[Nusantara] Release and discharge

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Wed Dec 11 06:48:09 2002


RELEASE AND DISCHARGE 

Masalah Release and Discharge yang tercantum dalam
MSAA menjadi ramai lagi. Saking perlu disebut sangat
sering dan saking sulitnya menulisnya dengan tepat,
Release and Discharge disingkat menjadi R&D (tentu
bukan Research and Development). 

Saya juga akan ikut-ikutan karena lebih gampang dan
lebih enak. Tidak banyak yang mengerti apa arti dari
istilah-istilah ini. Apalagi kalau ingin mengetahui
apa sebenarnya yang menjadi kontroversi pro dan
kontra. Buat banyak orang yang pro adalah yang
koruptor dan yang anti adalah yang bersih. 

Sebenarnya sudah lama praktis tidak ada orang yang
bersih di Indonesia tercinta ini kecuali bagian
terbesar dari rakyat Indonesia yang sangat miskin, dan
karenanya tidak mempunyai kekuasaan apapun juga.
Setiap orang yang mempunyai kekuasaan atau pengaruh
hampir dapat dipastikan kekuasaan atau pengaruhnya itu
dipakai untuk memperkaya diri. Itulah sebabnya
Indonesia selalu bertengger di posisi paling atas
dalam kwalifikasinya sebagai negara yang terkorup di
dunia. 

Kata R&D termuat dalam lima buah perjanjian yang
bernama Master of Settlement and Acquisition Agreement
(MSAA). Ceriteranya begini : orang mendirikan bank.
Banknya dipropagandakan habis-habisan sebagai bank
yang sangat bonafid dan memberikan pelayanan yang
bagus. Pendeknya banknya hebat, gedung-gedungnya
mentereng dan lokasinya semua di lokasi yang mahal.
Untuk itu modal disetor dihabiskan. Kalau perlu dengan
uang nasabah. Jelas saja masyarakat mempercayainya.
Masyarakat yang percaya itu menaruh uangnya di bank
dalam bentuk giro, tabungan atau deposito. 

Sejak awal pemilik bank itu memang bukan orang baik.
Sejak didirikannya bank, pemiliknya sudah mempunyai
maksud menyalah gunakan uang masyarakat yang
dipercayakan kepadanya. Bentuk penyalah gunaan ini
adalah memakai uang masyarakat itu untuk memberi
kredit kepada dirinya sendiri, yang dipakai untuk
mendirikan perusahaan-perusahaan tanpa modal sendiri. 

Lebih dari itu, kalau perusahaan yang didirikan
membutuhkan dana sebesar Rp. 100 milyar, pemilik bank
minta kredit dari bank yang dimilikinya sebesar Rp.
150 milyar. Dengan menginvestasikan dana yang Rp. 100
milyar, dia langsung mengantungi Rp. 50 milyar dalam
bentuk tunai yang ditransfer dan disimpan di luar
negeri. Jadi sambil memiliki perusahaan yang baru
didirikan, dia sekaligus juga mempunyai simpanan tunai
sebesar Rp. 50 milyar. 

Kecuali itu, pemilik perusahaan yang sekaligus pemilik
bank itu juga menjadi pimpinan perusahaan, biasanya
sebagai komisaris dengan gaji yang sangat tinggi,
fasilitas yang sangat mewah dan gratifikasi yang
sangat tinggi pula. Jadi dia mempunyai perusahaan,
mempunyai tabungan di luar negeri yang aman, dan hidup
sehari-harinya super mewah. Dia tidak hanya mempunyai
satu perusahaan, tetapi puluhan sampai ratusan. 

Kita ingat benar bahwa setiap hari koran dihiasi
dengan wajah-wajah para pengusaha ini yang mengenakan
pakaian mahal, mengenakan bunga di dadanya dalam
suasana pesta mengumumkan bahwa dirinya baru
mendirikan perusahaan senilai ratusan juta dollar.
Belakangan baru ketahuan bahwa uang yang dipakai itu
uang masyarakat yang dipercayakan kepada banknya
sendiri, dan dipakai dengan melakukan tindakan
kriminal seperti yang ditentukan dengan jelas dalam
undang-undang perbankan. Apakah pemerintah tidak
mengawasi bank supaya tidak disalah gunakan seperti
itu ? 

