[Nusantara] Kehendak untuk Berkuasa

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Wed Dec 11 06:48:43 2002


Kehendak untuk Berkuasa 

Kesalahan dalam tindakan, selalu berkaitan dengan
kesalahan keyakinan soal cara. Bukan berkaitan dengan
keinginan yang baik atau jahat. Jadi, orang baik
berbeda dengan orang jahat, bukan dalam hal apa yang
mereka inginkan, tetapi dalam hal cara yang mereka
gunakan dalam mencapai tujuan. (''Intelektualisme
Socratic'', Terry Penner). 

RUBAG berupaya memahami amorfisme Socrates, filsuf
Athena yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan
minum racun, dibanding hidup dengan cocokan hidung di
bawah kehendak Tiga Puluh Tiran yang menjadi juri atas
keputusan hukum matinya. Padahal, kalau dia
menginginkan keputusan bebas saat peradilan 2.500
tahun silam itu, bukan persoalan sulit bagi tokoh
demokrasi purba yang memiliki puluhan bekas murid yang
telah menempati posisi puncak di negara yang
menjunjung intelektualitas tersebut. Socrates adalah
orang pertama yang mati syahid demi kebebasan
berbicara dan kebebasan berpikir. Dia rela mati karena
kedua kebebasan hakiki tersebut dibelenggu. 

''Kebaikan adalah pengetahuan, kejahatan adalah
ketidaktahuan. Ketika orang-orang berbuat buruk atau
jahat, bahkan immoral, itu hanyalah akibat dari
kesalahan intelektualnya. Jika seseorang memiliki
pengetahuan atau sains yang relevan, dia tidak akan
bertindak keliru. Jadi, kesalahan dalam tindakan
adalah produk dari ketidaktahuan,'' pendapat Socrates
yang konon menolak minta maaf atas kesalahan yang
menuduhnya meracuni kaum muda dengan ajaran-ajaran
serta prinsip kebebasannya. 

Benarkah pengetahuan adalah sumber kebaikan?
Pertanyaan yang mengganjal benak Rubag tersebut, tentu
tidak akan bisa dijawab Socrates sekalipun, meski
tokoh yang kini hanya bisa dikenang namanya saja itu
hidup kembali ke dunia. Bahkan murid tertuanya
Antisthenes, yang kemudian dikenal sebagai pencetus
awal sinisme justru berbalik menentang dan
menertawakan demokrasi. Ahli pidato, menurut murid
mbalelo itu, adalah penipu yang menjual keledai yang
dikatakannya kuda. Dalam demokrasi pun, kata dia,
tidak ada persamaan. Ini diungkapkannya dengan fabel
tentang kelinci dan singa, dimana kelinci yang
berorasi di depan podium majelis rakyat menuntut
persamaan hak, namun dijawab singa yang duduk di kursi
majelis, ''Mana cakar dan taringmu?''. 

*** 

Memang benar, pikir Rubag, semua manusia merindukan
ilmu pengetahuan. Namun dia menyadari tidak semua
orang beruntung meraih pengetahuan sesuai
keinginannya, sehingga dikhotomi bodoh dan pintar
lahir, boleh jadi akibat munculnya ilmu pengetahuan.
Terlebih-lebih saat sains dan teknologi digunakan
sebagai alat kekuasaan, khususnya pasca-Aufklarung di
Eropa pada abad ke-15 dan ke-16, jurang antara manusia
bodoh dan pintar kian melebar. 

Ekspansi kolonialisme dan imperialisme dengan tujuan
mengeksplotasi kekayaan alam milik bangsa-bangsa yang
berkategori bodoh yang dilakukan bangsa-bangsa pintar,
mulai terjadi sejak awal abad ke-17. Ilmu pengetahuan
menjadi ''Tuhan'' baru yang dijunjung kaum penjajah,
sehingga setelah ditaklukkannya benua Amerika dan
Australia yang berpenduduk jarang, menyusul kolonisasi
Asia dan Afrika. Pendapat Socrates tentang kesalahan
akibat ketidaktahuan terbantah, karena kolonialisme
justru dilakukan pihak yang berpengetahuan 

''Hakikat dunia adalah kehendak untuk berkuasa!
Kehendak untuk berkuasa adalah hakikat
segala-galanya!'' teriak Nietsche, dedengkot
eksistensialisme yang menganggp kekuatan adalah hal
yang paling utama dalam hidup, namun justru meninggal
secara tragis akibat kelemahannya pada usia 56 tahun. 

