[Nusantara] Aspek Hukum Penerbitan R&D

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Dec 10 03:48:17 2002


Aspek Hukum Penerbitan R&D 

Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru dalam
penyelesaian kasus BLBI yang saat ini berada di tangan
para konglomerat. Setelah mengeluarkan berbagai sheme
penyelesaian kasus BLBI melalui MSAA, MRNIA, PKPN dan
APU, Pemerintah menerbitkan Letter of Release and
Discharge (R&D) kepada sejumlah obligor yang dipandang
kooperatif dalam menyelesaikan hutangnya kepada
negara, yang berisi pembebasan dari tuntutan hukum. 

Sebagai langkah awal R&D diterbitkan kepada empat
konglomerat besar, yaitu Sudwikatmono (eks Bank Surya
dengan hutang Rp 1,88 triliun), Ibrahim Risjad (eks
Bank RSI dengan hutang Rp 636,8 miliar), The Nin King
(eks Bank Danahutama dengan hutang Rp 18,06 miliar)
dan Liem Hendra (eks Bank Budi Internasional dengan
hutang Rp 17,6 miliar). Tidak tertutup kemungkinan,
R&D akan diberikan kepada obligor lain yang dinilai
kooperatif. Konon, Sudono Salim (eks BCA), Syamsul
Nursalim (eks BDNI) dan Bob Hasan (eks BUN) akan
segera dibebaskan dengan R&D pula. Sedang konglomerat
Usman Atmadjaya (eks Danamon), Kaharudin Ongko (eks
BUN) dan Samadikun Hartono (eks Bank Modern) saat ini
tengah menunggu nasibnya dapat tidaknya memperoleh R&D
setelah mereka meneken MRNIA. 

Dengan diterbitkan R&D tersebut maka para obligor
diberi kesempatan untuk menunaikan kewajibannya
melalui penandatangan PKPS dan APU, sementara dia
dibebaskan dari tuntutan hukum (pidana). Kebijakan
tersebut dimaksudkan untuk menggugah para debitor agar
mempunyai semangat dan itikad baik untuk segera
melunasi hutangnya kepada negara. Namun beberapa
kalangan menolak kebijakan penerbitan R&D tersebut,
karena terbukti meski beberapa kali diterbitkan
kebijakan dalam penyelesaian kasus BLBI/KLBI dengan
berbagai macam program, tetapi hasilnya tetap tidak
memuaskan. S

udah saatnya kepada para obligor nakal diterapkan
sanksi hukum menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Beberapa klausul dalam R&D tersebut sangat
menguntungkan debitor dan melindungi konglomerat nakal
jika ternyata mereka tidak mau membayar kewajibannya
kepada negara. Kepala Bappenas, Menko Ekuin, Kwik Kian
Gie, termasuk salah satu pejabat yang menentang
kebijakan tersebut. 

Menurut Kwik, meski telah melaksanakan kewajibannya
mereka masih harus menghadapi proses pidana karena
melanggar Undang Undang Perbankan. Kebijakan tersebut
sangat menguntungkan konglomerat yang melakukan
kejahatan ngemplang uang negara karena dilindungi oleh
penerbitan R&G. Beberapa konglomerat yang diduga
melakukan mark up saat meminjam uang negara atau
melanggar legal lending limit melalui lembaga
perbankan, tidak diproses secara hukum karena kasusnya
ditutup dengan menerbitkan R&D. 

Tidak Dibenarkan 

Kebijakan pengembalian piutang negara di tangan
obligor melalui berbagai program (MSAA, MRNIA, PKPS
dan APU) antara Pemerintah dan debitor dalam
perspektif hukum perdata (hukum privat) adalah sah-sah
saja dilakukan. Tujuan yang hendak dicapai oleh
Pemerintah semata-mata untuk mengembalikan uang negara
yang nyantol di tangan debitor nakal. Namun jika
ditinjau dari aspek hukum pidana, penerbitan R&D tidak
dapat dibenarkan. 

Terhadap debitor yang tidak melakukan pelanggaran
dalam memperoleh dan mengunakan BLBI, penerbitan R&D
tidaklah menjadi masalah. Namun bagi debitor yang
melakukan kejahatan dengan menggerogoti uang negara
sehingga menimbulkan kerugian triliunan rupiah, tetap
harus ditindak dan dimintai pertanggungjawaban hukum
tanpa harus diterbitkan R&D. Transaksi antara debitor
dan BI atau Bank Pemerintah berkaitan perolehan dan
penggunaan uang negara memang termasuk dalam lingkup
hukum perdata. 

