[Nasional-a] [Nasional] Draft BIOGRAFI JOESOEF ISAK Bag. 9/10

nasional-a@polarhome.com nasional-a@polarhome.com
Wed Oct 16 00:24:28 2002


-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH
-----------------------------------------------------------------------
VII. Beberapa hal tentang karakter Joesoef Isak

Bila kita mengkaji tentang karakter Joesoef Isak selaku pendukung dan pembela
bapak bangsa kita, Bung Karno, niscaya tidak terlepas dari pengkajian tentang
watak dan karakter Bung Karno sendiri dalam keseluruhan dan totalitas sejarah
hidupnya.

Jadi, seperti yang ditegaskan oleh Joesoef sendiri bahwa penilaian yang
didasarkan pada pengamatan atau analisis yang setengah-setengah, tidak lain
hanya akan mandek kepada pembenaran-pembenaran yang sangat subyektif, tidak
mewakili kebenaran umum yang bersandar pada tuntutan hatinurani dan keadilan.
Karena itu bila penilaian hanya didasarkan pada kekhilafan atau kelemahan Bung
Karno sebagai manusia, yang kemudian dijadikan landasan untuk menyerangnya
habis-habisan-demi suatu maksud dan kepentingan tertentu-adalah tidak patut
untuk dibenarkan.

Seperti kita ketahui bahwa Bung Karno menolak Barat, meski ia tidak apriori anti
Barat, dan ia seorang muslim meski tak segan untuk mengkritik Islam dalam garis
konservatifitas yang ortodoks. Dalam perjalanan politiknya ia tak pernah berada
di kubu PKI, meski sama sekali bukanlah ia seorang yang phobi apalagi anti
terhadap PKI. Begitu juga dalam pemikiran dan ajarannya yang anti imperialisme
dan kapitalisme, bukan berarti bahwa hal itu identik dengan anti orang kaya.
Sama halnya dengan kritiknya terhadap militerisme yang juga tak bisat
disimpulkan bahwa ia lantas memusuhi militer sama sekali.
Pada periode tertentu Joesoef mengakui bahwa ia pernah meninggalkan Bung Karno
dan menganggapnya sebagai "tukang agitator", namun alangkah tidak adilnya bila
menilai keseluruhan diri Joesoef dalam konteks itu, karena kehidupan terus
berproses dan penyerapan terhadap pengalaman hidup pun mengalami berbagai
dinamika dan perubahan.

Di sini lagi-lagi kita dibangunkan oleh peringatan Joesoef bahwa, "hendaknya
kita jangan menilai seseorang seperti melihat suatu gambar atau foto yang mati,
akan tetapi lihatlah seperti menonton sebuah film yang terus berjalan sampai
akhir."

Beberapa pakar politik dan sejarawan Indonesia-setidaknya yang mengaku-ngaku
sebagai sejarawan-pada kegatelan menilai Bung Karno dan terhenti pada batas
pengamatannya seputar polemik dengan Hatta-Sjahrir, bahkan secara tak
bertanggungjawab membesar-besarkan masalah kooperator dan non-kooperator sebagai
suatu pertikaian dan permusuhan di dalam tubuh bangsa sendiri. Ada juga seorang
pakar sejarah yang merasa diri lebih patriotis dan sok-pahlawan, telah mengklaim
Bung Karno sebagai seorang pengecut karena ia tidak menepati janji untuk
memimpin perang gerilya sewaktu menghadapi serangan Belanda. Para pakar ini
begitu antusias pula menanggapi soal "Soerat Minta Ampoen" yang konon
bekali-kali diajukan Bung Karno di penjara Sukamiskin (kepada Belanda) sebagai
suatu tindakan bertekuk-lututnya Soekarno kepada pihak Belanda.

