[Nasional-a] [Nasional] Draft BIOGRAFI JOESOEF ISAK Bag. 10/10 (Tamat)

nasional-a@polarhome.com nasional-a@polarhome.com
Sat Oct 19 23:00:20 2002


-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH
-----------------------------------------------------------------------
 37. Bagaimana menyelamatkan Pancasila

Rezim Soeharto dengan macam-macam reifikasi dan permainan semantiknya sudah tak
asing lagi bagi kita bangsa Indonesia. Dengan menguras energi dan mengerahkan
segala cara, para abdi dan kroni-kroninya akan terus melestarikan bahkan
mengembangkan apa yang dengan susah-payah telah dirintis oleh sang induk-semang
mereka.

	Terlepas dari soal kelihaian mereka dalam memelintir Pansasila sebagai alat
pembonceng untuk berkuasa (hingga tega membelokkan sejarah kelahirannya),
Pancasila sebagai suatu ajaran dan dasar-negara, tidak bakal ternoda oleh
ulah-ulah tangan jahil yang bersikeras memperalatnya. Menurut Joesoef Pancasila
itu tidak lain adalah mekanisme yang build-in, suatu konsep persatuan-kesatuan
yang menciptakan pengamannya sendiri.

Dalam hal ini Peter Dale Scott, seorang penyair dan Guru Besar Sastra Inggris di
Universitas Berkeley secara terang-terangan menyatakan kekagumannya kepada Bung
Karno selaku pencetus Pancasila sebagai alat pemersatu bagi segenap bangsa
Indonesia. Dalam buku 100 Tahun Bung Karno, Sebuah Liber Amicorum (terbitan
Hasta Mitra, 2001) ditegaskan pula perihal kepiawaian Bung Karno dalam
menerapkan kepemimpinan dan karisma pribadinya yang sanggup menghadapi segala
tantangan besar yang bertubi-tubi dari dalam dan luar negeri.

Berkat pidato Pancasila (pada tahun 1945) yang termasyhur itu Indonesia telah
mampu menghindari perpecahan antara kekuatan religius dan sekular-yang justru
masih mengganggu negara-negara tetangganya-karena Pancasila sanggup membalans
kekuatan nasionalisme, humanisme dan demokrasi permufakatan dengan teguh beriman
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan cara inilah Bung Karno memberlakukan toleransi kemanusiaan di suatu
negeri yang didominasi oleh kaum muslim, suatu prestasi yang sangat berhasil dan
valid di Indonesia, walaupun sering menghadapi cobaan dan tantangan berkali-kali
hingga detik ini. Meski begitu patutlah dicatat bahwa dalam kenyataannya
Indonesia tidaklah ada duanya bila dibandingkan dengan negeri-negeri muslim
lainnya di dunia manapun.

Sambil mengutip pernyataan Scott selaku sahabat yang sehaluan dan serohani
politik, Joesoef menandaskan bahwa bagaimanapun Bung Karno bersama Pancasila-nya
telah sanggup memberikan suatu point of no return, yakni tidak mengenal kata
mundur kecuali maju terus ke depan dalam mempererat persatuan dan kesatuan
nasional kita.

Seterusnya apabila salah satu unsur dari kesatuan-bulat Nasakom-sebagai
penjabaran dari Pancasila-telah dilanggar atau dikhianati, sesungguhnya
Pancasila-nya sendiri tetap utuh dan jaya, tidak bakal goyah. Tetapi justru
unsur yang melanggar dan mengkhianati itulah yang bakal tumbang dengan
sendirinya. Karena itu sepanjang Orde Baru mencaplok Pancasila dan menggelapkan
Nasakom, maka-kita semua tahu-bagaimanakah nasib Orde Baru itu akhirnya…?

Sebaliknya bila berpegang pada prinsip-prinsip Pancasila maka Nasakom-nya akan
survive, namun bila salah satu unsur berkhianat, dengan sendirinya ia telah
keluar dari jalur-jalur Pancasila, baik nasionalisnya, komunisnya maupun
agamisnya sekalipun. Di situlah letak kehebatan dan kebesaran Pancasila kita
yang sebenar-benarnya.

Lebih lanjut Joesoef menegaskan: bahkan juga dalam agama, apabila seorang
penganutnya telah menyimpang dan berpaling (atau seenaknya menafsirkan) dari
prinsip-ajaran yang terkandung di dalamnya, maka si penganut itu sendirilah yang
bakal tersungkur dan terpelanting dari rel-rel garis percaturan sejarah
(pengadilan Tuhan)….
***

Menurut Joesoef pencetusan Pancasila hingga disahkannya selaku ajaran dan
dasar-negara Indonesia, adalah suatu fitrah dan "Nur-Ilahi" (istilah yang
dipakainya sendiri). Dan tentu juga adalah surprising yang menyegarkan kalbu,
bahwa perubahan dari tujuh menjadi empat kata itu justru dipelopori oleh Hatta
(yang semula "Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Para
Pemeluk-pemeluknya", lantas dirubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa"). Hal itu
sekaligus membuktikan kebesaran Hatta sebagai seorang muslim yang saleh, dan
karenanya siapa pula yang mau macam-macam menuduh Hatta sebagai pengkhianat
Islam?

