[Nusantara] R&D Dan Citra Konglomerat

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Dec 10 03:48:15 2002


R&D Dan Citra Konglomerat 
Oleh Stevanus Subagijo 

Senin, 2 Desember 2002 Keputusan pemerintah untuk
memberikan status release and discharge (R&D) atau
pembebasan dari tuntutan dan proses hukum kepada
obligor besar yang telah menyelesaikan kewajiban patut
disikapi dengan lebih positif. Paling tidak, empat
konglomerat sudah memperolehnya, yakni Sudwikatmono,
Ibrahim Risjad, The Nin King dan Liem Hendra.
Rencananya menyusul pula Soedono Salim, Sjamsul
Nursalim, dan Mohamad "Bob" Hasan. 

Sikap positif di atas untuk menjauhi temperamen lama
kita yang sangat negatif terhadap konglomerat, yang
justru kontraproduktif bagi pemulihan ekonomi
nasional, khususnya peran konglomerat. Hal ini jauh
dari keinginan membela buta mereka, yang mungkin salah
dalam hal utang kepada negara ihwal BLBI, yang mencuat
di tengah krisis ekonomi dan ketidakstabilan politik
pasca Soeharto lengser. 

Sikap untuk menentang dan curiga terhadap setiap
kebijakan yang terkait dengan konglomerat hendaknya
dihapuskan. Ide untuk membuat miskin konglomerat yang
pernah dilontarkan pejabat pemerintah di waktu lalu,
atau menyeretnya ke hotel prodeo sebaiknya diganti
saja dengan rekonsiliasi ekonomi nasional, memulihkan
citra konglomerat dan menuntut "politik balas budi
ekonomi" secara positif kepada mereka atas pembebasan
dari tuntutan hukum. Hal ini mengingat terlalu
banyaknya faktor yang tidak jelas dan tidak kuat dalam
kasus obligor kakap ini. P

ersoalan kucuran BLBI (Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia) saja masih bisa diperdebatkan, seperti
kewajiban Bank Indonesia (BI) kala itu sebagai lender
of the last resort dan rush politik yang bukan semata
hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank. Soal
pelanggaran BMPK, bagaimana dengan pelanggaran yang
sama pada bank-bank pemerintah yang menurut pengamat
juga banyak terjadi. Belum keanehan-keanehan dalam
kesepakatan, seperti MSAA (Master of Settlement
Acquisition Agreement) dll seperti selisih kekurangan
aset ditanggung pemerintah padahal yang utang
konglomerat. Belum lagi kiprah BPPN (Badan Penyehatan
Perbankan Nasional) yang sarat kritik dalam mengelola
dan menjual aset. 

Soal siapa yang berhak menandatangani berkas R&D,
penafikan peran konglomerat baik dalam pemulihan
ekonomi, penarikan investasi asing, ekspansi ke luar
negeri pun sebagai penyandang dana parpol untuk Pemilu
2004 menjadi saling pengaruh-mempengaruhi. Jika kita
terus mempersoalkan pemberian R&D, kita pasti akan
melangkah mundur kepada persoalan-persoalan
sebelumnya. Ibaratnya, ada biji kacang terselip di
tenggorokan, sehingga setiap kita makan ganjalan itu
selalu terasa. I

hwal status hukum bukan hanya siapa yang akan
menandatangani R&D, tetapi seberapa besar kekuatan
hukum itu melindungi konglomerat. Tentu penyebutan
melindungi konglomerat di sini bukan dalam arti
membela kepentingan pengusaha besar secara subyektif,
tetapi sebatas warganegara yang dilindungi hukum. Hal
ini tidak bisa dipisahkan dari sifat obligasi yang
jumlahnya sangat besar itu. Yang bisa menciptakan
"misi lain" di luar sektor ekonomi. 

Kita tahu ihwal BLBI sejak dahulu sangat keras
ditentang, didemonstrasi, diseminarkan, diwacanakan di
media massa dan publik. Kecenderungan saat itu
menjadikan kasus ini akses untuk menyeret konglomerat
ke meja hijau di tengah dirinya saat itu kehilangan
payung politik karena Soeharto lengser. Tapi ending
yang tampaknya berbentuk R&D kelihatannya happy-happy
saja. Ini berarti bahwa ada "ucapan terima kasih" yang
bisa saja kelak diberikan konglomerat kepada hukum
yang telah berlaku adil. 

Namun subyektifitas di sini bisa saja dialamatkan
kepada pejabat pemerintah yang ikut berperanan besar
dalam memberikan keputusan R&D. Ada "terima kasih"
yang belum diterakan alamat ke mana dan kepada siapa
hendak diberikan. Dan, ini bisa jadi jalan masuk
politik uang, kartu as, KKN baru, bagi penguasa.
Apalagi, Pemilu sudah di depan mata. 

Tekanan Politis 

Bahwa pemberian R&D menimbulkan pro-kontra tentu bukan
barang baru. Sejak kucuran BLBI diberikan,
pro-kontrapun sudah ada. Dan, terus bergulir sampai
perjanjian kesepakatan seperti MSAA, MRNIA, APU,
pembentukan holding company di BPPN untuk mengelola
aset konglomerat, kontroversi BPPN dari satu ketua ke
ketua berikut dan seterusnya, dan terutama tekanan
yang sangat kuat terhadap konglomerat. Jelas kasus
ekonomi ini memperoleh tekanan politis dan sosial yang
sengaja ditumbuhkan. Bahkan dalam beberapa hal muncul
berupa "fobia konglomerasi" yang sangat menghantui
masyarakat. 