Mengenai yang terakhir ini sudah di-counter oleh Mr. Moh. Roem, Pramoedya Ananta
Toer dan Mahbub Djunaedi. Bahkan Ibu Inggit sendiri-selaku istri Bung
Karno-sudah menyatakan bahwa surat itu adalah palsu dan hanya pabrikasi intel
Belanda belaka.
Dalam soal ini Joesoef tidak serta-merta mengklaim benar-tidaknya mengenai surat
tersebut, namun ia berpendapat:
Di saat pihak-pihak manapun tak mampu memberikan bukti kebenaran yang pasti,
maka kebenaran harus ditemukan dengan cara mengkaji sosok Soekarno dalam
totalitasnya sepanjang hidup perjuangan politiknya. Bila Soekarno memang jinak
seperti apa yang dikesankan oleh surat tersebut, mengapa pemerintah Belanda dan
pers Belanda sangat membenci dan memusuhi Soekarno sepanjang hidupnya, sehingga
tak pernah sudi mengundang Soekarno-yang sudah diakui dunia sebagai Presiden
RI-untuk berkunjung ke negeri Belanda…?
				***
	
Begitu juga dalam mengkaji persoalan G30S/1965 Joesoef selalu menempatkan diri
dalam latarbelakang perang dingin, di mana dua kubu yang yang saling merongrong
itu terus menggalang kekuatan untuk saling menghancurkan antara yang satu dengan
yang lainnya. Dan dalam aplikasi konfrontasi tersebut maka bermainlah
badan-badan intelijen, partai-partai politik, Angkatan Darat dan lain
sebagainya.
Adalah naif dan korup-bagi Joesoef-bila menulis sejarah Indonesia (terutama
seputar G30S hingga kejatuhan Soekarno) namun terlepas dari konteks politik masa
itu serta latarbelakang perang dingin berikut kecanggihan intelijennya yang
telah mengambil peran sangat menentukan, bahkan hingga pembantaian massal
sepanjang tahun 1965 dan 1966. Karena itu bagaimanapun orang mencoba
membahasnya-demikian tandas Joesoef-peristiwa G30S tiada lain adalah pasti suatu
produk dari kecanggihan dunia intelijen.

Dalam buku "Dokumen CIA - Melacak Penggulingan Sukarno", Joesoef memaparkan
dalam kata pengantarnya bahwa kekuatan intel di abad 20 ini telah berkembang
menjadi dajjal raksasa yang harus diwaspadai. Lembaga intelijen sudah menjadi
kekuasaan dalam kekuasaan, negara dalam negara, maha-kuasa yang berada di luar
kontrol administrasi yang resmi. Sampai saat ini rakyat Amerika pun masih terus
bertanya-tanya tentang siapa yang sebenarnya berada di balik pembunuhan Presiden
John F. Kennedy. Begitu juga kita bangsa Indonesia yang masih bertanya-tanya
tentang siapa yang berada di balik penggulingan Presiden Soekarno.

Khusus dalam soal kecanggihan badan-badan intelijen ini Joesoef tidak akan
mengambil jalan-tengah untuk bertoleran serta menenggang ulah-ulah dari
tangan-tangan kotor yang mengatur skenario pentas dunia ini. Hal ini sudah
menyangkut masalah akhlak dan tanggungjawab moral terhadap ribuan dan jutaan
pembunuhan umat manusia, terlebih-lebih rakyat Indonesia yang harus menanggung
duka dan derita sampai kehilangan pemimpin besarnya, Bung Karno.

Badan-badan intelijen dunia ini-yang oleh Joesoef disebut
globalisme-intelligence-terus berjalan sebagai realitas mata-rantai interaksi,
koordinasi dan koneksitas induk-semang dan para abdi. Dan di Indonesia selaku
abdi-abdi lokal (yang mereka sebut "our local army friends") hendaknya jangan
dianggap enteng dan remeh. Soalnya paradigma perang dingin yang
digembar-gemborkan Amerika sebagai "sudah berakhir" itu pada kenyataannya terus
berjalan dan esensinya tetap valid hingga saat ini.
Deklarasi tentang usainya perang dingin yang telah ditandatangani Presiden
Amerika dan Rusia baru-baru ini-bagi Joesoef-cumalah omong-kosong retorika
belaka, karena ayang benar hanyalah satu dari peangkat-keras perang dingin yang
telah dikurangi, sedangkan perangkat-lunaknya, software-nya, state of mind-nya
atau wawasan paradigmanya tetaplah utuh dan terus berjalan dan berpraktek hingga
detik ini. Realitas itu terrefleksi sepenuhnya di pentas politik Indonesia dalam
masa yang disebut "era reformasi" sekarang ini. Hal itu tiada lain karena
segenap permesinan, aparat hingga ke sel-sel paradigma Soeharto sebagai
pengemban dan pelaksana paradigma perang dingin masih utuh kukuh dan berfungsi
dalam seluruh strata kehidupan nasional kita.