Di situ juga menunjukkan betapa visionernya pandangan Hatta ke depan, sebagai
bapak nasionalis-muslim yang konsisten berpikir dalam konteks
persatuan-kesatuan, dan karenanya telah menyelamatkan Islam sendiri dalam arti
yang lebih substantif dan lebih luas, di atas segala bangsa.
Pada akhirnya Joesoef berkesimpulan: apabila bangsa kita tidak segera bangkit
kepada pemikiran dalam kerangka seperti ini maka segala krisis moral dan
intelektual (yang merupakan sumber utama penyebab KKN), tidak bakal beres dan
terselamatkan dengan sebaik-baiknya….
				***

VIII. Joesoef Isak mencita-citakan generasi baru Indonesia

Sudah jelas dan nyata bagi kita bahwa 32 tahun Orde Baru telah mewariskan
peradaban dan budaya militerisme yang tidak kepalang-tanggung kepada nasion
kita. Fasisme Hitler cuma memakan waktu 12 tahun untuk menyelenggarakan
cuci-otak, yang kemudian diakui dan disadari oleh bangsanya sebagai suatu
kekhilafan dan kealpaan, dan karenanya sanggup membangkitkan diri dari
puing-puing reruntuhan akibat ulah pemimpinnya sendiri.

Tetapi waktu 32 tahun indoktrinasi brain-washing yang melumpuhkan sendi-sendi
pemberdayaan manusia, tentulah bukan masa yang sebentar untuk dapat segera
bangkit dari reruntuhan peradaban itu. Karenanya Joesoef tak bosan-bosan
menegaskan bahwa setiap rezim fasis-militer yang jatuh, pasti meninggalkan
sampah-busuk yang harus disapu-habis. "Kita tidak menginginkan bangunan
Indonesia Baru yang didirikan di tempat pembuangan sampah!"
Dan memang tidaklah berbeda substansinya dengan partai Nazi Jerman yang kemudian
harus disapu dan dibersihkan dengan tuntas, begitupun partainya Soeharto
(Golkar) bersama perangkat-perangkat fasisme yang digelar, yang telah
menciptakan mesin-mesin pencipta kejahatan, semuanya harus dibongkar dan
ditumbangkan sama sekali.

Karenanya tidaklah nalar menggembar-gemborkan reformasi di sana-sini yang dalam
prakteknya adalah siasat tambal-sulam bagi pihak-pihak yang beruntung dan
diuntungkan oleh sistem Orde Baru. Pihak-pihak tersebut akan berramai-ramai
masuk dan menggolongkan diri-dengan gradasi macam-macam-ke dalam Orde Reformasi
yang diharap bisa mengamankan posisi status-quo mereka. Mereka berseru-seru
ikut-ikutan teriak reformasi-total, padahal seekor musang boleh saja telah
berganti bulu-bulunya meskipun kelakuan dan perangainya tetap begitu-begitu
juga.

Tentulah akan menghabiskan berjilid-jilid buku bila kita membeberkan segala
kejahatan dan kekejaman yang dipraktekkan Orde Baru selama puluhan tahun ini,
tetapi yang sudah konkret-faktual di depan mata kita bahwa Orde yang diawali
dengan memanfaatkan kekerasan sejak perebutan kekuasaan dan penggulingan Bung
Karno itu, kini telah mengakhiri masa kekuasaannya yang disertai dengan berbagai
macam kekerasan pula.
Sekarang persoalannya tinggal bagaimana kita? Mau ke mana kita generasi baru
Indonesia yang telah digenangi oleh longsoran peradaban dan budaya kekerasan
itu-yang dengan sendirinya telah tergenangi pula oleh berbagai penderitaan dan
ketakutan selama ini?

Menurut Joesoef, memang tak ada jalan lain bahwa masadepan Indonesia harus
dipegang oleh angkatan muda. Merekalah yang harus menjawab dan mengatasi
semuanya dengan baik. Yang jelas bahwa contoh-teladan yang diberikan Bung Karno,
founding fathers bersama para pendukung dan pembelanya, merupakan
gambaran-terang bagi suatu proses terciptanya Indonesia Baru serta tercapainya
cita-cita seluruh rakyat.
Kemudian ditegaskan oleh Joesoef bahwa yang terpenting adalah bagaimana bangsa
ini dapat membebaskan diri dari rasa takut, dan karenanya terbebas pula dari
belenggu denkfout dan reifikasi yang dipropagandakan Orde Baru selama ini. Sebab
bagaimanapun rasa-takut yang menghinggapi masyarakat kita bukanlah sesuatu yang
alamiah terjadi, akan tetapi sudah diprogram oleh agenda politik demi
kepentingan dan keuntungan pihak penguasa sendiri.

