[Nusantara] Doktrin Serangan Dini

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Dec 13 06:00:19 2002


Doktrin Serangan Dini 

T Yulianti 

Perdana Menteri Australia John Howard lagi-lagi
mengeluarkan pernyataan yang membuat kuping panas dan
marah negara-negara tetangganya seperti Indonesia,
Malaysia dan Filipina. Dalam wawancara dengan sebuah
stasiun televisi lokal baru-baru ini, Howard bersumpah
"untuk mendahului serangan teroris di wilayah teroris
itu berada". 

Menurut Howard, serangan dini (preemptive attacks)
dibenarkan jika tidak ada pilihan lain untuk mencegah
serangan teroris ke Australia. Dengan aksi preemptive
itu, maka militer Australia bisa memasuki wilayah
kedaulatan negara lain untuk membasmi teroris. Perdana
Menteri Malaysia yang berang dengan pernyataan Howard
mengatakan, "Jika diserang, Malaysia siap perang
melawan Australia". 

Dari Indonesia, TNI juga tidak akan tinggal diam jika
tentara Australia menerobos kedaulatan teritorial RI
yang sah. Menlu Hassan Wirajuda menegaskan, Indonesia
menolak wacana Howard. Doktrin serangan dini, menurut
Hassan, bertentangan dengan Piagam PBB yang
mengedepankan prinsip kedaulatan negara. 

Tulisan ini akan mengulas perkembangan doktrin
serangan dini dan bahaya yang ditimbulkan dari
pelegitimasian doktrin tersebut oleh Amerika Serikat
(AS) dan Australia. Yang jelas, doktrin ini bukannya
mendorong ke arah perdamaian dan pembebasan dunia dari
terorisme, malah sebaliknya membuat hubungan
antarnegara menjadi tegang dan siap perang. 

Bukan Barang Baru 

Doktrin serangan dini sebetulnya bukan barang baru.
Namun setelah terjadinya serangan teroris 11 September
2001, doktrin tersebut memiliki nuansa dan pemahaman
baru. Serangan dini yang didefinisikan sebagai
"penggunaan kekuatan militer untuk mengantisipasi
serangan mendadak musuh" sudah sejak lama diterima
sebagai hal yang sah dan wajar dalam hukum
internasional. 

Belakangan, Presiden Amerika Serikat George W Bush
dalam pidato di West Point pada bulan Juni 2002,
memberi pemahaman baru terhadap doktrin tersebut dalam
kebijakan Strategi Pertahanan Nasional AS. Bush
berusaha memperluas pengertian serangan dini tersebut
untuk dipergunakan dalam membasmi terorisme
internasional. Kalau dulu, serangan dini baru boleh
dilakukan jika ada ancaman serangan mendadak musuh (in
the face of an imminent attack). Kini, kekuatan
militer AS bisa digunakan meski tidak ada bukti-bukti
kuat adanya ancaman serangan mendadak musuh. 

AS bisa lebih leluasa menyerang orang, organisasi,
atau negara yang dianggap teroris atau pendukung
teroris, termasuk negara-negara yang dianggap musuh AS
karena memiliki senjata pemusnah massal. AS tidak lagi
membedakan antara teroris dengan pihak-pihak yang
melindungi atau membantu teroris. Dua-duanya akan
dihajar dan disikat, meski tidak ada bukti-bukti yang
memadai teroris atau negara itu akan menyerang AS. 

Atas nama pertahanan diri, AS akan bertindak terhadap
ancaman yang muncul sebelum ancaman itu terbentuk.
Sebagai contoh, AS merasa berhak untuk menyerang Irak
yang diduga tengah mengembangkan senjata pemusnah
massal meskipun pada kenyataannya program senjata
nuklir itu baru dalam tahap wacana atau angan-angan
Saddam Hussein. 

Perluasan doktrin serangan dini menjadi doktrin yang
ofensif dan intervensionis oleh pemerintahan AS itu
banyak dikecam di dalam negeri sendiri. Kritikus
doktrin ini antara lain Michael O'Hanlon, Susan Rice
dan James B Steinberg. Ketiganya adalah peneliti
masalah kebijakan luar negeri AS di Brookings
Institution. Mereka mengingatkan kemungkinan doktrin
itu disalahgunakan secara negatif oleh negara-negara
yang sedang berada dalam situasi konflik. 