Karena itu-tandas Joesoef-selama paradigma perang dingin yang absurd ini belum
substantif berubah, selama itu pula dunia belum bisa diharapkan akan damai, dan
dengan sendirinya Indonesia masih jauh dari segala harapan akan kedamaian,
perdamaian, rekonsiliasi atau bebas dari segala bentuk kekerasan.
				***

Dari sini apakah lantas semudah itu disimpulkan bahwa Joesoef Isak telah
berpaling memilih bersandar kepada pandangan hidup yang absurd dan pesimistis
belaka. Sama sekali tidak. Barangkali kategori optimis-pesimis kurang menarik
untuk ditanggapi, karena persoalannya tidaklah sesederhana itu.

	Dalam realitasnya Joesoef terus bekerja sertiap hari, dan dalam ketekunannya
itu terkadang ia sampai mengabaiakan soal kesehatan tubuhnya. Karena itu bila
pemilahannya pada batasan optimis dan pesimis, boleh saja ia dikatakan sebagai
seorang optimis yang terluka dan belum tersembuhkan-seperti halnya dengan Bung
Karno sendiri.

	Meski begitu tak pernah ia merasa berputus asa, dan tak bakal ia berpangku
tangan. Baginya amanat yang ditinggalkan dari para perintis-pendiri RI adalah
suatu tanggungjawab besar yang harus ditekuni dan diamalkan, dan merupakan
kekhilafan besar bagi mereka yang meremehkan dan menentangnya….
					***

33. Pelajaran dari Soebadio Sastrosatomo

Tidak sedikit dari penulis-penulis Belanda yang menghasut-hasut Bung Karno
sebagai kolaborator Jepang. Beberapa di antaranya telah menemui Joesoef di
Jakarta, dan-entah untuk maksud apa-membicarakan hal-hal yang substansinya
menjurus ke arah itu. Biasanya Joesoef menanggapinya secara terbuka, dan
tegasnya: "Selama tiga abad lebih Indonesia dikuasai oleh kalian, dan kalian
mestinya bertanggungjawab untuk melindungi kami. Tapi setelah Jepang datang dan
berkuasa, di mana tanggungjawab kalian? Mengapa kalian biarkan Jepang masuk
lantas seenaknya meninggalkan kami begitu saja? Tentu saja adalah hak Indonesia
untuk berbuat apa saja, apakah kita mau pro ataupun kontra, ada urusan apa
dengan kalian? Dan kalian tidak punya hak apapun untuk menghasut dan mendikte
kami…."

Ketika menghadapi hal-hal semacam itu seringkali Joesoef teringat akan
pernyataan Soebadio Sastrosatomo yang tidak ragu-ragu untuk menyejajarkan
Soekarno-Hatta-Sjahrir sebagai tiga sekawan yang sama-sama berprinsip anti
fasisme. Sebagai tokoh PSI Soebadio adalah pengagum, pewaris dan penerus
cita-cita Sjahrir. Pertemuan pertama Joesoef dengannya justru terjadi di saat
Soeharto sedang sekuasa-kuasanya, dan pada kesempatan itu ia menyarankan:
"Sudahlah, berhentilah melecehkan Soekarno. Berhentilah melecehkan
Hatta-Sjahrir. Sekarang bangkitkan strategi persatuan Soekarno-Hatta-Sjahrir
untuk melawan fasisme Soeharto!"
Juga sebagai seorang Sjahririst Soebadio tak ragu-ragu untuk berkata: "Soekarno
adalah presidenku. Soekarno adalah Indonesia, dan Indonesia adalah Soekarno."
Menurut Joesoef, di saat ia mengucapkan kata-kata bertuah itu, sedetik pun ia
tidak bermaksud mengecilkan apalagi meninggalkan Hatta dan Sjahrir.