Dalam hal ini Pramoedya pernah pula menyatakan bahwa pemerintah Orde Baru memang
menghendaki iklim ketakutan massa untuk terus-menerus dapat berkuasa
sesuka-sukanya. "Bung Karno sanggup menciptakan nasion dengan pidato, tanpa
meneteskan darah, tetapi untuk mendirikan Orde Baru, ratusan ribu manusia telah
dibunuhi hanya untuk menumbuhkan ketakutan ke seluruh lapisan masyarakat."
***

38. Menyoal ketimpangan perekonomian berabad-abad

Apa yang digembar-gemborkan Orde Baru mengenai "ideologi pembangunan" selama ini
cumalah kamuflase belaka, demi untuk menutupi borok-boroknya dengan cara
mengorupsi uang negara dalam jumlah triliunan sambil membagikan receh-recehnya
bagi kepentingan rakyat-banyak. Tanpa menempuh cara itu-bagi Joesoef-seorang
pemimpin fasis akan segera jatuh hanya dalam hitungan tahun ataupun bulan.
Kegemaran Orde Baru selalu saja berlindung di balik topeng pembangunan
gedung-gedung megah, dengan Soeharto berdiri di baris depan dalam mengklaim
dirinya selaku "bapak pembangunan". Hal ini dapat pula disejajarkan dengan
Hitler ataupun Musollini-bahkan mengungguli keduanya-yang sama-sama giat dan
sukses dalam pembangunan fasilitas infrastruktur bagi kepentingan rakyat Jerman
dan Italia, sebagai tameng untuk berlindung dari kekejaman brutal selama belasan
tahun mereka memerintah.
Selain itu Orde Baru telah giat pula mendakwakan soal kemiskinan-absolut kepada
seluruh rakyat, sementara soal kemiskinan-relatif selalu saja didiamkan. Padahal
kemiskinan absolut mestinya tak bakal terjadi di Indonesia karena negara ini
begitu kaya-raya.

Dalam mukadimah UUD 1945 sudah jelas dinyatakan mengenai upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan apabila bangsa ini masih bodoh maka akan mudah  dikelabui
oleh pemimpinnya dengan mengedepankan kemiskinan-absolut tersebut. Selain itu
kita pun mempunyai pasal khusus mengenai ekonomi kekeluargaan, juga sila kelima
dari Pancasila kita: "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".
Adapun mengenai jasa-jasa pembangunan yang dipamerkan oleh Orde Baru Joesoef
menandaskan bahwa kita hendaknya bisa membanding-banding seberapa besar
prosentase kejahatan dan kekejaman mereka terhadap rakyatnya sendiri, daripada
secuil jasa pembangunan yang pada kenyataannya bersumber dari hutang negara yang
dibebankan di pundak kita dan anak-cucu kita semua.
***

Banyak di antara pakar-pakar ekonomi kita yang masih lengah mempersoalkan
kemiskinan absolut, tanpa pernah menyinggung tentang penyebab dasar struktural
kemiskinan itu sendiri. Bagi mereka kemiskinan dan keterbelakangan adalah
identik dengan tidak mampu atau tidak mau menjadi "manusia modern".
Pendapat mereka bahwa modernitas dapat mengangkat manusia Indonesia dari
rawa-rawa keterbelakangan memanglah ada benarnya. Tetapi siapa dan pihak mana
yang nyata-nyata terperciki air keberuntungan dan kebahagiaan dari kemajuan
berpikir itu? Siapa yang diberi kesempatan untuk serba-mumpung dan seenaknya
menikmati kemajuan itu?

Dalam kondisi sekarang kemiskinan bukan saja soal kekurangan uang, tetapi yang
utama adalah ketidaktahuan atau tidak mengertinya akses informasi yang
berkembang, kekalahan daya-gerak cepat, kurang tersedianya kontak dan koneksi,
tidak mahir membuat pemilihan-pemilihan yang "diasuransi" bila gagal atau
salah-pilih, tidak memiliki kolsultan tepat yang spesialis dalam perhitungan
serba rumit dan canggih tentang susunan alternatif-alternatif. Dan dalam banyak
hal tentu saja karena tidak punya kontrol terhadap senjata.

Kemudian sampailah kepada pertanyaan khusus yang mendebarkan: mengapa bangsa
kita begitu miskin dan menderita? Lebih jauh lagi, mengapa kebanyakan
bangsa-bangsa di dunia masih hidup dalam kemiskinan dan "keterbelakangan"?
Apakah lantas semudah itu kita menjawab bahwa bangsa kita tidak mampu atau tidak
mau menjadi manusia modern…?

Jawaban terlalu pagi dan hanya mengulang-ulang ketololan saja. Soalnya-bagi
Joesoef-sudah jelas: siapakah yang beruntung dan diuntungkan oleh sistem Orde
Baru dengan gradasi macam-macam dalam posisi kaum konservatif dan status-quo
selama ini. Siapa mengorbankan siapa? Siapa berlaku tidak adil bagi siapa?

Adapun soal kemiskinan global sangatlah berkait dengan konvergensi yang bergerak
antara raksasa kapital kekuasaan bisnis besar, dunia pengusaha politik dan
birokrasinya, terutama seluruh komplek industri militer yang berkongsi dengan
para pakar sains dan teknologi serta segala perangkat laskar-laskar pelayanan
yang diperlukan. Di awal abad 21 ini dunia iptek sudah menjadi raksasa-raksasa
yang kecenderungannya berjalan dengan kedaulatan dan hukum-hukum raksasa itu
sendiri.