Jelas. Ada undang-undangnya, ada Bank Indonesia yang
mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap
kesehatan bank. Tetapi semuanya bisa disogok untuk
pura-pura tidak mengerti. Undang-undang perbankan
nomor 7 tahun 1992 yang kemudian diubah menjadi
Undang-undang nomor 10 tahun 1998, di dalam pasal 50
menyebut pelanggaran tersebut “diancam dengan pidana
penjara….. dan seterusnya. 

Demikian juga dengan pasal 50A yang secara eksplisit
menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap BMPK “diancam
dengan pidana penjara…. Dan seterusnya.). Saya tidak
mengutip seluruhnya karena poin saya hanya menunjukkan
bahwa pelanggaran terhadap BMPK adalah pelanggaran
pidana. 

Selama bertahun-tahun lamanya para pemilik bank
melakukan pelanggaran yang sifatnya pidana dengan
hukuman yang dirinci oleh pasal 50 dan pasal 50 A
dalam undang-undang nomor 10 tahun 1998. Tetapi Bagian
Pengawasan dari Bank Indonesia disogok oleh pemilik
bank. Maka pelanggaran terhadap BMPK yang sifatnya
pidana dibiarkan oleh BI untuk waktu sangat lama
sampai permasalahannya meledak menjadi sangat jelas
tak terbantahkan. Jumlah yang dilanggar juga tidak
tanggung-tanggung. 

Dalam kondisi seperti ini, bank masih dapat berputar
karena masih kemasukan uang masyarakat terus. Tetapi
ketika bank-bank di-rush karena 16 bank ditutup, semua
bank kena rush. Pemerintah panik, dan serta merta
mendrop bantuan likwiditas yang terkenal dengan
Bantuan Likwiditas Bank Indonesia (BLBI). Bantuan
inipun segera disalah gunakan lagi. Bank yang di-rush
minta dropping sebesar Rp. 2 trilyun misalnya, padahal
seluruh uang masyarakat yang dipercayakan pada bank
itu hanya Rp. 1,5 trilyun. Bank Indonesia segera
mengetahuinya dari sistem komputernya bahwa seluruh
uang masyarakat yang dipercayakan hanya Rp. 1,5
trilyun itu. Tetapi pemilik bank menawarkan kepada
pejabat BI yang menangani supaya didrop saja. Yang Rp.
500 milyar dibagi-bagi. 

Setelah melakukan itu, komputer dari bank dijebol
supaya tidak dapat ditelusuri. Beberapa waktu
berselang BPKP atau BPK mengetahui bahwa ada satu
tembusan yang selalu dikirimkan kepada BI. Dan memang
ada walaupun tidak di-file, tetapi ditumpuk seperti
gunung di beberapa kamar gedung baru. Eh, tidak lama
kemudian lantai yang bersangkutan terbakar atau
dibakar. Untuk pelanggaran inipun sifatnya pidana yang
tercantum dalam undang-undang no. 10 tahun 1998
tersebut. Tetapi tentang pemusanahan data ini tidak
pernah ada yang menggugat. 

Uang BLBI yang dibayarkan kepada nasabah yang menarik
uangnya (me-rush) ini tidak mungkin dibayar kembali
oleh pemilik bank. Maka oleh pemerintah dijadikan
penyertaan atau dijadikan modal sendiri atau modal
ekuitinya pemerintah dalam bank. Mendadak bank menjadi
milik pemerintah. Tetapi sekaligus pemerintah juga
mempunyai tagihan kepada pemilik bank, karena pemilik
bank mempunyai utang banyak kepada banknya yang
sekarang menjadi milik pemerintah. 

Bagaimana caranya menyelesaikan ? 