Pertemuan dengan Soebadio itu-bagi Joesoef-adalah suatu pertemuan pemikiran,
suatu penyatuan persepsi, khususnya mengenai founding fathers RI. Selain itu
Soebadio pun telah mampu membuka tabir kesadaran baru yang lebih menyejukkan,
karena Joesoef sendiri-seperti diakuinya-selama ini masih dijangkiti semacam
keangkuhan intelektualisme, atau sedikitnya agak mengidealisasi diri sebagai
kelompok intelektual. Dalam soal ini Soebadio tak segan-segan memberi
peringatan: "Joesoef, Sjahrir itu Barat dan terlalu Barat. Kakinya tidak
berpijak di bumi Indonesia. Sedangkan Soekarno sejak mula-mula kakinya berpijak
di bumi Indonesia, karenanya ia sangat mahir dalam menerjemahkan aspirasi
rakyat."
Sejak pertemuan dengan Soebadio itu, dengan mudah Joesoef menarik kesimpulan
bahwa pada hakekatnya antara Soekarno-Hatta-Sjahrir, ketiganya memiliki
kelebihan dan keunggulan masing-masing. Hatta-Sjahrir memiliki kelebihan dan
keunggulan yang tak mungkin disamai dan dimiliki oleh Soekarno, tetapi Soekarno
sendiri mempunyai segala keunggulan yang sedikit pun tak mungkin diimbangi oleh
Hatta-Sjahrir berdua sekaligus. Mereka jelaslah berbeda, meski tidak penting
untuk mempersoalkan perbedaan mereka, apalagi mempertentangkan dan melecehkan
yang satu di antara yang lainnya.

Menurut Joesoef di kalangan intelektual kita telah banyak tersusupi oleh
usaha-usaha dari kepanjangan tangan politik divide et impera. Selama puluhan
tahun mereka terus direcoki oleh perdebatan-perdebatan sengit yang memakan waktu
dan energi yang mubasir sia-sia. Apabila mereka dibiarkan untuk terus menerus
mempertentangkan founding fathers RI, tak bisa lain bahwa ujung-ujungnya akan
berakibat fatal yang menimbulkan cepatnya proses disintegrasi dan
pemecah-belahan persatuan dan kesatuan nasion kita.
Para intelekual itu-baik tua maupun muda-rupanya seperti terserang pikun yang
kehilangan memorinya dalam mengunyah-ngunyah perdebatan sia-sia tersebut,
padahal upaya pemecah-belahan itu sejak mula-mula merupakan tindakan kolonial
Belanda yang tidak mau menerima kenyataan bahwa bekas jajahannya telah
berani-beraninya memproklamasikan kemerdekaan serta membangun negara republik
sendiri.