Perluasan doktrin serangan dini akan menyulut krisis
regional mulai dari Ethopia dan Eritrea sampai ke
Timur Tengah serta dari krisis India-Pakistan sampai
ke krisis Cina-Taiwan. Tentu saja tidak ada negara
yang tiba-tiba saja mengobarkan perang hanya karena AS
memberikan pembenaran lewat doktrin pertahanan barunya
itu. Akan tetapi, negara-negara yang diambang perang
mungkin saja menggunakan doktrin serangan dini untuk
justifikasi tindakan yang ingin mereka lakukan. Kalau
itu sampai terjadi, maka akan sulit bagi masyarakat
internasional, PBB atau AS sendiri, untuk menunda
penyerangan dan mengutamakan jalur diplomasi. 

India-Pakistan 

Contohnya adalah krisis India-Pakistan. Musim semi
yang lalu, India mengancam akan menyerang Pakistan
yang dituding membantu teroris di Kashmir. Meskipun
India bermaksud hanya membasmi teroris di wilayah
Kashmir yang dikuasai Pakistan, Islamabad bisa saja
menafsirkan bahwa India menginginkan penggulingan
rezim Pervez Musharraf atau menghancurkan pusat
senjata nuklir Pakistan. Krisis perang nuklir
India-Pakistan ketika itu bisa dihindarkan karena AS
menekan kedua belah pihak untuk menahan diri dan
menempuh jalur diplomasi. 

Akan tetapi, jika doktrin serangan dini diberlakukan
dan krisis semacam itu terjadi lagi, maka kelompok
garis keras di India bisa mendapat amunisi yang mereka
perlukan untuk menyerang Pakistan. Dengan doktrin
ofensif itu, tentara Rusia bisa menyerbu negara
berdaulat Georgia hanya karena tuduhan melindungi
teroris atau dianggap gagal memburu kelompok radikal
Islam yang terkait dengan Perang Chechnya. Cina juga
bisa menyerang Taiwan secara dini hanya karena
membiarkan kelompok Falun Gong beropera-si dengan
bebas di negeri pulau itu. 

Lalu, Australia bisa saja menyerang Indonesia,
Filipina atau Malaysia dengan alasan negara-negara
jiran itu melindungi atau membiarkan teroris Jemaah
Islamiyah dan Al Qaeda bergentayangan sehingga
mengancam warga Australia. Hal ini karena dengan
pelegitimasian doktrin serangan dini, Australia merasa
sah untuk menyerang negara manapun untuk menumpas
terorisme. 

Tentu saja penggunaan doktrin ini akan membuat situasi
makin buruk. Serangan dini dianggap bukan cara yang
tepat dalam menangani terorisme. Apalagi ada keyakinan
bahwa doktrin serangan dini dirancang untuk semakin
mengukuhkan hegemoni Barat (khususnya AS dan sekutunya
termasuk Australia) di muka bumi baik secara militer
maupun ekonomi dengan terus-menerus menciptakan
"hantu" bagi dunia internasional. 

Rezim Taliban 

Pada masa Perang Dingin, hantu tersebut adalah
komunisme. Pasca serangan 11 September 2001, hantu
tersebut adalah terorisme. Berbekal doktrin serangan
dini, komandan-komandan perang AS kini mengejar
"sesuatu yang lebih besar" daripada Osama bin Laden.
Fakta menunjukkan bahwa setelah sukses menggulingkan
rezim Taliban di Afghanistan, fokus perhatian AS
beralih dari memerangi Osama bin Laden ke penggusuran
"diktator jahat di mana saja". 

Target pertama adalah Saddam Hussein. Orang kuat Irak
itu dianggap memiliki senjata pemusnah massal yang
bisa mengancam AS sehingga yang bersangkutan harus
digulingkan dan diganti dengan rezim baru yang
pro-Barat. 

Jika AS menggunakan kekuatan militer atas Baghdad
dengan dalih serangan dini untuk melumpuhkan kemampuan
senjata pemusnah massal Irak, banyak negara khawatir
bahwa pemerintahan Bush akan menggunakan pendekatan
yang sama dalam menghadapi Korea Utara atau Iran yang
juga dianggap sebagai negara "poros kejahatan" (axis
of evil). 

Kesimpulannya, dunia tidak akan lebih damai dan aman
di bawah doktrin serangan dini. Alih-alih membebaskan
dunia dari terorisme, doktrin ini justru menyulut
krisis regional seperti kemarahan negara-negara Asia
Tenggara terhadap Australia yang berniat menerapkan
preemptive attacks untuk menumpas terorisme di mana
saja ia berada. u 

Penulis adalah pemerhati masalah internasional. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com