Reaksi pertama darti Presiden ketika itu (BJ Habibie)
adalah bahwa bank sudah menjadi milik pemerintah.
Mantan pemilik bank berutang kepada pemerintah. Ya
simpel saja, utang harus dibayar atau kalau tidak
ditindak secara hukum. Tetapi Habibie dikibuli oleh
para menterinya sendiri. Mereka itu menelikung Habibie
supaya tidak dibayar dengan uang tunai karena mereka
tidak lagi memilikinya, melainkan dibolehkan dibayar
dengan perusahaan-perusahaan. Perusahaan-perusahaan
ini dinilai oleh akuntan luar negeri yang dianggap
sangat bonafid karena termasuk 5 besar. 

Maka kalau kita ambil Salim sebagai contoh, dia
menyerahkan 108 perusahaan yang nilainya pas dengan
jumlah utangnya sebesar Rp. 53 trilyun. Dianggap
selesai, dan kesepakatan ini dituangkan dalam sebuah
perjanjian yang namanya MSAA. Arti dari ini kira-kira
adalah penyelesaian utang yang diambil secara tunai
dengan cara membayarnya dengan barang. 

Sekarang yang menyangkut dengan R&D. 

Dalam kesepakatan MSAA ini ketentuan yang ada dalam UU
perbankan tadi dianggap tidak ada. Dalam salah satu
pasal MSAA dicantumkan bahwa mantan pemilik bank itu
dibebaskan dari pelanggarannya terhadap ketentuan BMPK
atau LLL yang dalam undang-undang perbankan adalah
pelanggaran pidana. Langsung muncul masalah bagaimana
mungkin perjanjian perdata meniadakan ketentuan pidana
dalam undang-undang ? 

Ketika itu juga, yang dianggap mempunyai kewenangan
menandatangani MSAA yang konyol dan salah kaprah itu
adalah Menteri Keuangan, Ketua atau Wakil Ketua BPPN
dan Jaksa Agung. Yang paling mengerti hukum, yaitu
Jaksa Agung yang ketika itu Andi Ghalib tidak mau
menandatanganinya. Toh Menteri Keuangan Bambang
Subianto dan Ketua BPPN yang Glen Jusuf dan Wakil
Ketua BPPN yang Farid Haryanto menandatanganinya. Ini
kenyataan pertama, yaitu apakah para penandatangan itu
tidak ikut melakukan pelanggaran pidana dan patut
dihukum ? Mengapa mereka menandatangani ? Apakah
karena tidak mengetahui implikasi hukumnya ataukah
mengetahui, tetapi menandatangani karena disogok oleh
pengutang mantan pemilik bank itu dengan uang dalam
jumlah sangat besar ? 

Tentang implikasi hukum ini, para pejabat sekarang
yang tidak ikut bersalah karena bukan penandatangan
MSAA ikut-ikutan fanatik membela. Orang-orang seperti
Laksamana Sukardi, Dorodjatun, Syafrudin Temenggung
membela bahwa pemerintah (negara) memang harus merugi
dan memang harus memberikan R&D. Mengapa ? Karena
kecuali MSAA sudah ditandatangai, MSAA diperkuat
validitasnya oleh TAP MPR nomor X/MPR/2001, oleh
Undang-Undang nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas.
Katanya dikuatkan lego oleh laporan BPK. Lagi-lagi
pertanyaannya adalah apakah Tim Ekonomi dalam
pemerintahan Megawai itu mengerti persoalan ataukah
disogok alias mereka juga koruptor besar ? 

Yang dipakai sebagai dalih adalah TAP MPR, Propenas
dan audit BPK. Terlepas dari apakah Undang-Undang n0.
10 tahun 1998, TAP MPR, Propenas dan laporan BPK itu
memang dapat ditafsirkan sebagai membebaskan semua
pengutang mantan pemilik bank dari jerat hukum pidana,
yang menjadi inti permasalahannya adalah perasaan
tidak adil dari masyarakat. Dalam masyarakat yang
primitif seperti di Indonesia yang intelektualnya juga
intelektual mediocre, mereka tidak mampu mengakomodir
aspirasi rakyat, terutama rasa keadilannya. Yang
dikemukakan selalu adalah kertas-kertas yang dianggap
mempunyai kekuatan hukum, dan karenanya dijadikan
pokrol bambu. 