Menurut Y.B. Mangunwijaya (dalam suatu ceramah di kampus STF Driyarkara),
sesungguhnya imperialisme dan kolonialisme industri dan bisnis, lewat dunia
periklanan dan mass-media, semakin membuat konsumen dan rakyat-banyak telah
kehilangan orientasi-diri serta keteguhan sikap untuk mempertahankan kehidupan
yang bermartabat dan bebas dari segala manipulasi. Sebab lambat-laun kehormatan
dan martabat pun cenderung didikte oleh dunia industri dan bisnis, dengan segala
perangkat iptek di belakangnya. Apalagi iptek yang mengabdi pada industri perang
dan militer, sangat memperkuat dugaan, yang berkembang menjadi tuduhan: bahwa
dalam prakteknya, konkret-faktual, iptek tidaklah netral akan tetapi lebih
mengabdi kepada para pengusaha ekonomi, politik, sosial dan kultural.
Dan pada kenyataannya tetaplah negara-negara miskin yang dijadikan korban
landasan. Bangsa-bangsa miskin semakin kesulitan bersaing dalam
mengoperasionalisasi segala perangkat lunak dan keras dari dunia chips dan
silicon, apalagi bila menyangkut iptek yang sama dinamikanya, yang begitu cepat
menginovasi-diri tak ada henti-hentinya.
***

Kini negara-negara maju (seperti Amerika dan Jepang) seakan-akan lupa bahwa
segala keberhasilan mereka, dengan sistem kapitalisme yang dibanggakan itu
hanyalah mungkin bermekar dan menghasilkan surplus-prestasi dengan mengorbankan
begitu banyak rakyat-rakyat Asia-Afrika, Eropa Barat bahkan Amerika Utara
sendiri. Dan setelah perang dunia ke-2, lewat apa yang dinamakan
kapitalisme-liberal tetap saja memakan korban-korban negara berkembang lewat
tangan-tangan kaum elit-pribumi, terutama dengan memberi dukungan dan sokongan
bagi rezim-rezim militer lokal yang mendadak menjadi politisi ingusan.

Dan memang ada benarnya bahwa kemajuan iptek dengan sistem kapitalisme apapun
(di negara-negara maju) adalah hasil kecerdasan bangsa itu sendiri dalam evolusi
budaya mereka, berkat keberanian menempuh risiko dan sikap dasar paling vital
dalam petualangan eksploratif dengan kegemaran menjelajah daerah tak bertuan
(terrae incognitae). Ya, memanglah cukup hebat daya inovasi mereka. Namun
persoalan paling mendasar muncul: dari manakah modal-modal untuk merealisasi
sikap eksplorasi dan inovasi tersebut, bila tidak dari permodalan besar yang
berhasil dihimpun selama berabad-abad sistem penjajahan dan penghisapan
bangsa-bangsa yang mereka kalahkan dan korbankan. 

Kita jangan sampai lupa tentang peranan VOC selama ratusan tahun (lihat tulisan
Ibrahim Isa: "Apa arti VOC bagi Bangsa Kita") bahwa demi keuntungan yang
melimpah-ruah mereka tak ada henti-hentinya melakukan tindak kekerasan,
penindasan, pembunuhan bahkan tak segan-segan mengobarkan peperangan. Belum lagi
penggunaan orang Indonesia untuk dipekerjakan sebagai budak-budak di berbagai
perkebunan pala, cengkeh, merica dan banyak lagi yang lainnya. Bahkan di wilayah
Banda saja (kita masih ingat) seorang J.P. Coen telah mengirimkan 2000 serdadu
plus para pembunuh bayaran dari golongan Samurai Jepang, telah membantai sekitar
15.000 rakyat Banda serta memotong 33 kepala suku di pulau tersebut.

Kita juga jangan sampai lupa tentang masa sekian abad eksploitasi jutaan
budak-budak belian baik dari Afrika yang diangkut ke benua Amerika, maupun budak
belian lain yang tetap tinggal di Asia dan Amerika Latin. Tentulah di Indonesia
sendiri dalam bentuk pengabdian kepada tuan-tuan makelar yang menjadi komprador
pemerintah Hindia Belanda (heerendiensten) juga kerja-kerja rodi yang
memungkinkan semuanya bisa berfungsi, belum lagi disusul oleh politik penciptaan
paksa pasaran-pasaran baru untuk menyerap hasil-hasil industri, ditambah
penguasaan bahan-bahan mentah yang murah, keuntungan kalender waktu, informasi,
daya intelegensi yang bersinambung-mengakumulasi.