Namun tidak sedikit debitor yang sengaja menilep uang
negara, baik dalam bentuk kredit atau penyalahgunaan
BLBI/KLBI, sehingga negara dirugikan ratusan triliun
rupiah. Perbuatan demikian jelas melanggar hukum
sehingga harus diselesaikan melalui pengadilan dengan
menyeret pelakunya ke meja hijau. Jadi, perbuatan
debitor dan siapa pun juga yang merugikan negara
melalui lembaga perbankan dapat dikualifikasikan
sebagai tindak pidana korupsi. UU No. 3/1971 yang
diperbarui UU No. 31/1999 telah memberikan ancaman
cukup berat bagi pelaku kejahatan korupsi. Bahkan jika
perbuatan korupsi tersebut menimbulkan kerugian
sedemikian besar sehingga berdampak luas dalam
kehidupan masyarakat, maka pelakunya dapat diancam
hukuman mati. 

Penilepan uang negara dengan menggunakan lembaga
perbankan sebagai sarananya, seperti mark up,
pelanggaran BMPK, perampokan BLBI dan KLBI oleh
beberapa konglomerat merupakan kejahatan perbankan. UU
Perbankan No. 7/1992 yang telah diperbarui UU No.
10/1998 memberikan ancaman hukuman sangat tinggi
kepada pelakunya, yaitu penjara paling lama 15 tahun
dan denda paling tinggi Rp 15 miliar. Apabila penilep
uang negara tidak diselesaikan melalui jalur yang
benar, dalam arti diselesaikan di luar jalur
pengadilan karena mereka bersedia akan mengembalikan
uang kepada negara, maka hal itu merupakan wujud
inkonsistensi dalam penegakan hukum. 

Pada skala makro dapat memerosotkan wibawa pemerintah
dalam penyelesaian berbagai skandal di Indonesia. Para
debitor yang mempunyai bargaining position kuat karena
punya banyak uang akan seenaknya mengatur Pemerintah
meski mereka melakukan perbuatan yang merugikan
negara. Seharusnya penyelesaian kejahatan terhadap
keuangan negara, seperti kasus BLBI dan kejahatan
perbankan lainnya ditempuh melalui dua jalur, yaitu
jalur perdata dan jalur pidana. Pembuatan perjanjian
antara Pemerintah dan beberapa debitor dalam berbagai
program harus dianggap sebagai upaya penyelesaian
melalui jalur perdata guna mengembalikan uang kepada
negara. 

Sedang jalur pidananya, yakni jika terdapat indikasi
terjadi tindak kejahatan, maka harus ditempuh untuk
menjerakan para debitor nakal dan penjahat kerah putih
lainnya. Tidak Dapat Dihapus Pertanggungjawaban pidana
tidak dapat dihapus begitu saja dengan dikembalikannya
obyek kejahatan kepada korban. Korban kejahatan dapat
menuntut pertanggungjawaban pidana dan perdata jika
menderita kerugian moral maupun materiil. Meski
diterbitkan R&D namun hal itu tidak menghapus wewenang
aparat hukum untuk menindak para konglomerat secara
hukum. 

Seorang perampok atau pencuri tetap harus diseret ke
pengadilan kendati barang yang dicuri telah
dikembalikan kepada korban. Bukan berarti setelah
barang curian/rampokan dikembalikan kemudian pelakunya
bebas dari tuntutan pidana. Tujuan hukum pidana adalah
melindungi kepentingan umum, menjerakan pelaku dan
orang lain agar tidak melakukan kejahatan yang sama. 

Prinsip pemidanaan ditujukan kepada perbuatan pidana
(straf handeling) yang dilakukan seseorang, bukan
akibat atau kerugian yang diderita korban. Kendati
kerugian korban telah mendapat penggantian, perbuatan
pidananya tetap harus diselesaikan secara hokum. 

Hukum pidana di Indonesia tidak mengenal kompromi
dalam penyelesaian kejahatan. Hukum pidana kita
menganut prinsip siapa yang bersalah melakukan
kejahatan harus dijatuhi hukuman (geen straf zonder
shculd). Menurut teori imputation (Hans Kelsen)
seseorang dijatuhi hukuman karena melakukan perbuatan
(kejahatan) yang dilarang oleh undang-undang yang
memuat ancaman hukuman untuk itu. 

