[Nusantara] Jiwa-jiwa Retak

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Dec 13 06:00:30 2002


Jiwa-jiwa Retak 

Oleh Yusuf Priyasudiarja 

Seandainya istrinya tidak mengerang-erang kesakitan
karena rasa sakit yang menusuk-nusuk dinding
lambungnya, Prapto barangkali tidak akan tergerak
untuk melakukan sesuatu malam itu. Seandainya ia
mempunyai sedikit uang dan mampu membelikan ramuan
obat untuk istrinya, barangkali pikiran negatif tidak
akan sempat menyelinap dalam lorong pikirannya. 

Ia semakin sedih melihat penderitaan istrinya
sementara ia sendiri seperti tidak berdaya untuk
melakukan sesuatu sebab kemiskinan sudah terlalu lama
menindih kehidupannya. Ia hanya bisa merenung, berdiri
mematung di depan rumahnya dengan pandangan kosong,
menerawang jauh. Pikirannya mengembara entah ke mana.
Sementara angin tiba-tiba berhenti bertiup seperti
turut merasakan duka yang merajam jiwa lelaki itu.
Dedaunan tertunduk lesu dan ranting-ranting hanya
terlihat seperti garis-garis memanjang tak berjiwa. 

Dingin menggigil, membeku. Ia kembali mendengar rintih
tangis istrinya; rintih tangis yang selalu ia dengar
setiap malam sehingga bagi dirinya malam tak lebih
dari sekadar rangkaian duka yang tak kunjung usai.
"Pak aduuuuh..obat.Pak. Aku tak kuat lagi. Sakit
sekali. Perutku seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Perih sekali...aduuuuh." Istrinya mengaduh. Kadang
menjerit hingga tercipta lengkingan panjang yang
getir. Ia kembali masuk dan berdiri di hadapan
istrinya yang wajahnya meringis menahan sakit yang tak
tertahankan. Ia bingung harus melakukan apa. 

Uang di dalam lemari tidaklah cukup untuk membeli obat
esok hari. Selama ini ramuan obat memang menjadi
penyembuh dan penghilang rasa sakit dan nyeri yang
diderita istrinya. Ia semakin tak tega melihat
istrinya menderita. Istrinya kembali menangis.
Menangis lagi. Merintih dan merintih lagi. Tiada
henti. 

Dan tiba-tiba sebuah rencana menyelinap dalam
pikirannya. "Kamu harus mendapatkan uang malam ini,
kasihan istrimu." Sebuah bisikan gaib menggema di
telingganya. Membangkitkan kesadarannya. Akhirnya ia
menyelinap keluar rumah ketika istrinya untuk sejenak
bisa tertidur. Ia terobos malam yang pekat. Ia perangi
ketakutan yang bersarang dalam batinnya. Ia terus
berjalan, menembus beberapa bukit, melewati beberapa
desa dengan satu tujuan untuk mendapatkan uang dengan
cara apa saja demi kesembuhan istrinya. 

Rumah saudagar kaya raya yang ia tuju sudah mulai
tampak. Namun keraguan tiba-tiba menyergap. Langkahnya
terhenti ketika ia melihat rumah itu dijaga beberapa
orang. Sementara lolongan anjing terdengar
lamat-lamat, mengikis keberanian yang ia bangun sejak
awal. Namun bayangan wajah istrinya mendadak
berkelebat di depan matanya. Tangis jerit istrinya
tertangkap jelas oleh kedua telinganya hingga ia
putuskan untuk terus berjalan mendekat. Ia
mengendap-endap. Langkah demi langkah. Bergerak
perlahan, semakin mendekati rumah. 

Namun ketika ia sedang asyik merangkai sebuah rencana
jahat, terdengar suara-suara mencurigakan dari arah
belakang. Sebuah bayangan hitam tiba-tiba
mendekatinya. Semakin jelas dan tiba-tiba
menyergapnya. 

Disusul bayangan lain. Dengan sekuat tenaga ia mencoba
meloloskan diri. Berhasil. Ia kemudian lari menuju
arah yang ia sendiri tidak tahu. "Maling! Maling!"
teriak mereka keras-keras memecah keheningan malam
yang pekat. Ia terus berlari menyibak kegelapan.
Semakin cepat. Entah sudah berapa kali ia terjerembab
dan bangkit lagi. Tak terhitung. "Kejar terus, jangan
sampai lolos. Ia harus kita habisi malam ini. Kita
cincang tubuhnya, kita bakar ramai-ramai." 

Dan malam itu, ia berjuang sekuat tenaga untuk
menyelamatkan diri. Di belakang dirinya kira-kira
berjarak seratusan meter, massa yang jumlahnya semakin
banyak terus mengejar dan berteriak-teriak mengumbar
sumpah serapah, menteror dirinya. Di tangan mereka
tergenggam berbagai senjata tajam seperti memberi
isyarat bahwa bayang-bayang kematiannya sudah berada
di depan mata. 

