[Nusantara] Tantangan Kehidupan Beragama Kita

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Dec 13 06:00:58 2002


Tantangan Kehidupan Beragama Kita 

Oleh Khamami Zada 

WILLIAM Durant dalam The Lesson of History pernah
menyatakan, agama memiliki seratus jiwa. Segala
sesuatu bila telah dibunuh, pada kali pertama ia tewas
untuk selama-lamanya, kecuali agama. Sekiranya ia
seratus kali dibunuh, ia akan muncul lagi dan kembali
hidup setelah itu. 

Pernyataan Durant mengisyaratkan betapa agama selalu
hidup di tengah kehidupan umat manusia sepanjang masa.
Tidak seperti yang diyakini Nietzsche dan Feurbach,
Tuhan (agama) telah mati. Bagi Durant, agama tetap
memiliki fungsi terbaik bagi kehidupan umat manusia. 

Namun, agama bisa kehilangan makna substansialnya
dalam menjawab soal-soal kemanusiaan, yakni ketika
agama tidak lagi berfungsi sebagai pedoman hidup yang
mampu melahirkan kenyamanan spiritual dan obyektif
dalam segala aspek kehidupan umat manusia. Atau dalam
istilah Karl Marx, ketika agama telah menjadi candu
bagi masyarakat. 

Macam itulah yang sedang dialami bangsa Indonesia
menghadapi tantangan bergesernya fungsi agama. Konflik
antaragama, radikalisme, dan terorisme menjadi masalah
besar bangsa dan harus dicarikan penyelesaian secara
tepat. 

Agama tampaknya bukan lagi alat kedamaian umat, tetapi
sudah menjadi ancaman menakutkan. Hal ini dapat
dilihat dari hubungan positif antara praktik beragama
dengan aksi kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini.
Sebab, kekerasan yang terjadi belakangan ini
menunjukkan adanya faktor agama sebagai pendorong
kekerasan yang amat efektif, terutama praktik dan
pemahaman beragama yang mengarah sikap fanatisme dan
militansi. Tak heran, agama dianggap punya andil atas
terjadinya kekerasan di Tanah Air. 

Keberagamaan simbolik 

Dalam konteks inilah, tantangan kehidupan beragama
kita sebenarnya lebih disebabkan model keberagamaan
umat yang diekspresikan secara simbolik. Keberagamaan
simbolik ditandai sikap dan praktik beragama yang
bertolak pada simbol atau identitas, bukan disemangati
nilai-nilai substansial ajaran agama. 

Adanya sikap keberagamaan simbolik itulah yang
melahirkan agama secara empirik tidak mampu menjawab
problem kemanusiaan, dan banyak melahirkan konflik
atas nama agama. 

Ada beberapa fenomena yang dapat dilihat sebagai
bentuk kehidupan beragama simbolik yang terjadi di
Tanah Air. Pertama, semarak tuntutan pemberlakuan
syariat Islam, yang sudah merambah ke daerah-daerah,
sejak ditolak di parlemen melalui proses amandemen
Undang-Undang Dasar 1945. Dimulai dari Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang memberlakukan
syariat Islam 1 Muharram 1423 H (15 Maret 2002), lalu
ke Cianjur dan Tasikmalaya. Bahkan, belum lama ini
Pamekasan mulai mengkaji aspek pemberlakuan syariat
Islam melalui peraturan daerah. 

Syariat Islam di daerah-daerah itu masih berkisar pada
fenomena simbolik, dimaknai dengan kawasan wajib tutup
aurat, penggantian nama jalan, toko, dan bus dengan
huruf Arab atau nama Islam (di Provinsi NAD), shalat
berjamaah, dan berbusana Islam di kantor-kantor
pemerintah (Tasikmalaya, Cianjur, dan Pamekasan).
Nuansa simbolik tampak dari ajaran agama yang
sebenarnya menawarkan ajaran yang lebih progresif
ketimbang ajaran simbolik. 

