[Nusantara] Keputusan R&D dan Urgensi Reformasi Jilid II

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Wed Dec 11 06:48:11 2002


Keputusan Release and Discharge dan Urgensi Reformasi
Jilid II 

Oleh Padang Wicaksono 

Akhirnya Sidang Kabinet Terbatas di Istana Negara,
Senin 18/11/ 2002 yang lalu, memutuskan untuk
memberikan release and discharge (pembebasan dari
proses tuntutan dan proses hukum) terhadap empat
pengutang kelas kakap yakni, Ibrahim Risjad,
Sudwikatmono, The Ning King, dan Hendra Liem. Ibrahim
Risjad (Bank RSI) dan Sudwikatmono (Bank Surya) adalah
dua obligor penandatangan Master of Settlement and
Acquisition Agreement (MSAA-Perjanjian Penyelesaian
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia/BLBI) sementara The
Ning King (Bank Dana Hutama) dan Hendra Liem (Bank
Budi Internasional) merupakan dua obligor yang telah
menandatangani Akta Pengakuan Utang (APU). 

Uniknya, keputusan R&D tersebut dikeluarkan
berdasarkan argumen bahwa mereka dianggap telah
melunasi seluruh kewajibannya sekalipun melewati batas
waktu yang telah ditentukan. Boleh jadi belasan
obligor (pengutang) kelas kakap lainnya sedang
menunggu hadiah pengampunan yang sama dari pemerintah.


Alangkah nikmatnya hidup di bumi Indonesia. Sayangnya
ungkapan ini hanya berlaku bagi konglomerat atau
seseorang yang dekat dengan kekuasaan saja. Meski
telah mengemplang utang dalam jangka waktu 4 tahun dan
menghisap tubuh perekonomian Indonesia, mereka (baca:
konglomerat) masih mendapat perlakuan istimewa.
Bandingkan dengan pencuri ayam yang harus menghadapi
amuk massa hingga ajal tiba. Sungguh seperti bumi dan
langit perbedaannya. 

Dalam perkembangan selanjutnya para elite politik yang
terhormat itu (baca: Presiden, Menko Perekonomian,
Jaksa Agung, dan Kepala BPPN) saling melempar tanggung
jawab dalam soal siapa yang harus menandatangani
beleid (kebijakan) penting R&D tersebut. Seperti
biasa, saling silang pendapat di antara para pengambil
keputusan telah menggeser substansi permasalahan yang
sebenarnya. Perdebatan bergeser pada soal legal atau
ilegal, perdata atau pidana, di mana soal teknis hukum
tersebut semakin membingungkan dan menjauhkan harapan
masyarakat awam akan terwujudnya rasa keadilan. 

Duri dalam Daging 

Padahal kalau kita mau meluangkan waktu sejenak untuk
menengok ke belakang, betapa konglomerasi yang pernah
dibangga-banggakan oleh rezim Soeharto di masa lalu
ternyata tak lebih dari sebuah duri dalam daging
perekonomian Indonesia. Namun tak dapat dipungkiri
pula bahwa mengguritanya bisnis konglomerat tak
terlepas dari dukungan pemerintah pada masa itu.
Bentuk dukungan pemerintah dapat kita telusuri dari
berbagai produk undang-undang/kebijakan yang
dikeluarkan pada masa lampau. 

Tengoklah misalnya UU No.1/1967 tentang Penanaman
Modal Asing (PMA), UU No. 6/1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN), dan fasilitas kredit
investasi berbunga rendah pada tahun 1969. Di tahun
1980-an pemerintah secara konsisten mendorong ekspansi
bisnis dengan jalan meluncurkan paket deregulasi
semenjak tahun 1983 dan sebuah babak baru dalam dunia
perbankan telah lahir dengan diluncurkannya Paket
Oktober 1988 yang memungkinkan menjamurnya pendirian
bank-bank yang terkait dengan konglomerat yang telah
eksis pada masa itu padahal di satu sisi para
konglomerat tersebut tidak mempunyai sejarah yang
panjang dalam bisnis perbankan. 

Dalam perkembangan selanjutnya bisa diperkirakan bahwa
sebagian besar bisnis konglomerat sangat tergantung
pada proteksi pemerintah seperti monopoli, tata niaga,
subsidi, maupun fasilitas khusus lainnya dari
pemerintah. Waktu terus berjalan hingga tanpa disadari
cengkeraman bisnis konglomerat telah melilit hampir
semua cabang produksi yang ada. Mulai dari sembako,
pakan ternak, bahan kimia dasar, semen, hutan, real
estat, industri otomotif, perbankan, bahkan hingga
jaringan media massa telah jatuh ke pelukan
konglomerat. 

Sampai menjelang krisis mata uang di pertengahan 1997,
pro-kontra mengenai eksistensi konglomerat di
Indonesia tak habis-habisnya menghiasi berita media
massa. Bagi yang pro berpendapat bahwa konglomerat
adalah aset nasional yang berperanan dalam menciptakan
lapangan kerja dan menyerap angkatan kerja sementara
bagi yang anti berpendapat bahwa konglomerat tak lebih
dari lintah yang pelan tapi pasti menyedot darah
potensi ekonomi nasional hingga habis. Teka-teki
mengenai pro-kontra konglomerat akhirnya terjawab
sudah ketika krisis mata uang melanda Asia yang
berawal dari bulan Juli 1997. 