Gejala negatif yang mencemaskan pada kalangan intelektual kita adalah bahwa
mereka telah menelan mentah-mentah serta memamah-biak pendapat para pakar asing
yang dijadikan rujukan, yang akhirnya mengkerangkeng daya kemandirian berpikir
mereka sendiri. Yang tak habis-habis sampai sekarang-menurut Joesoef-adalah
kerancuan dalam kerangka berpikir, terutama dengan memanfaatkan segala perangkat
mass-media, masih saja mereka berkoar-koar mempertentangkan ketiga
perintis-pendiri RI tersebut.
Selain ketiga tokoh besar itu, tentu saja masih banyak sederetan nama-nama besar
lainnya seperti Amir Sjarifudin, Agus Salim, Moh. Natsir, Sudirman, Tan Malaka,
Moh. Roem dan banyak lagi yang lainnya. Bagi Joesoef para founding fathers itu
semuanya memiliki bakat, kemampuan dan fitrahnya masing-masing. Mereka memang
berbeda-beda, namun persatuan dalam perbedaan yang saling mengisi dan melengkapi
itulah yang menjadi potensi dan asset nasional yang sangat berharaga, suatu
modal besar untuk membangun dan menempuh masadepan Indonesia yang lebih baik.
				***
Pada pertemuan antara Joesoef-Soebadio (sekitar tahun 1980-an) tersebut antara
lain dijelaskan oleh Soebadio mengenai rencana PSI yang suatu ketika mengadakan
peninjauan kembali sikap politiknya. Saat itu Soebadio mengakui sebab-musabab
mengapa pada masa tertentu Bung Karno lebih cenderung kepada kubu PKI daripada
PSI. Hal itu tiada lain karena para elite PSI-lah yang telah merusak citra PSI
sendiri., padahal waktu itu mestinya mereka membantu dan mendukung cita-cita
Bung Karno.

	Dalam pada itu Joesoef akan membantah siapapun yang berpendapat bahwa Bung
Karno sama sekali tidak mau mengurus ekonomi. Bung Karno paham betul akan
prioritas yang harus diutamakan dalam membangun suatu bangsa dan negara
kepulauan yang besar ini. Ia tak mau menempuh jalan seperti India yang lebih
mengutamakan ekonomi. Dan terbukti setelah menghadapi serangan ekonomi dari RRT
maka goncanglah stabilitas kesatuan bangsa yang semula-oleh Barat-telah
dipuji-puji sebagai negara yang berhasil dalam pembangunan ekonomi dan demokrasi
tersebut.

	Sedangkan jalan yang ditempuh Bung Karno berpegang pada prinsip bahwa daya
tahan ekonomi yang akan dibangun, tiada lain harus berlandaskan daya tahan
politik yang sudah stabil.

	Menurut Soebadio, upaya tersebut sudah dipersiapkan cukup matang bersamaan
dengan niat baik para tokoh PSI untuk mengadakan peninjauan kembali prinsip
politiknya. Pada tahun 1959 sudah ada Manipol (Manifesto Politik) yang kemudian
disusul oleh penyusunan konsep Dekon (Dewan Ekonomi) di tahun 1963-setelah
kembalinya Irian Barat ke pangkuan RI. Para penyusun konsep Dekon itu tiada lain
adalah tokoh-tokoh PSI sendiri, dalam rangka merangkul Bung Karno dari pelukan
PKI.
					***

34. Kritik atas kekurangan Bung Karno

Seperti sudah diterangkan bahwa di barisan tokoh-tokoh PSI terdapat orang-orang
yang bukan hanya ahli di bidang ekonomi namun sekaligus menguasai ekonometris
seperti Soemitro, Soedjatmoko, Sarbini dan lain-lain. Mereka punya kemampuan
dalam menakar dan menghitung-hitung dalam konteks keseluruhan syarat-syarat yang
dimiliki oleh daerah-daerah di Indonessia, terutama segala perhitungan
prasarana, infrastruktur hingga syarat-syarat sumber daya alam dan manusianya.
Dalam hal ini Joesoef berpendapat bahwa-lantaran pembawaan paternalisnya-Bung
Karno kurang menghiraukan adanya emansipasi dalam penguasaan ekonometris pada
kalangan tokoh-tokoh PSI tersebut.