Begitulah watak kolonialisme-imperialisme lama maupun baru menjadi suatu
condition sine quo non untuk suatu sistem yang dikatakan penuh eksplorasi,
inovasi dan produktifitas yang katanya mengagumkan itu. Sementara itu tandas
Joesoef, "Sampai memasuki era tahun 1980-an di Indonesia masih saja diberlakukan
kerja-paksa terhadap ratusan-ribu tahanan politik di seluruh pelosok negeri, dan
dalam kenyataannya belum juga ada rehabilitasi hingga memasuki abad 21 sekarang
ini…."
***

39. Solidaritas new emerging forces sedunia

Bagaimanapun progres demokratisasi yang didakwakan Amerika (berikut
negara-nagara maju lainnya) hingga memasuki abad 21 ini tidak lain harus
dibarengi dengan niat-tulus untuk mau mengalah serta melepaskan kepentingan
status-quo yang masih mencengkeram segala bidang ekonomi dan kultural di
negara-negara dunia ketiga. Kini sudah cukup waktunya bagi kita untuk memberikan
kesempatan kepada mereka yang telah menunjukkan bahwa cita-citanya merupakan
basis bagi suatu peradaban yang lebih maju dan mulia ketimbang yang
lain-lainnya. Namun selagi kesempatan membuktikan diri sebagai teladan-demokrasi
itu masih menggunakan cara-cara lama yang sudah usang, maka segala yang mereka
propagandakan selaku pionir-penegak nilai-nilai universal adalah bualan
omong-kosong belaka.
Seorang penyair Inggris Christopher Fry, sejak tahun 1945 pernah memberi
peringatan dengan pernyataan bahwa, "di belakang kita telah terbentang waktu
panjang yang menyakitkan hati dan mengerikan, tetapi kenapa kita masih saja
menggunakan obat-obat yang tak pernah menyembuhkan?"

Dan kini tanggungjawab kemanusiaan sudah begitu mengglobal dan saling
kait-mengait, bukan saja dalam keberuntungan tetapi juga dalam kemalangan dan
penderitaan. Karena itu bangsa Amerika yang berjiwa besar tentu menjadi sulit
untuk mengelak bahwa longsoran kekerasan (terorisme global) tak bisa lain adalah
bagian dari ciptaan mereka sendiri. Obskurantisme yang diprogram oleh agenda
elektronik adalah pengetahuan umum di mana siapapun dapat dengan mudah
mempelajarinya. Dan Amerika-dalam hal ini-telah berada di garis depan sebagai
pemegang tanggungjawab atas longsoran kekerasan yang boleh jadi detik ini bisa
menimpa kita yang menghendaki dan mencintai demokrasi ini.

Dalam kaitan ini Abdurrahman Wahid, presiden RI keempat pernah pula menyatakan
bahwa Amerika tidak bakal sanggup mengatasi terorisme yang semakin meluas, bila
tetap masih menjalankan politik bermuka dua. Hal ini bisa dilanjutkan bahwa
Amerika (Barat) yang selalu mendendangkan universalisme dan kecintaan kepada
demokrasi itu harus betul-betul mau introspeksi-diri, terutama harus berani
melepaskan kepentingan status-quo yang selama ini merugikan bangsa-bangsa negara
berkembang.
Dapatkah mereka leluasa mendendangkan demokrasi dan universalisme bila di sisi
lain bersikeras menegakkan aturan dan "batas-batas"? Apakah Amerika masih tetap
mau memekarkan benih-benih baru bagi terorisme-global yang bagi bangsa-bangsa
yang dirugikan adalah martir atas perjuangan mereka? Apakah mereka masih mau
mendendangkan lagu-lagu lama yang itu-itu juga, dan tetap saja pongah tidak
mempedulikan bangsa-bangsa lain yang tidak lagi punya gairah untuk berdansa dan
berjoged karena si lagu sudah membosankan dan bahkan memuakkan…?

Semua kita tahu bahwa selama ini peranan Amerika yang mendorong kebudayaan yang
dipancarkan lewat satelit masih juga menyandarkan legitimasi kepada rezim-rezim
otoriter lokal yang sanggup memainkan kartu fundamentalisme dengan bersikeras
menghalangi emansipasi angkatan muda yang progressif yang menghendaki
kemandirian ekonomi, kedaulatan politik dan kebudayaan.
Di negeri-negeri Teluk sendiri Amerika begitu gigihnya mengurung pemuda-pemuda
Arab serta membungkam wanitanya (dengan hijab dan jilbab) sementara dunia modern
yang dipancarkan satelit begitu semarak mendendangkan universalisme dan hak-hak
asasi manusia.

Bukankah membangun ekonomi di negeri-negeri berkembang, dengan bersandarkan
manajemen yang adil serta menciptakan lapangan-kerja yang cukup disertai
pemekaran demokrasi (tanpa pilih kasih) adalah jalan terbaik mengatasi migrasi
pemuda-pemuda negara miskin ke negara-negara kaya? Apakah mereka tak sadar atau
pura-pura tak sadar akan cita-citanya tentang satu dunia di mana semuanya bisa
tumbuh subur berbarengan, sementara mereka tetap saja ngotot mendasarkan
ekonominya pada industri militer dan ruang angkasa yang pasar dan produksinya
dipaksakan membanjiri negara-negara berkembang? Bukankah budaya pengembangbiakan
senjata macam itu telah menghempaskan bangsa-bangsa dunia dalam situasi
kedunguan, menumpulkan daya imajinasi dengan mentalitas pergaulan hidup yang
beku dan saling curiga antara yang satu dengan yang lainnya?