Pokrol memokrol seperti ini adalah excercise yang
digemari oleh pseudo intelektual, tetapi sama sekali
terlepas dari aspirasi atau suasana batin masyarakat
yang diwakilinya. Saya katakan yang diwakili, karena
mereka yang di legislatif maupun yang di eksekutif
sebenarnya harus mewakili kepentingan rakyat yang
membuatnya mnempunyai kekuasaan. Kalau kekuasaan
dipakai untuk korupsi dan korupsinya itu ditutup
dengan dokumen-dokumen yang memang dihasilkan untuk
berkorupsi, untuk sementara mempan di kalangan mereka
sendiri. Pada akhirnya, kalau diterus-teruskan, akan
menimbulkan kemarahan dan gejolak sosial. 

Tetapi marilah kita ikuti perkelitan yang dilakukan
oleh Tim Ekonomi Pemerintah. Mereka mengatakan bahwa
seandainya tidak ada TAP MPR, Propenas dan laporan
BPK, MSAA memang harus dianggap melawan undang-undang
dan mengabsahkan pelanggaran pidana. 

Tetapi karena sekarang ada tiga “produk hukum”
tersebut, para pengutang lalu dibela mati-matian.
Ketika Ketua BPPN masih Gde Putu Ary Suta, TAP MPR dan
Propenas (ketika itu masih belum ada laporan BPK)
dipakai oleh KKSK yang memperpanjang masa berlakunya
PKPS sampai 10 tahun mendatang dan memberikan potongan
bunga sampai menjadi 9 % saja. Ketika Kwik Kian Gie
sebagai anggota KKSK menolaknya secara gigih, 

Tim Ekonomi yang anggota KKSK lainnya membela
keputusan tersebut mati-matian pula dengan dalih
diharuskan oleh TAP MPR dan Propenas. Tetapi entah
karena apa, akhirnya dicabut setelah perlawanan oleh
opini publik demikian kerasnya. Jadi TAP MPR dan
Propenas yang dipakai untuk membela mati-matian
perpanjangan PKPS dibatalkan. Sekarang TAP MPR dan
Propenas yang sama (ditambah dengan laporan audit BPK)
dipakai lagi secara mati-matian untuk memberikan R&D
kepada para pengutang besar mantan pemilik bank. 

Lagi, perasaan keadilan masyarakat terusik, dan reaksi
keras dan cukup meluas bermunculan. Bagaimana sikap
Tim Ekonomi ? Ternyata pengecut ! Kali ini dicarikan
berbagai alasan supaya yang mengambil keputusan adalah
Presiden. Kita semua mengetahui bahwa Megawati tidak
mempunyai pengetahuan yang cukup dalam seluk beluk
pengutang besar penandatangan MSAA. Kita juga
mengetahui bahwa yang menandatangani MSAA adalah
Menteri Keuangan dan Kepala BPPN. Mengapa sekarang
dipaksakan Megawati yang menandatangani R&D ? Kalaupun
tidak dipaksa untuk menandatangani, paling tidak
kepada masyarakat luas dikesankan Presiden yang
mengambil keputusan. 

Maka dianggap tidak cukup diputus dalam rapat KKSK
yang dihadiri oleh Kapolri dan Jaksa Agung. Rapat
diadakan secara mendadak tanpa prosedur sebagaimana
mestinya pada tanggal 7 November 2002 di rumahnya,
yang diumumkan bahwa sidang kabinet terbatas yang
dipimpin langsung oleh Presiden telah mengambil
keputusan memberikan R&D kepada semua penandatangan
MSAA. Masalahnya teknis sepele saja yang harus
menyelesaikan kaitan antara BUMN dengan BUMN lainnya. 