Rubag akhirnya berkesimpulan, bahwa apa yang cocok dan
populer di suatu zaman, akan menjadi tidak relevan dan
dianggap kuno pada zaman yang berbeda. Seperti halnya
ilmu pengetahuan yang awalnya dianggap dewa penyelamat
manusia di zaman Socrates, bahkan dipercaya sebagai
agama baru di Abad Pencerahan, sekarang di Millenium
ketiga justru nyaris menjadi monster menakutkan.
Persaingan ketat dalam sains dan teknologi, yang
sempat memunculkan negara-negara adidaya, justru
melahirkan generasi barbar setelah robohnya Tembok
Berlin tahun 1989 menyusul dikuburkannya paham
komunisme. 

Ironisnya, agama yang diturunkan Tuhan untuk
menjinakkan keliaran dan kebrutalan manusia, justru
digunakan alasan untuk saling bunuh. Tragedi WTC New
York 11 September 2001 dan Tragedi Legian Kuta, 12
Oktober 2002 adalah drama horor cermin ulah kebiadaban
manusia, yang mengingkari tugasnya sebagai kalifah
Tuhan di dunia. Padahal homo sapiens diciptakanNya,
setelah langit dan bumi, siang dan malam,
tumbuh-tumbuhan serta binatang dengan tujuan agar
manusia menjadi penghubung dunia dan akhirat. Bahkan
bukan hanya pada sesama manusia, pada semua mahluk
penghuni bumi ini konon ciptaan Tuhan yang dikatakan
paling sempurna tersebut diharapkan bersahabat agar
tercipta harmoni. 

Di usianya yang melewati paruh baya, Rubag ikut
mengalami beberapa perubahan zaman, termasuk
perkembangan politik yang berlangsung di Tanah Air.
Dari pengamatannya, dia setuju dengan pendapat
Nietzshe, khususnya tentang kehendak untuk berkuasa.
Bahkan sejarah Indonesia, baginya, nyaris seluruhnya
merupakan rentetan kehendak untuk berkuasa sehingga
masa tenang sangat sedikit dinikmati rakyat, karena
bukan hanya para elite, orang-orang yang tidak
memiliki kemampuan memimpin pun saling berebut
kekuasaan. 

Akibatnya, bangsa yang memiliki tanah air yang subur
dengan kekayaan alam yang berlimpah ini, tidak sempat
mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Lalu
''gemah ripah loh jinawi'' tetap menjadi cita-cita dan
propaganda para pecinta kekuasaan, sementara utang
luar negeri menumpuk dan bau anyir darah akibat
konflik fisik mewarnai kehidupan masyarakat yang konon
memiliki warisan budaya adiluhung, sopan-santun dan
ramah tamah ini. 

''Kekerasan menjadi panorama yang dianggap kian lumrah
di negeri ini. Ironisnya, pembunuhan penyu di Serangan
dikutuk, malah dijadikan isu internasional, namun
ketika bom di Legian meledak dan ratusan nyawa
melayang, orang-orang yang ribut masalah penyu
melempem tak bersuara,'' renung Rubag menyesalkan
seakan-akan sekarang timbul kecenderungan orang-orang
lebih sayang nyawa binatang dibanding nyawa manusia. 

*** 

Musibah berturut-turut yang menimpa bangsa, ternyata
tidak menggerakkan hati para pemimpin dan kaum elite
untuk mengurangi hasrat mereka untuk berkuasa.
Meskipun slogan persatuan dan kesatuan dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia tetap didengungkan saat
berorasi di depan publik, namun saat menggalang
dukungan buat meraih dan mempertahankan kekuasaan,
entah sadar atau tidak, mereka melontarkan agitasi
perpecahan. Kemayoritasannya selalu digunakan menekan
minoritas, baik secara halus lewat ancaman maupun
teror fisik. Malah saat ucapan dan kebijakannya
dikritik, melebihi kegesitan seorang pendekar, dia
meminjam tenaga lawan untuk memukul balik lawan
tersebut. Artinya, kritikan tersebut dimanipulasi,
seakan-akan bukan tertuju padanya, tapi pada
kelompoknya yang mayoritas, sehingga si pengeritik
diganyang atau dimusuhi ramai-ramai. 

''Munculnya kelompok pengacara yang mengatasnamakan
suatu agama pun, tidak terlepas dari kehendak untuk
berkuasa. Mudah-mudahan kelompok ini tidak
mengutamakan kemenangan di atas hukum, keadilan dan
kebenaran, sehingga menghalalkan segala cara,'' gumam
Rubag sembari memadamkan lampu di kamarnya, karena
kantuk menyerangnya. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com