Hal-hal semacam inilah yang membuat kita harus berani membalik logika bahwa pada
hakekatnya kita memiliki banyak uang, energi, intelektual (SDM) tetapi
berhamburan dicurahkan untuk menyebabkan kerusakan dan kebinasaan, bukan demi
kelestarian dan kehidupan.
***

Sesungguhnya sumber utama yang dianggap membahayakan bagi negara-negara industri
maju tak lain dari persoalan psikologis, kejiwaan yang disebabkan oleh ulah
perbuatan mereka sendiri. Ketegangan itu dengan sendirinya menimbulkan perasaan
lelah, bosan dan bahkan rasa takut yang membuat mereka bisa salah-kaprah dalam
menentukan keputusan-keputusan vital bagi kepentingan keluarga maupun negara.
Orang-orang kaya di negara-negara maju, terutama kalangan tua konservatif merasa
perlu menjawab persoalan-persoalan tersebut dengan segala-macam cara hingga
merancang berbagai strategi untuk memperoleh ketenangan hidup di hari tua.
Tetapi dapatkah terjamin "peredaan ketegangan" itu bila tetap bersandar pada
budaya pengembangbiakan senjata yang bermuara pada arogansi militerisme yang tak
ada habis-habisnya itu?

Dengan pernyataan yang cukup religius: bisakah kita merekayasa ketenangan hidup
di hari tua dengan memenuhi segala fasilitas dan kebutuhan bagi kepentingan diri
pribadi, sementara di sekeliling kita bergelimpangan orang-orang
dina-lemah-miskin yang butuh perlindungan dan pertolongan-yang apabila diabaikan
dengan sendirinya menebarkan benih-benih teror di sekeliling kita?
Maafkan bila penulis memaparkan persoalan yang kurang enak dirasakan meskipun
tetap harus diterima sebagai kenyataan, seperti halnya kita menerima sindiran
dari "generasi-genarasi baru" bahwa nampaknya kita terlampau tegang dan takut
dalam keseharian kita.

Inilah yang membuat saya kurang menaruh kepercayaan kepada percepatan perubahan,
terutama di negara-negara industri maju yang kaya-raya. Rupanya semakin lama
mereka semakin mengandalkan harta-kekayaan untuk memenuhi segala kebutuhan demi
kesenangan hidup yang melimpah bagi umur tua, dan karenanya akan menghasilkan
suatu kebalikan dalam mengatasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar
di dunia ketiga.

Dalam pada itu Joesoef menyarankan bahwa bangsa kita mesti belajar banyak dari
negeri Cina, terutama dalam soal perekonomian, kesederhanaan, kemandirian dan
kerja-keras, karena hal itu merupakan prasarana penting bagi moralitas dan
pemikiran-nyata baik di bidang kebudayaan, iptek maupun politik. Joesoef percaya
bahwa di masa-masa mendatang akan muncul suatu keluarbiasaan bagi solidaritas
dan kemakmuran bersama, meski semuanya itu tetap harus diperjuangkan dengan
keras.
***

Marilah kita perbanyak ilmu pengetahuan sambil terus memperkecil peranan
militerisme dan pengurangan senjata. Marilah kita berperan untuk ikut-serta
menggugah dengan menyatakan kenyataan-kenyataan riil sambil berusaha menolak
menipu rakyat. Hal ini boleh jadi kurang mendatangkan kepopuleran tetapi tetap
kita harus menyatakannya. Sebab dalam penolakan terhadap "perbudakan" yang
terkandung dalam zaman ini maka kita menemukan suatu harapan yang baik di masa
yang akan datang.

Sebagai intelektual mestinya kita sama-sama menggali untuk menemukan cara
terbaik demi terciptanya hari esok yang damai, di mana dunia dan kreasinya
membuat kita merasa bangga karena bisa sama-sama menyumbang untuk saling
ikut-serta. Kita harus berjuang menciptakan tatanan dunia baru yang diamanatkan
Bung Karno bersama para perintis-pendiri RI kita, di mana sesuatu yang asing tak
lain adalah sahabat-sahabat yang harus diterima dengan baik dan penuh
lapang-dada.

Kita berseru kepada setiap intelektual agar dapat bekerjasama dan tidak cuma
berlindung di balik kata-kata. Dan waktunya akan segera tiba bila kita terus
memacu dan berlomba dalam kebaikan dan kebenaran, bukan dalam penumpukan senjata
serta penghamburan kekayaan yang tidak karuan. Kini di Amerika dan negara-negara
industri maju semakin kentara adanya kegelisahan yang meluas, terutama mengenai
kebijakan-kebijakan yang diciptakan dan yang sedang diikuti. Meskipun sebagai
pribadi saya kurang menaruh harapan pada keberanian mereka untuk menciptakan
terobosan perubahan, paling tidak saya bersyukur telah ikut-serta mengungkapkan
hal ini.
Dan pada tulisan ini akan disisipkan pula tentang pemaparan Joesoef Isak
mengenai corak generasi baru Indonesia, yang diharapkan akan mampu memimpin
Indonesia serta sanggup menghadapi dan menjawab segala tantangannya di masa yang
akan datang…
					***