Ketika Kwik Kian Gie membantahnya bahwa itu bukan
sidang kabinet, langsung saja diselenggarakan lagi
sidang kabinet terbatas yang prosedurnya seperti
sidang kabinet betul selang beberapa hari setelah itu.
Berita yang beredar mengatakan bahwa dalam sidang
kabinet tersebut telah diambil keputusan untuk
memberikan R&D. Yang menjadi masalah adalah siapa yang
harus menandatanganinya ? Ternyata lempar melempar
bola panas. 

Dalam pernyataan Kepala BPPN dan atasannya
menggebu-gebu dengan penuh yakin diri, tetapi ketika
harus ditandatangani yang disodorkan adalah Menko
Dorodjatun atau Jaksa Agung. Ini lucu. Yang
menandatangani atas nama pemerintah dahulu adalah
Menteri Keuangan dan Kepala BPPN. Sekarang dua-duanya
mengelak. Dahulu tidak ada Menteri yang membawahi
langsung Kepala BPPN. Sekarang ada, yaitu Meneg BUMN.
Diapun hanya mau menerima setoran, tetapi tidak mau
bertanggung jawab. Yang tidak dapat dimengerti dan
agak kejam adalah bahwa Megawati yang begitu dekat
dengan Laksamana, justru Laksamana yang hendak
menjebak. 

Mari sekarang kita telaah apakah betul bahwa TAP MPR
menetapkan bahwa kepada penandatangan MSAA harus
diberi R&D ? TAP MPR no. X/MPR/2001 mengatakan :
“Pemerintah perlu konsisten melaksanakan MSAA dan
MRA.” Dalam konsistensi itu diartikan bahwa nilai yang
diserahkan sebagai settlement tidak boleh berkurang
dari yang tertuang dalam MSAA. 

Kalau kita mengambil Salim sebagai contoh, nilainya
assets yang diserahkan kepada BPPN tidak boleh merosot
lebih rendah dari Rp. 53 trilyun. Nyatanya keseluruhan
nilai kalau semua assets nantinya terjual hanyalah
sekitar Rp. 20 trilyun. Apakah dalam MSAA ada pasal
yang dengan eksplisit mengatakan bahwa nilai assets
memang boleh turun sampai berapapun juga, walaupun
ketika menerima telah diaudit habis-habisan oleh
auditor yang termasuk 5 besar di dunia ? Kalau MSAA
tidak menentukan bahwa nilai assets boleh merosot
tajam, maka kenyataan bahwa nilainya merosot tajam
sudah meniadakan kata “konsisten” dalam TAP no. X
tahun 2001. 

Tafsiran seperti ini dikuatkan oleh tafsiran Kepala
BPPN yang tidak mau membayar management fee yang
ditagihkan kepada Salim. Ketika Salim menyerahkan 108
perusahaannya kepada pemerintah yang diwakili oleh
BPPN sebagai pembayaran lunas atas keseluruhan
utangnya yang berjumlah Rp. 53 trilyun, ketika itu
juga BPPN mengatakan kepada Salim bahwa BPPN tidak
mampu mengelola dan minta Salim masih mengelolanya
untuk kepentingan negara qq. BPPN. Salim minta kontrak
dan ditandatangani management contract yang lengkap
dengan ketentuan management fee yang berhak diterima
oleh Salim. Ini tidak pernah dibayar. 

Maka ketika Salim dihukum membayar Rp. 729 milyar
untuk misrepresentation-nya, Salim langsung membayar.
Setelah itu Salim menyodorkan management fee yang
tidak pernah dibayar sebesar Rp. 1,8 trilyun. Dengan
sangat lantang dan gembar gembor Kepala BPPN Syafrudin
Temenggung mengatakan bahwa satu senpun tidak akan
dibayar olehnya. Mengapa ? Karena nilainya ternyata
merosot. Jadi Syafrudin menafsirkan management
contract batal karena nilainya merosot. 