Kini suara derap kaki mereka semakin jelas. Kentongan
dan tiang listrik dipukul bertalu-talu, semakin
menambah ketegangan yang bergemuruh di rongga dadanya.
"Ah.malam ini aku pasti mati," pikirnya ketika
tiba-tiba ia terjatuh dan kepalanya menghantam sebuah
batu besar. Darah menetes-netes dari keningnya. Namun
rasa perih tak dirasakannya. Ia kemudian bangkit dan
berlari. Lari dan terus berlari. Namun kini, ia
merasakan langkah kakinya semakin lambat sementara
orang-orang yang mengejarnya semakin banyak, semakin
dekat. Mereka seperti berdatangan dari berbagai macam
arah. "Ah.kematianku semakin dekat," pikirnya. 

Kemudian sebuah pukulan tiba-tiba menghujam
tengkuknya. "Archhh." Ia menjerit dengan suara
tercekik. Kesakitan. Kemudian ia rasakan pukulan,
hantaman, tinju, dan tendangan yang menghujam tubuhnya
bertubi-tubi. " Buk...Buk.Buk!!!" Ia menjerit. Sakit
sekali. 

Darah mengucur deras membanjiri sekujur tubuhnya.
Matanya lebam, giginya rontok, telinganya berdarah. Ia
pikir, ia pasti mati ketika sekujur tubuhnya disiram
bensin. Ia sudah pasrah. Bayangan liang kubur gelap
sudah menantinya. Maut telah menjemput dan bau
kematian sudah menyelinap di setiap jengkal
pikirannya. 

"Dor! Dor! Dor! Tiba-tiba ia mendengar suara tembakan
tiga kali. 

Orang-orang terperanjat dan kemudian lari berhamburan,
meninggalkannya seorang diri dalam keadaan sekarat.
Sepuluh petugas kepolisian datang dan menyelamatkan
nyawanya. Baru saat itu, ia sadar bahwa polisi
ternyata tidak seburuk yang ia duga sebelumnya. Bak
pahlawan mereka menyelamatkan dirinya dari ambang maut
yang tinggal beberapa jengkal di hadapannya. 

*** 

Malam itu ia mendekam di kamar tahanan polsek. Sejenak
ia bisa merasakan kamar itu seperti surga baginya. Ia
tidak lagi merasa takut. Tak terdengar lagi hiruk
pikuk massa yang kalap dan dipenuhi amarah. Senandung
kematian tidak lagi menghantui pikirannya. Kecemasan
seperti lenyap tak berbekas. Luka dan perih seperti
tersembuhkan. Kamar bercat kusam berukuran dua kali
tiga meter itu telah memberinya rasa aman. Mendadak ia
melihat bayangan wajah istrinya di dinding kusam
tahanan. Istrinya seperti memanggil-manggil namanya.
Telinganya seperti mendengar rintih tangis istrinya.
Ingin sekali ia tembus tebalnya dinding tahanan dan
kemudian lari sekuat tenaga untuk menemui istrinya. Ia
tahu istrinya pasti sangat menderita. Tetapi ia tidak
dapat berbuat banyak. Ruang tahanan itu telah
mengurungnya. Ia hanya bisa berharap untuk bertemu
istrinya keesokan harinya. 

Namun menjelang tengah malam, ia mendadak dikejutkan
oleh suara teriakan massa di luar kantor polisi. Dan
tiba-tiba ter- dengar suara "Prang.Prang". 

Kaca depan kantor polisi itu pecah terkena lemparan
batu sebesar kepalan tangan. Pecahan-pecahan kaca
terburai di lantai. Ternyata massa yang berjumlah
ratusan telah mengepung kantor polisi itu. 

"Serahkan maling itu kepada kami!," 

"Kami akan mengambil paksa maling itu!" teriak mereka.


"Sabar Bapak-bapak. Setiap orang yang melanggar hukum
pasti kami tangani sesuai dengan hukum yang berlaku."
Pimpinan polisi mencoba menenangkan massa. 

"Tidak! Keluarkan maling itu dari tahanan. Sekarang
juga!" Dengan suara tegas namun agak gemetar, polisi
itu menjawab,"Tenang bapak-bapak. Sudah menjadi tugas
kami untuk menyelidiki dan memeriksa para pelaku
kejahatan. Percayalah kepada kami. Pengadilan nanti
yang akan memutuskan." 

"Dosa-dosa maling itu sudah banyak.
Kesalahan-kesalahannya sudah tak terampuni. Rakyat di
wilayah kami sudah lama resah karena sering menjadi
korban kejahatannya. Malam ini, kami akan memberinya
hukuman yang setimpal." 