40. Wajah-wajah generasi baru Indonesia

Generasi baru Indonesia adalah mereka yang mengetahui warisan dan zamannya,
mengetahui siapa yang menerangi jalan dan siapa yang menggelapkannya. Hubungan
mereka dengan semua orang dan dengan seluruh masyarakat dunia, didasarkan pada
keikhlasan menegakkan kebenaran dan keadilan. Mereka akan memelihara amanat para
perintis-pendiri republik ini dengan baik, memelihara warisan dan ajarannya,
menjauhkan dari orang-orang yang fanatik-buta, bermental perusak serta dari
penafsiran orang-orang jahil. Mereka tidak gentar untuk berpolemik serta perang
urat-syaraf terutama dalam menghadapi propaganda lawan-lawannya. Mereka akan
mengenal mana kawan dan lawannya, menyadari apa-apa yang diprogram mereka yang
hendak mengantarkan rakyat kepada jalan kegelapan, juga mengetahui adanya
senjata-pembunuh yang dikemas dengan berbagai slogan menarik dan dengan label
yang menggiurkan. Mereka akan berjuang keras untuk memperbaiki apa-apa yang
telah dirusak orang, berpegang-teguh pada kebenaran, terutama waktu bergolaknya
fitnah dari mereka-mereka yang gemar bergunjing dan memfitnah.

Kepribadian mereka sungguh bertolak-belakang dengan kepribadian, sejarah dan
moral kaum munafik yang loyalitasnya diberikan kepada orang-orang yang
membunglon kepadanya. Meskipun nasibnya seperti orang yang memegang bara api,
namun tetap aktif pada hari-hari yang mencekam itu.
Generasi baru Indonesia tak sudi untuk bekerja dalam kegelapan dan asal-asalan,
tetapi mengacu pada realitas, bukan pada mimpi-mimpi dan khayalan. Mereka
menatap ke atas langit namun tidak lupa bahwa dirinya berada dan berpijak di
atas bumi. Mereka tidak berenang dalam kolam tanpa air atau terbang tanpa sayap,
mereka bercita-cita keras mencapai pulau impian meski tetap memperhitungkan
adanya ombak besar yang gelombangnya mengganas.

Generasi baru Indonesia tidak akan menabur benih di atas batu karang, tidak
bertani di tengah lautan, tidak merajut dengan benang khayal, juga tidak
membangun istana di tempat pembuangan sampah. Mereka berpijak pada realitas
sekaligus menyadari batas kekuatan dirinya, tidak mencari buah sebelum musimnya,
tidak terburu nafsu pada sesuatu yang belum tiba waktunya, tidak melibatkan diri
pada hal-hal yang tak diketahuinya serta tidak menjebloskan diri pada suatu
masalah yang membuatnya bisa terperangkap.
Generasi baru Indonesia tidak apriori mengekor ke Timur ataupun ke Barat.
Cahayanya diperoleh dari pohon keberkahan yang tidak bersifat ketimuran ataupun
kebaratan. Mereka adalah anak-anak semua bangsa yang berusaha mendapatkan
cahayanya dari berbagai sentuhan api, yang kelak dapat bersinar menjadi cahaya
di atas segala cahaya. Mereka tidak bisa menerima segala kejahatan yang berkedok
agama, paham maupun ideologi, tetapi bekedudukan di pusat dengan sikap yang
senantiasa mencari jalan-tengah dari berbagai macam paham yang berselisih.
Mereka tidak apriori memihak perseorangan ataupun golongan tetapi loyalitasnya
selalu ditujukan kepada yang paling dina-lemah-miskin.

Generasi yang unik ini akan merasa sedih dan pedih bila melihat tingkah-laku
orang-orang jahat. Tak ada yang lebih menyakitkan hatinya daripada menyaksikan
mundurnya kebenaran serta majunya ketidakadilan. Hal yang paling menggugah
pikirannya adalah bagaimana menggiring kembali orang-orang yang yang sudah
menjauh dari kebenaran, kemudian mengangkat mereka dari kesesatan kepada
penyadaran.
Dengan semangat yang berkobar, perjuangan yang tak kenal-lelah serta pandangan
hidup yang bebeda, mereka rela hidup terasing di tanah airnya sendiri, bahkan di
tengah keluarga dan saudaranya sendiri. Namun keterasingan dan keterpencilan itu
tidak terlampau membuatnya kecewa, juga tidak mebuatnya melarikan diri ke biara
serta terjebak dalam dunia klenik ataupun peribadatan yang memencil.
Mereka selalu bertahan hidup di medan laga, sabar dalam menghadapi segala ujian,
tekun menelusuri jalan kebenaran, menambah apa yang dikurangi orang, memperbaiki
apa-apa yang dirusak orang, serta senantiasa berdikari dan independen. Dalam
keadaan susah mereka akan tampil paling depan tetapi dalam perebutan keuntungan
mereka akan berdiri di barisan belakang.