Maka dengan menggunakan tafsiran paralel, karena nilai
assets Salim yang diserahkan merosot di tangan Salim,
kata “konsisten” dalam TAP no. X MPR yang berbunyi
“Pemerintah perlu konsisten melaksanakan MSAA” juga
gugur. Dengan gugurnya ini pemerintah tidak perlu
konsisten dalam melaksanakan MSAA. Syafrudin
Temenggung menganggap Salim cidera janji dalam
mengelola 108 perusahaan untuk kepentingan negara,
sehingga management fee yang sebesar Rp. 1,8 trilyun
tidak dibayar sepeserpun. 

Karena nilainya merosot, dengan sendirinya Salim juga
cidera janji, sehingga R&D tidak berlaku baginya.
(lihat bunyi Propenas 3.4.2 Program Penyelesaian Utang
Perusahaan (halaman IV-42). Salim diambil sebagai
contoh. Untuk setiap MSAA buat obligor lainnya perlu
diteliti dan ditafsirkan seperti ini. Semua nilai
assetsnya merosot, sehingga semuanya tidak lagi kebal
terhadap R&D menurut TAP MPR X/2002 dan Propenas.
Sekali lagi, supaya jelas betul. Kepala BPPN tidak mau
mengindahkan kontrak manajemen yang telah
ditandatangani antara Salim dan BPPN dalam pembayaran
management fee karena nilai assets yang dikelola
merosot. 

Untuk kemerosotan nilai assets ini obligor dihukum.
Jadi obligor juga harus dihukum pula dalam bentuk
ditiadakannya R&D karena nilai assets yang merosot.
Tetapi Syafrudin Temenggung yang didukung oleh
Laksamana Sukardi dan Dorodjatun menjadi sangat
sombong. Bukan akhli hukum, tetapi mengabaikan
pendapat akhli hukum sekaliber Kartini Mulyadi.
Sikapnya sudah ketularan kebanyakan ekonom dangkal
yang biar bodoh asal sombong. Kalau berbicara selalu
dengan gaya menggebrak seperti dia yang pintar
sendiri. 

Mula-mula menggebrak dengan TAP MPR no. X/2002 dan
Propenas untuk menunda pembayaran PKPS dengan 10 tahun
dan menurunkan bunga utangnya sampai 9 %. Dia tidak
tahu bahwa dengan perpanjangan ini perjanjian ini
semua hak menuntut pemerintah terhadap obligor sudah
kadaluwarsa. Apakah ini set up-nya karena dia telah
menerima sogokan ? Ini dapat digagalkan. Sekarang dia
menggunakan merosotnya nilai assets yang dipakai
sebagai pembayaran final untuk utangnya obligor untuk
menghukum obligor dengan tidak mau membayar management
fee. Tetapi dia tidak mau menghukum obligor dalam
pelanggarannya terhadap BMPK walaupun nilai assets
yang dipakai untuk membayar merosot. Bahkan dibela
harus diberikan R&D dengan tameng TAP MPR X/2002 dan
Propenas. TAP MPR dan Propenas dipakai terus untuk
membela dan melindungi obligor bandit. Apalagi
alasannya ? Apakah dia goblok ? Mana mungkin. 

Dia menyombongkan diri selalu lulus cum laude dari
universitas terbaik di Amerika. Kalau tidak goblok,
apa lagi kalau bukan sudah makan uang suap ? Setelah
kesemuanya ini, dia tidak mau menandatanganinya
sendiri. Presiden dilibat-libatkan dan dikesankan
bahwa Presiden yang mengambil keputusan. Yang konyol
Laksamana Sukardi ikut-ikutan menjebloskan Megawati
yang begitu dekat dan baik terhadapnya. Apakah
Laksamana Sukardi juga tidak disuap ? Kalau Dorodjatun
kelihatannya sih bukan tipe orang yang disogok. Dia
tipe orang yang memang blo’on saja. 

Tetapi bagaimanapun juga yang kasihan Megawati kalau
sampai dia mau menandatangani R&D. Namun
menandatangani atau tidak, tanggung jawab akhir ada
pada pundaknya sebagai Presiden. Lantas bagaimana dia
harus bertindak ? 

** Muh. Indrajit **


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com