Tidak heran, lahirlah sebutan bagi kalangan ini
konglomerat hitam, lintah ekonomi, pemihakan
pemerintah yang tidak adil dan preseden buruk bagi
hukum dan seterusnya. Mereka tidak mau tahu bahwa
bagian terbesar peran konglomerat ialah bukan
menjelaskan kebenaran hukum. Dan, berupaya menjadi
dewa keadilan ekonomi. Mereka mensimplifikasikan utang
BLBI yang disetarakan dengan utang kepada rentenir.
Bahkan diidentikkan dengan teroris ekonomi! 

Tidak ada satu pun terlontar ucapan atas jasa-jasa
konglomerat atas ekonomi negeri ini. Sama ketika kita
tidak bisa melihat jasa Soeharto. Tapi tanpa sadar
bahwa di masyarakat makin banyak orang berbisik,
"Lebih enak jaman Soeharto." Sayang, tidak mungkin
waktu diputar kembali. Padahal urusan konglomerat
bukan di situ. Urusan konglomerat ialah dalam bidang
ekonomi. 

Terlepas dari mereka terjerat oleh kasus BLBI yang
berlarut-larut. Pertanyaannya, apakah memang
masalahnya demikian besar atau memang ada kesengajaan
untuk memperlama kasus ini? Menjadikan kasus ini "kuda
tunggangan" yang bisa dimainkan sebagai "kartu turf"
penguasa. Tidak heran, akibatnya kinerja konglomerat
tidak seproduktif masa-masa kejayaannya. Padahal,
siapa pun tidak bisa menutup mata akan peran
konglomerat dalam pemulihan ekonomi domestik. 

Membuka lapangan kerja, mengundang investor dalam
joint venture, ekspansi ke luar karena citranya yang
masih dipandang positif oleh investor asing dan
sebagainya. Sayangnya, ketika kita mendengar
konglomerat nasional investasi di Cina, misalnya, kita
seperti kebakaran jenggot. Jika di sini dicerca,
begitu mereka melangkah ke luar, dikatakan tidak
mempunyai nasionalisme ekonomi, dengan alasan di sini
masih membutuhkan lapangan kerja baru untuk
menggerakkan sektor riil. Kondisi ini sangat
melemahkan sinergi ekonomi, karena lebih banyak
sentimen yang bermain di atas argumen keadilan,
penegakan hukum, moral ekonomi dan seterusnya, yang
justru tidak mendukung capaian ekonomi riil. 

Maka dari itulah pemberian R&D sebaiknya dilihat
pengaruhnya ke depan secara positif. Kalau kita hanya
melihat kenegatifannya, adanya preseden buruk
terinjak-injaknya hukum dan KKN baru antara penguasa
dan pengusaha, kapan hal ini bisa selesai. Perbaikan
tidak bisa sekali jadi terus sempurna, tetapi
mempunyai capaian prestasi yang bisa dimaklumi. Jika
kita baru bisa menegakkan hukum seperempat saja itu
lebih baik daripada kita berusaha menegakkan seratus
persen, tapi gagal terus-menerus. 

Ketidakpuasan selalu ada, tetapi persentase yang puas
bisa ditingkatkan sedikit demi sedikit. Jangan
dibandingkan R&D sebagai unsur yang menguntungkan
konglomerat yang secara berseberangan dihadapkan
dengan utang miliaran dan triliunan. Kita tidak bisa
bilang dengan uang sebanyak itu konglomerat
enak-enakan. Konglomerasi tidak mengurusi satu atau
dua perusahaan kelontong. Tetapi berpuluh, bahkan
beratus perusahaan. Jumlah utang yang sebesar itu
adalah wajar jika dibandingkan dengan sekian divisi
bisnis dan sekian banyak risiko yang harus mereka
tanggung. 

Tidak ada bisnis tanpa risiko, tapi kita menihilkan
risiko bisnis konglomerat dan hanya mudah melihat
hal-hal yang enak saja. Untuk itulah yang diperlukan
adalah rambu-rambu ekonomi baru. Penegakan hukum
ekonomi harus melihat ke depan dan bukan berkutat pada
menghukum kasus masa lalu yang sistemnya memang sudah
rusak. Tidak mungkin kasus mencuat tanpa sistem yang
mendukung ke arah itu. Untuk itulah sistem kekuasaan
dan birokrasi harus bisa menjaga jarak dengan
pengusaha. Dan, pengusaha harus berani menolak upeti
kepada penguasa untuk menjadi kroninya. 

Peran yudikatif sangat kuat untuk menjadi wasit dalam
hubungan antarkekuatan politik dan ekonomi ini. Babak
baru pasca R&D bisa menjadi era konglomeratnomics baru
pula. Di mana konglomerasi baru dalam berekonomi bisa
disusun bersama pelaku ekonomi lain, seperti UKM dan
Koperasi secara adil dan sinergis. Sudah waktunya kita
menutup citra buruk pelaku ekonomi konglomerat yang
rakus atau UKM/Koperasi yang lemah dengan peran
pemerintah sebagai pembuat landasan ekonomi, yang bisa
langsung dirasakan dalam memulihkan negeri ini. 

Dan bukannya seperti sekarang ini, problem ekonomi
didebatgunjingkan secara politis, tapi pekerjaan riil
ekonomi terbengkalai entah ke mana, karena diparisiti
oleh ideal-ideal hukum, politik, moral sampai sentimen
pribadi dan seterusnya. Tanpa kita mau tahu, bahwa
realitanya memang belum sampai ke sana. 

Jadi yang mungkin dan wajar saja, asal menunjukkan
peningkatan, itu sudah lebih baik, sudah proses
pemulihan. 

*** 

(Penulis adalah peneliti pada Center for National
Urgency Studies Jakarta). 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com