[Nusantara] GAM Berdamai: Sungguhan atau Taktik Semata?

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Dec 13 06:00:33 2002


GAM Berdamai: Sungguhan atau Taktik Semata? 

Oleh TJIPTA LESMANA 

Menjelang jatuhnya Saigon, Ibukota Vietnam Selatan, ke
tangan Vietnam Utara pada 1 April 1975, gerilyawan
Khmer Merah di Kamboja meningkatkan serangan
militernya ke Vietnam Selatan. Khmer Merah ingin
memanfaatkan ”momentum emas”—yaitu kehancuran rezim
Kao Ky di Vietnam Selatan—untuk merebut kembali
Vietnam Selatan yang pada abad pertengahan memang
menjadi bagian dari Dinasti Kerajaan Khmer yang
perkasa. 

Ofensi militer Khmer Merah cukup efektif. Beberapa
pulau Vietnam Selatan berhasil direbutnya. Namun,
pemerintah Vietnam Utara segera mengetahui akal bulus
Khmer Merah. Mereka mempercepat serangan all out untuk
mendepak Amerika Serikat dari bumi Vietnam Selatan. 

Tatkala Saigon berhasil direbut yang menandai jatuhnya
rezim Kao Ky di Vietnam Selatan, ofensi militer Khmer
Merah ke Vietnam Selatan pun berhenti. Kini giliran
tentara Vietnam Utara, dibantu oleh gerilyawan
Vietcong, yang menyerang Kamboja. 

Dua minggu setelah Saigon jatuh ke tangan Vietnam
Utara, tentara Khmer Merah berhasil memasuki Phnom
Penh, menandai hancurnya rezim Lon Nol di Republik
Kamboja Pol Pot, pemimpin baru Kamboja, dipaksa datang
ke meja perundingan di Hanoi. Dengan setengah hati, ia
menandatangani ”perjanjian non-agresi” dengan
pemerintah Vietnam, karena ia menyadari posisinya yang
inferior di hadapan Vietnam. Namun, dalam hati
sanubarinya, Pol Pot dan hampir seluruh pemimpin Khmer
Merah yang berkuasa di Kamboja menaruh dendam kesumat
pada Vietnam. 

Enam bulan setelah penandatanganan perjanjian damai
dengan Vietnam, pemerintah Demokratik Kampuchea
pimpinan Pol Pot mengusir pulang lebih dari 200.000
warga Kamboja keturunan Vietnam. Jelas, perundingan
pemerintah Demokratik Kampuchea dengan Vietnam pada
pertengahan 1975 hanya dipakai sebagai taktik oleh Pol
Pot dalam peperangannya melawan negeri itu yang
merupakan musuh bebuyutan bangsa Kampuchea. 

Berunding, termasuk membuat perjanjian damai dengan
lawan, memang menjadi ” taktik klasik” dalam
peperangan. Taktik itu bermanfaat untuk (a) jedah,
sambil konsolidasi diri dan (b) memberikan peluang
untuk mengatur strategi baru menghadapi musuh yang
lebih perkasa.. Apakah dalam menandatangani dokumen
Kesepakatan Penghentian Permusuhan—bersama pemerintah
RI—di Jenewa pada 9 Desember 2002, GAM sungguh ingin
mengakhiri permusuhannya dengan pemerintah RI atau
perjanjian itu sekadar dipakai sebagai taktik untuk
mengulur waktu? 

Bagi sementara pihak, pertanyaan seperti ini bisa saja
dinilai ”provokatif” atau ”insinuatif”. Tapi, jika
kita mengetahui sikap sesungguhnya dari GAM dalam
konfliknya dengan RI serta kegagalan beberapa
perjanjian serupa di masa lampau, pertanyaan itu
kiranya amat signifikan untuk dilontarkan, sekaligus
membuat aparat keamanan untuk tetap waspada dalam
menganalisis mamsalah Aceh. 

Di atas permukaan, yang diperjuangkan oleh GAM adalah
keadilan dan kebenaran milik ”bangsa Aceh” yang selama
ini dinilai telah dirampas oleh Jakarta. Namun, the
core of the issue, sesungguhnya, bukan itu! Di mata
Teungku Hasan Tiro dan kawan-kawan, perjuangan ”Bangsa
Aceh” tidaklah untuk melepaskan diri dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak! Tetapi
”untuk integritas Aceh yang bermasalah sejak Belanda
memaklumkan perang tahun 1873” . 

Di mata sementara pemimpin GAM, Aceh adalah sebuah
negara yang berdaulat yang kemudian diserahkan Belanda
kepada pemerintahan baru bernama Republik Indonesia,
padahal Aceh tak pernah takluk pada Belanda. Oleh
sebab itu, proses penyerahan tersebut dinilai tidak
sah menurut hukum internasional, karena tanpa
persetujuan rakyat Aceh atau lembaga resmi yang
mewakili rakyat Aceh. 