Dalam hukum pidana yang berlaku di Amerika Serikat
memang dikenal lembaga plea bargaining yang
memungkinkan dilakukan kompromi dalam penegakan hukum
pidana. Berdasarkan plea bargaining tersebut seorang
pelaku kejahatan bisa tidak diadili dengan catatan
mengembalikan harta hasil kejahatan kepada korban. 

Plea bargaining tidak dikenal dalam hukum pidana di
Indonesia, sehingga jika terjadi kejahatan maka parat
penegak hukum wajib mengambil tindakan mulai
penyidikan, penuntutan sampai pengadilan. Kesemuanya
itu dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada
masyarakat umum, disamping kepada korban. 

Lain halnya dalam hukum perdata, penegakan hukum baru
dilakukan jika seseorang dirugikan oleh orang lain dan
dia mengajukan gugatan ke pengadilan. Jadi,
penyelesaian kejahatan yang merugikan keuangan negara
dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu perdata dan
pidana. Penyelesaian jalur perdata dilakukan melalui
gugatan ke pengadilan untuk pengembalian uang negara
yang telah ditilep atau melakukan negosiasi di luar
pengadilan. 

Sedang jalur pidananya harus ditempuh melalui
peradilan pidan untuk menjerakan para pelaku KKN.
Proses pidana tetap harus dijalankan terhadap koruptor
dan pelaku KKN yang telah mengeruk uang negara.
Pengembalian harta hasil KKN tidak dapat dijadikan
alasan pembenar oleh para koruptor untuk menolak
pemeriksaan yang dilakukan aparat penegak hukum.
Pengembalian harta hasil KKN (jika ada) hanya dapat
dijadikan alasan untuk meringankan penjatuhan hukuman
oleh hakim kelak. 

Korupsi, kejahatan perbankan dan white collar crime
tidak hanya merugikan negara, tetapi juga rakyat
secara keseluruhan. Bagaimana pun uang bank yang
dikucurkan kepada debitor nakal dan tidak
dikembalikan, adalah uang rakyat. Karenanya, rakyat
secara keseluruhan berkepentingan agar setiap
perbuatan yang merugikan negara dan merugikan rakyat
ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku. 

Pemerintah seharusnya tidak gegabah menerbitkan suatu
surat yang isinya menghapuskan suatu tuntutan hukuman.
Di sisi lain, aparat penegak hukum (kepolisian dan
kejaksaan) tidak wajib menghiraukan surat seperti itu
(R&D) dan proses hukum tetap dapat dijalankan. 

Penghentian suatu proses hukum hanya dapat dilakukan
jika didasarkan atas tindakan legal oleh pejabat yang
mempunyai kewenangan untuk itu, misalnya oleh
pengadilan. Penerbitan surat R&D kepada konglomerat
dapat dinilai sebagai salah satu bentuk intervensi
oleh Pemerintah terhadap proses hukum (pidana) yang
tengah dijalankan oleh aparat hukum. Intervensi
demikian jelas tidak dapat dibenarkan dalam negara
hukum kita. Apalagi jika proses hukum tersebut telah
sampai pada tingkat pemeriksaan di pengadilan. 

Di samping itu penerbitan R&D juga bertentangan dengan
konsistensi Pemerintah dalam memberantas KKN. Di satu
sisi Pemerintah gembar-gembor akan memberantas KKN di
semua lini kehidupan, namun di sisi lain ternyata
Pemerintah menerbitkan surat R&D kepada konglomerat
yang pernah menilep uang negara dengan alasan mereka
kooperatif atau untuk menjaga kondisi perekonomian
agar tidak goncang. 

Penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan
konsisten, terutama terhadap para penjahat yang
merugikan keuangan negara. Apa pun risikonya, hukum
harus ditegakkan sesuai bunyi yang terdapat dalam
Undang-undang. Penegakan hukum itu kadangkala memang
kejam, tetapi ia harus dilakukan sesuai aturan yang
berlaku (lex dura sed tamen scripta). Penegakan hukum
tidak boleh dihentikan dengan alasan ekonomis atau
alasan lainnya. 

Dalam kondisi apa pun, hukum harus ditegakkan agar
terdapat supremasi hukum di suatu negara. Bahkan jika
langit runtuh pun hukum tetap harus ditegakkan (fiat
justitia et pereat mundus). Jangan terjadi sebaliknya,
langit belum runtuh tetapi negara ambruk duluan akibat
hukum tidak ditegakkan. 

*** 

M Khoidin
(Penulis adalah dosen Pascasarjana Universitas
Jember). 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com