Biarpun memiliki banyak keistimewaan baik dalam pengorbanan harta dan nyawa,
mereka tak sudi hidup di istana gading yang menjauh dari manusia lain, apalagi
sampai berpongah-pongah memamerkan kekayaannya. Mereka akan hidup di tengah
masyarakat, bergaul mesra dengan rakyat kecil, menanggung rasa pedih penderitaan
mereka serta membantu memecahkan kesulitan mereka. Selain itu mereka ikut-serta
mengungkapkan aspirasi dan dukacita rakyat, meski hal itu tidaklah dianggapnya
sebagai sedekah tetapi sebagai suatu yang lumrah saja, karena mereka sendiri
merasa menjadi bagian dari rakyat.
Mereka rela menjadi pewarta dan penyambung lidah rakyat. Bagi mereka yang bodoh
akan diajari, mereka yang lupa akan diingatkan, mereka yang lari akan digiring
kembali, yang sakit akan diobati serta yang lemah akan dikuatkan. Menurut
mereka, rakyat adalah sekutu alami yang merupakan saldo-historis bagi semua
pergerakan kebenaran serta penegakan keadilan.

Dalam keterasingannya di tengah masyarakat dan zamannya, mereka begitu kuat dan
mulia. Mereka tak merasa kesepian meski kawan seperjuangannya sedikit, tidak
merasa hina meski lawan-lawannya banyak, juga tak sudi menundukkan kepala atau
mengemis-ngemis minta dikasihani orang. Tetapi sebaliknya mereka melihat
orang-orang kaya dan para penguasa layaknya seorang dokter yang melihat
pasiennya yang tengah menderita macam-macam penyakit kronis. Mereka senang
menyebarluaskan berita-berita gembira serta menyederhanakan suatu urusan.

Generasi baru Indonesia pandai memisahkan antara yang esensi dengan yang
eksistensi, antara api dengan abunya, tidak mempertengkarkan persoalan yang
khusus daripada yang umum, tidak mudah terkecoh oleh masalah-masalah sampingan
daripada yang prinsipil. Mereka tak sudi menghamburkan waktu dan jerih-payahnya
hanya untuk mempedebatkan soal perselisihan dan perbedaan pendapat, menonjolkan
kepura-puraan serta kesia-siaan bersilat-lidah. Mereka akan senang menyibukkan
diri dengan bekerja, membangun dan menghimpun, daripada bertengkar tak karuan,
menghancurkan dan menceraiberaikan sesuatu.
Generasi baru Indonesia senantiasa mengamati hukum-hukum alam yang berjalan,
menganut politik tegas sekaligus panjang-napas. Mereka teguh bersabar menunggu
benih sampai tumbuh, hingga kemudian berdaun, berbunga dan berbuah sampai
matang. Mereka percaya pada ilmu dan begitu menghormati akal, tunduk pada
bukti-bukti dan menolak segala yang serba semu. Mereka tidak mengekor pada
persangkaan dan dugaan tetapi berpikir-lapang sebelum mengambil keputusan.
Mereka juga akan belajar sebelum bekerja, mencari bukti sebelum meyakini,
memprogram sebelum mengerjakan, tidak menerima suatu hukum tanpa keterangan
serta tidak sudi menerima dakwah tanpa ada bukti dan pembuktian.

Mereka tidak akan melupakan kejayaan masa lampau serta yakin bahwa kamuliaan
bias tercapai dengan pengorbanan dan bukan dengan kesombongan dan bangga-diri.
Mereka percaya bahwa cita-cita luhur akan terwujud dengan kesungguhan,
pembangunan dan kerja terencana, bukan dengan menghasut, menghancurkan serta
teriak-teriak omong-kosong balaka. Selain itu mereka pun yakin bahwa keimanan
yang sebenarnya adalah apa yang dinyatakan dalam kalbu dan dibenarkan oleh
tingkah-laku.
Pembicaraan mereka selalu mewakili rakyat-banyak. Meskipun selalu dalam
kesendirian tetapi rasa kolektifitasnya tetap hidup dan berkobar dalam dirinya
serta diucapkan oleh lidahnya. Karena itu maka larutlah rasa individualnya demi
memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Keakuannya hanyut ke dalam, dan
kemaslahatannya tampil ke permukaan.

Mereka begitu bersemangat dalam mempesatukan orang-orang yang berselisih,
tolong-menolong dalam kebaikan serta mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.
Di samping itu, dengan menyaksikan berbagai fakta, mereka sadar akan adanya
orang-orang jahat yang tengah bersatu-padu untuk mempertahankan status-quonya.
Karena itu mereka bertekad mencari kawan-kawan seperjuangan yang sama-sama
mendambakan tegaknya kebanaran, mengingkari kejahatan, menyuruh pada kebaikan
dan melarang pada keburukan.
Dan pada saatnya mereka akan diam-diam melangkahkan kaki menuju kerja kolektif,
bersatu-padu untuk menumbangkan segala ketidakadilan, berpegang-teguh pada
kebenaran dan kesabaran, saling membantu dalam susah dan senang, sama-sama
berjuang tanpa mengenal lelah. Dan langkah mereka senantiasa disuluhi oleh
Tuhannya, kalbunya  dimekarkan oleh ketegaran dan cinta-kasih….
***


			Banten, 30 September 2002

------------------------------Tamat------------------------

-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-m: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
Nasional-a:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
Nasional-e:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-e/
------------------Mailing List Nasional------------------