Itulah the core of the issue di mata pemimpin-pemimpin
GAM. Pandangan demikian sudah berulang-ulang
dikumandangkan mereka secara terbuka, bukan saja di
Indonesia, tetapi juga di forum internasional. Ketika
6 (enam) orang Senator Amerika pertengahan tahun lalu
mengirimkan surat resmi kepada GAM, meminta GAM untuk
segera menghentikan perjuangan bersenjatanya karena
Amerika mengakui Aceh sebagai bagian integral dari
NKRI, Hasan Tiro menjawab seperti itu. 

”Ini bukan persoalan integritas dan kedaulatan wilayah
Republik Indonesia, tetapi Aceh selama ini memang
tidak pernah menjadi bagian dari wilayah RI!” begitu
kira-kira jawaban Hasan Tiro kepada ke-6 Senator
Amerika. Bahkan dalam sambutannya memperingati ”HUT
GAM” ke-26 tanggal 4 Desember yang baru lalu, tema
serupa diulangi lagi oleh pemimpin tertinggi GAM
tersebut. 

Pertanyaan kita sekarang: ketika Dr. Zaini Abdullah
datang ke Jenewa pada 9 Desember yang baru lalu untuk
menandatangani Kesepakatan Penghentian Permusuhan atas
nama GAM, apakah ia dan kawan-kawannya masih tetap
mempunyai sikap dan pandangan seperti di atas? Kalau
ya, perjanjian perdamaian dengan GAM dalam bentuk apa
pun dan kapan pun mustahil bisa diimplementasikan
secara efektif. Kalau demikian halnya, kejadian di
Jenewa pada 9 Desember 2002 tidak lebih sebuah
impression management dalam upaya GAM membuai RI,
khususnya TNI, untuk mengendorkan tekanan militernya
kepada mereka. 

Para pemimpin GAM bukan tidak menyadari bahwa mereka
kini berhadapan dengan pemerintah RI (khususnya TNI)
yang berbeda sikap dan pandangannya dibandingkan
dengan sikap dan pandangan pemerintah RI (TNI) pada
masa Abdurrahman Wahid. Dulu Gus Dur tidak pernah
menunjukkan sikap tegas dalam menghadapi konflik
bersenjata di daerah, khususnya Aceh. Bahkan ia
memberikan ”angin” kepada GAM untuk memperkuat diri.
Ketika itu, hubungan Presiden dengan TNI pun diliputi
nuansa konflik. Ditambah dengan ”faktor Laksamana
Widodo selaku Panglima TNI”, maka posisi Jakarta
justru menjadi inferior. 

Kini, hubungan Presiden Megawati dengan TNI dalam
keadaan ”prima”. Presiden pun dikelilingi oleh para
pembantu militer yang mengetahui persis bagaimana RI
harus bersikap menghadapi GAM. 

Triumphat Jenderal Sutarto (Panglima TNI) - Jenderal
Ryamizard Ryacudu (Kepala Staf Angkatan Darat) -
Letnan Jenderal Bibit Waluyo (Panglima Kostrad)
bukanlah perwira-perwira ”merpati” yang bisa begitu
saja digertak oleh kelompok bersenjata mana pun. Demi
mempertahankan integritas dan kedaulatan NKRI, mereka
tidak pernah ragu melakukan tindakan militer sekeras
apa pun. Pengepungan TNI terhadap sejumlah basis GAM
sebulan sebelum D-Day 9 Desember 2002 mengindikasikan
sikap ”tidak main-main” triumphat jenderal itu. 

Harapan kita, tentu, GAM tidak menggunakan perjanjian
damai 9 Desember 2002 sebagai taktik semata. Lupakan
”Aceh merdeka”, lupakan juga catatan sejarah yang
menyesatkan itu. Kembalilah ke pangkuan Ibu Pertiwi
untuk membangun kembali Aceh yang sejahtera dan
makmur, Aceh yang bukan sekadar ”obyek pemerasan” oleh
Jakarta. 

Untuk itu, pemerintah Megawati jangan lagi
bermain-main dengan politik retorika seperti
pemerintahan sebelumnya. Laksanakan sungguh-sungguh UU
tentang NAD, segera bangun kembali sarana dan
prasarana yang selama ini hancur, berikan porsi yang
memadai kepada rakyat Aceh segala hasil bumi yang
diambil dari ”bumi rencong” itu, adili para pelaku
pelanggaran HAM berat Aceh dan berikan kompensasi
kepada penduduk yang menjadi korbannya. Peperangan
hanya menyengsarakan semua pihak, khususnya rakyat
tidak berdosa. 

Penulis adalah dosen Pascasarjana Universitas
Indonesia dan peneliti Lembaga Pengkajian Strategis
Indonesia (LPSI). 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com