Dari sini kita bisa melihat, syariat Islam tidak
dimaknai secara substantif sebagai jalan agama menuju
pembebasan, perdamaian, dan harmoni sosial. Pada
gilirannya, implementasi syariat Islam tidak menyentuh
problem nyata masyarakat: bagaimana menegakkan
keadilan sosial, memberantas korupsi, mengentaskan
kemiskinan, menjamin kemaslahatan manusia, dan
sebagainya. Padahal, inilah sebenarnya yang menjadi
inti ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat modern
seperti sekarang ini. 

Kedua, radikalisme agama yang terus mengancam
eksistensi perdamaian universal. Sejumlah peristiwa di
beberapa daerah-Poso dan Maluku-menunjukkan betapa
kehidupan beragama kita justru mempersubur konflik.
Perang antaragama dianggap perang suci (holy war),
akan mendapat pahala di surga kelak. 

Sebutan syuhada (relawan agama) selalu muncul dalam
perang antaragama. Agama dijadikan mesin penghancur
sesama umat dan makhluk Tuhan, kenyataan yang
bertentangan dengan ajaran semua agama, perdamaian. 

Dalam konteks inilah, fanatisme berlebihan atas agama
yang dipancarkan dalam ekspresi keberagamaan simbolik
akan mengakibatkan radikalisasi jika tidak
diminimalisasi oleh sikap-sikap toleran atas
perbedaan, akomodatif terhadap perubahan dan menerima
kenyataan (realitas) sosial. Dengan demikian, agama
memiliki dua sisi paradoksal: berfungsi sebagai
kenyamanan spiritual untuk kedamaian, sekaligus
menjadi media subur untuk menciptakan peperangan. 

Ketiga, terorisme yang menebarkan ketakutan. Kini,
terorisme sering dilekatkan pada pemahaman agama yang
fanatik, militan, dan radikal. Karena itu, pemahaman
simbolik melahirkan sikap-sikap beragama intoleran
atas kelompokkelompok di luarnya. Peristiwa Bali
mestinya bisa menjadi pelajaran bagi umat Islam untuk
tidak mempromosikan pemahaman agama yang fanatik,
militan, dan radikal, tetapi mempromosikan pemahaman
agama yang moderat. 

Tudingan Islam Indonesia terkait terorisme harus
dibarengi realitas obyektif masyarakat Muslim yang
menolak aneka kekerasan, bukan malah "bangga" dengan
aksi kekerasan yang selama ini terjadi di Tanah Air,
yang diyakini sebagai reaksi atas ketidakadilan AS
yang selalu meminggirkan umat Islam. Umat Islam
mestinya melakukan kampanye antiterorisme karena
menggunakan agama untuk kekerasan adalah penyimpangan
atas agama yang mengajarkan perdamaian. 

Semua ini adalah tantangan kehidupan beragama kita,
yang hanya menyuguhkan warna simbolik, sehingga
kehilangan elan vitalnya sebagai gerak pembebasan.
Agama tidak digunakan sebagai pelindung utama untuk
kebaikan, kenyamanan, dan kedamaian antarsesama
manusia. Karena itu, kehidupan beragama kita harus
diubah: tidak lagi menampilkan warna simbolik, tetapi
menampilkan makna hakiki, yakni keberagamaan
substansial. Makna substansial dalam beragama
ditunjukkan dengan membawa ajaran agama dalam
pesan-pesan universal, seperti melawan kezaliman dan
penindasan, menegakkan keadilan, memberikan
keselamatan, dan kedamaian. 

Dengan demikian, kehidupan beragama kita menjadi lebih
santun, toleran, dan damai. Hal ini dapat dilakukan
melalui gerakan moderasi umat secara diskursif dan
praksis, yang diyakini dapat menjadi penopang bagi
terciptanya harmonisasi sosial masyarakat. Karena itu,
singkirkanlah eksklusivitas dan simbolisme dalam
kehidupan beragama kita. 

Khamami Zada Dosen STAINU/Peneliti Lakpesdam NU 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com