harus dievaluasi ulang
kesahihan menilai pelajaran agama dengan angka.
Baru-baru ini, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Indra Djati Sidi berkomentar soal Pendidikan
Kewarganegaraan. Harus ada paradigma baru untuk PKN
sebagai ”sebuah pelajaran yang memberikan pengalaman
bagi anak untuk merasakan proses demokrasi. Jadi,
bukan sekadar belajar berdemokrasi seperti yang banyak
berlangsung sekarang, tetapi mengalami proses itu.

” Dengan paradigma baru itu, menurut Indra Djati,
tidak perlu lagi ujian Pendidikan Kewarganegaraan.
Masih menurutnya, pelajaran lain pun bisa diperlakukan
sama seperti itu bila murid harus merasakan pengalaman
mempelajari sesuatu. Seharusnya wacana yang telah
digulirkan oleh Dirjen ditindaklanjuti dengan petunjuk
pelaksanaan lapangan yang jelas. 

Dengan guru tidak terpaku memberikan penilaian berupa
angka, perhatian guru dan murid akan bergeser dari
angka kepada praktik hidup. Bila dalam Pendidikan
Kewarganegaraan murid dididik untuk belajar
berdemokrasi, dalam pendidikan agama yang bersangkutan
belajar beragama, menjadi insan beragama. Sudah
sepatutnya dipertimbangkan kuantifikasi pelajaran
agama, seharusnya kualifikasinya. 

Tidak berarti tugas guru pasca-dekuantifikasi
pelajaran agama menjadi lebih ringan. Guru harus
kreatif mengaplikasikan materi pelajaran pada berbagai
situasi murid. Gaya mengajar dengan mendikte sudah
pasti tidak cocok lagi. Gaya bercerita adalah
alternatif positif. Problem-solving, diskusi,
simulasi, proyek live in untuk menghayati kebersamaan
secara lintas suku, agama, dan strata sosial. Itu
semua metode pembelajaran kreatif untuk pelajaran
agama. Akhirnya, yang tidak kurang pentingnya, guru
harus menjadi panutan, buku hidup yang terbuka di
hadapan murid untuk dibaca dan ditiru. 

Bila materi pelajaran sudah bagus, metodenya juga
kreatif, tetapi kehidupan guru bertentangan dengan
materi yang diajarkannya, runtuhlah fondasi proses
pembelajaran itu. Guru harus menjadi teladan hidup.
Itulah inti pelajaran agama yang paling sederhana.
Penutup Perilaku kehidupan beragama di Indonesia masih
kuat dibayang-bayangi tradisi formalisme dan
keberagamaan belum mempunyai kekuatan untuk mengoreksi
distorsi moral dalam kehidupan sosial. Musuh agama
tidak hanya maksiat, tetapi juga korupsi dan
kekerasan. 

Dari hari ke hari kita semakin biasa mendengar dan
melihat pembakaran, pengrusakan, pengeroyokan,
pembunuhan, dan teror bom. Sementara itu, masyarakat
semakin apatis terhadap pemberantasan korupsi yang
masih berputar-putar pada isu. Sebagai bangsa yang
dikenal religius, seharusnya keberagamaan mempunyai
kontribusi untuk mengurangi kejahatan sosial di
sekitar kita. Nyatanya, belum ada tanda-tanda
demikian. 

Sebuah pekerjaan rumah yang besar. Pertanyaan yang
menggelitik, ”Apakah ada yang salah dengan pendidikan
agama di sekolah sehingga lahir generasi seperti ini?”
Sebuah pertanyaan kecil yang patut direnungkan.
Penulis adalah pemerhati masalah sosial keagamaan. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com