"Jangan bertindak main hakim sendiri. Main hakim
sendiri juga merupakan pelanggaran hukum.
Percayakanlah semuanya kepada kami." 

"Kami tidak percaya lagi kepada hukum dan pengadilan.
Biarkan rakyat yang akan mengadilinya. Bagi kami,
hukum dan pengadilan rakyat lebih terhormat dan lebih
adil daripada hukum dan pengadilan negara." Suasana
semakin mencekam. Prapto meringkuk diam di pojok kamar
tahanan dengan penuh ketakutan. Bayangan kematian
kembali berkelebat dalam pikirannya. 

"Kami tidak peduli dengan segala macam tetek bengek
tentang hukum. Pokoknya serahkan maling itu kepada
kami sekarang juga. Jika tidak, kami tidak akan
bertanggungjawab atas segala kemungkinan terburuk yang
mungkin terjadi." 

"Apa maksud Bapak?" 

"Maling itu akan kami seret keluar. Kami akan
menghukumnya dengan cara kami sendiri." Orang-orang
bergerak semakin mendekat. Dengan tatapan beringas dan
senjata diacung-acungkan ke atas, mereka terus
berteriak-teriak seperti ingin memberi tanda bahwa
mereka sangat serius dengan ancaman itu. 

"Kami tidak bisa menyerahkan maling itu kepada Bapak
semuanya. Kami mempunyai tugas untuk melindunginya."
Melihat suasana yang semakin tak terkendali, polisi
itu dengan sigap menarik pistol dari pinggangnya. 

Lantas terdengar suara letusan tembakan peringatan
tiga kali. "Dor.dor.dor" 

"Kami tidak segan-segan bertindak tegas kalau
bapak-bapak melawan kami." 

Massa memang sempat terhenyak, namun mereka tidak
bergerak mundur. Mereka justru semakin mendesak maju
dan bertambah beringas. 

"Ayo tembak kami semua. Kami tidak takut. Serbu!!
Serbu!!" Tiba-tiba terdengar suara keras dari massa.
Massa yang sudah dipenuhi amarah kemudian menyerbu,
menghajar satuan polisi. Sebagian polisi yang ada di
dalam mencoba menyelamatkan diri lewat pintu belakang.
Massa kemudian membuka paksa dan menjebol pintu
tahanan. Prapto yang sudah dipenuhi ketakutan akhirnya
diseret keluar, dihajar habis-habisan. Darah kembali
menggenangi seluruh tubuhnya. Wajah Prapto memar-memar
memerah, bengkak di beberapa bagian wajahnya. Kedua
bibirnya pecah-pecah. Ia berdiri sempoyongan dan kaki
kanannya terasa sakit. Sepertinya tulang kaki kanannya
patah. Seseorang pasti telah memukul kakinya
keras-keras dengan sebuah linggis atau batang besi. 

Wajahnya meringis dan ia menjerit-jerit menahan sakit.
Bau bensin tiba-tiba menyergap. Lantas percikan api
dalam sekejab telah meluluhlantakkan tubuhnya.. Ia
dibakar hidup-hidup di tengah-tengah massa yang
bersorak kegirangan seperti sedang melihat sebuah
pertunjukan hiburan. Ia menjerit-jerit menahan panas
yang tak tertahankan. Namun suaranya tenggelam di
tengah-tengah sorak sorai dan berjuta-juta makian. Dan
tak lama kemudian suaranya semakin lirih, hanyut dalam
badai amarah memuncak. 

Tubuhnya roboh, hangus kehitaman. Dan akhirnya ia mati
mengenaskan. 

Sementara orang banyak menyeringai puas seolah-olah
mereka baru saja memanggang daging binatang buruan.
Mereka tidak sadar bahwa Prapto adalah seorang manusia
seperti mereka juga. 

Ketika mereka tidak lagi mendengar suara rintihan dan
erangan, mendadak mereka terdiam. Mulut mereka seperti
terkatub. Mereka saling berpandangan, seperti baru
bangkit dari mimpi panjang. 

Teriakan-teriakan dan amarah yang memuncak tiba-tiba
lenyap. Kesunyian mengurung tempat itu. Mereka sibuk
dengan pikiran mereka sendiri-sendiri. Sampai
seseorang berkata, "Kita telah membunuh orang ini, apa
sebenarnya yang ia curi?" 

Mereka menggelengkan kepala. Diam, tertunduk lesu.
Sementara bara api semakin mengecil dan titik api
akhirnya mati diterjang angin yang tiba-tiba berhembus
kencang. Tubuh Prapto kini tinggal arang hitam kelam. 

Sementara di rumah, istrinya menjerit-jerit,
memanggil-manggil namanya. *. 

(SINAR HARAPAN, Kamis, 12 Desember 2002) 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com