Ketika badai krisis menerpa Indonesia, sebagian besar
bisnis konglomerat tumbang dan terbukti bahwa
sesungguhnya kerajaan bisnis tersebut dibangun di atas
pondasi yang keropos. 

Mengguritanya bisnis para taipan tersebut bukan
dibangun dengan sebuah ketekunan dan keberhasilan
menciptakan etos bisnis yang kuat melainkan berkat
kemampuan memanipulasi laporan keuangan agar dengan
mudah meraup dana dari pasar modal dan mendapat
suntikan kredit dari pemerintah. 

Lahan Subur 

Tumbangnya bisnis konglomerat memang telah
diperkirakan mengingat semenjak diluncurkannya Pakto
1988, praktis perbankan umum swasta nasional dikuasai
oleh para konglomerat. Sistem perbankan nasional
seperti ini apabila ditinjau dari sudut ekonomi sosial
jelas bukanlah hal menguntungkan. 

Mengapa? Perbankan yang dikuasai oleh konglomerat
telah menimbulkan lahan subur bagi praktik manipulasi
seperti penyaluran kredit kepada perusahaan-perusahaan
yang mempunyai kaitan kepemilikan dengan kelompok
usaha yang bersangkutan di mana kelompok usaha itu
adalah pemilik dari unit perbankan yang menyalurkan
kredit. Kalau kita sering berbicara praktek KKN maka
di sinipun telah terjadi praktek tersebut oleh karena
akses ke sumber pembiayaan tidak lagi mengikuti
prosedur yang baku dan wajar. 

Tidak berhenti sampai di situ, akses kredit yang mudah
tersebut ternyata tidak diikuti dengan efisiensi usaha
yang memadai. Seharusnya sebuah unit usaha yang
memiliki kemudahan pada akses sumber pembiayaan
memiliki tanggung jawab moral untuk lebih meningkatkan
efisiensi dalam berusaha sehingga nilai manfaat yang
diperoleh dari aktivitas bisnis tersebut dapat pula
dirasakan oleh masyarakat luas yang pada gilirannya
meningkatkan kemakmuran bangsa. 

Jauh panggang dari api, kenyataannya semakin banyak
kredit macet yang menumpuk akibat investasi
besar-besaran konglomerat pada sektor yang tidak
produktif atau wasteful seperti sektor properti dan
real estat mewah. Mobilisasi dana yang berhasil
dihimpun dari masyarakat luas tidak diimbangi dengan
penyaluran pada sektor-sektor produktif yang
menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga investasi
nasional telah terdistorsi sampai pada tingkat yang
mubazir. 

Ketika krisis moneter terjadi, dunia perbankan
nasional mengalami kesulitan likuiditas. Kepercayaan
masyarakat luas terhadap kinerja perbankan semakin
menurun semenjak pertengahan 1997 sehingga mendorong
adanya penarikan dana yang tersimpan di bank secara
besar-besaran oleh masyarakat luas (rush). 

Reaksi masyarakat luas ini menyebabkan kolapsnya dunia
perbankan Indonesia sehingga mendorong sidang kabinet
terbatas 3 September 1997 untuk memberikan Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan harapan dapat
menolong bank-bank nasional dari kehancuran yang lebih
dalam. 

Di kemudian hari persoalan BLBI yang menghabiskan dana
ratusan triliun rupiah ini telah menimbulkan
permasalahan yang kompleks dan rumit bagai tak
berujung oleh karena skandal BLBI yang menyangkut
ekonomi-politik dan persoalan teknis perbankan ini
telah menyita sebagian besar energi bangsa kita dalam
upaya keluar dari kemelut krisis ekonomi. Ironisnya
persoalan skandal BLBI yang melibatkan pemerintah,
para petinggi BI, dan bank-bank penerima BI hingga
detik ini masih belum tuntas. 

Terlepas dari perdebatan perlu atau tidaknya BLBI ini,
sudah pasti beban keuangan negara semakin berat yang
ironisnya beban ini harus ditanggung oleh rakyat
Indonesia di tengah-tengah kehidupan ekonomi yang
semakin sulit dalam bentuk hilangnya subsidi dan
meningkatnya pajak. Malangnya lagi, di era reformasi
ini para pelaku kejahatan ekonomi yang menyebabkan
terpuruknya perekonomian Indonesia tak kunjung
meringkuk di penjara. 

Setelah terbengkalainya pengadilan Soeharto, lolosnya
Golkar dari pengadilan politik berikut masih bebasnya
Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung, dan yang terakhir
melenggangnya para pengutang kelas kakap dari tuntutan
hukum semakin menambah harapan hampa akan makna
reformasi. Melihat kenyataan ini, maka tak berlebihan
jika penulis berharap akan munculnya gelombang
reformasi jilid II sebagai jurus pamungkas dalam upaya
menghabisi kekuatan status quo yang masih duduk tenang
di singgasananya hingga kini. 

Penulis sedang studi pada Department of Economic
Science Graduate School of Economics Saitama
University Japan. 

=========================================== 

Padang Wicaksono 
Department of Economic Science 
Graduate School of Economics Saitama University Japan 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com