Meski begitu Joesoef memandang bahwa soal itu bukanlah kesalahan-fatal yang
tidak ada sebab dan alasannya. Pada masanya Bung Karno memang bersandar pada
soal like and dislike-nya sendiri dalam memakai orang-orang yang tidak menguasai
kemampuan ekonometris tersebut. Ia juga terpaku dalam menunjuk orang-orang yang
cukup sekaliber dirinya dalam membicarakan soal dunia ekonomi dan politik. Dalam
hal ini penegasan tentang "ekonomi berdikari" harus dibarengi pula dengan
penjabaran secara ekonometris juga-yang nampaknya belum sempat dipersoalkan Bung
Karno karena kesibukannya dalam soal politik.
Dan juga dalam soal paternalisnya Bung Karno, barangkali karena upayanya dalam
memelihara keseimbangan-menurut Joesoef-ia mempunyai semacam wishfulthinking
yang kadang berlebihan juga. Ia selalu merasa bahwa militer-militer itu adalah
anak-anak buahnya, tanpa banyak menghiraukan perkembangannya bahwa di kemudian
hari mereka makin kasak-kusuk untuk berusaha menentangnya.
Secara riil ia memang membutuhkan kekuatan militer, terutama sewaktu penumpasan
RMS, PRRI-Permesta serta beberapa gerakan separatis bersenjata yang mengganggu
keseimbangan. Namun demikian ia kurang tanggap memantau keadaan di lapangan
militer bahwa mereka-yang merasa telah berjasa itu-secara diam-diam menggalang
kekuatan canggih untuk berambisi merebut kekuasaan (dan pada masanya tidak mau
dikendalikan oleh kekuatan sipil).

Sejak tahun 1945-dalam pengamatan Joesoef-Nasution dan Simatupang sudah merasa
jengkel kepada partai-partai politik, juga kepada laskar-laskar bersenjata dari
unsur Islam, nasionalis maupun komunis. Orang-orang militer itu merasa sangat
berjasa dalam mengamankan semuanya, sementara sikap sentimennya kepada para
politisi terus berkembang hingga menganggapnya sebagai pengacau-pengacau belaka.

Pada tanggal 17 Oktober 1952 gejalanya semakin menampak, apalagi sewaktu
Parlemen banyak menggunjingkan persoalan Nasution. Ketika itu-semua orang
tahu-meriam-meriam telah dimoncongan ke Istana Negara yang serta-merta disusul
oleh tuntutan agar Parlemen segera dibubarkan. Setelah itu kelakuan mereka
semakin bertambah-tambah, terutama karena jasa-jasanya dalam penyelesaian
konfrontasi Irian Barat dan Malaysia yang-boleh jadi-mereka menuntut imbalan
berlebihan kepada Presiden Soekarno.

Pada tahun-tahun itu terbukti ketika Joesoef banyak mengadakan kunjungan ke
beberapa negara, ia sempat memantau kesejahteraan para atase militer di KBRI
(Kedutaan Besar Republik Indonesia) yang begitu makmur serba berkecukupan. Hal
itu dirasakan pada saat para pegawai KBRI (non-militer) justru sangat minim
tingkat kesejahteraan hidupnya. Kemudian dapatlah dihimpun dari berbagai
pembuktian bahwa rupanya di kalangan atase militer telah mendapat jaminan untuk
memperoleh jalur tersendiri dalam soal pendanaan.

Namun demikian Joesoef menilai bahwa Bung Karno sudah terlambat dalam membangun
dunia militer kita, karena pada perkembangan selanjutnya kekuatan yang semula
dikira progressif dan pro-rakyat itu, tahu-tahu sudah menggalang suatu komitmen
kerjasama yang akhirnya menjelma menjadi gudang lawannya. Padahal sebelumnya
mereka sempat mencetuskan berbagai macam doktrin seperti "tri upaya cakti" yang
tiada lain merupakan ancang-ancang persiapan untuk melawan Bung Karno.
				***

Di satu sisi langkah-langkah Bung Karno untuk merangkul militer dalam upayanya
menciptakan keadilan dan kemakmuran rakyat memang bisa dibenarkan, namun di sisi
lain-menurut Joesoef-harus diwaspadai betul adanya faksi-faksi kesatuan militer
yang merongrong, bahkan individu-individu yang lihai dan cerdik, yang
terus-menerus mengintai kursi kekuasaan.

Rupanya sikap paternalisnya Bung Karno yang selalu menganggap bahwa semua
militer adalah anak-anak buahnya, kurang sanggup memilah-milah kekuatan
progressif di kalangan mereka yang mau diajak kerjasama dalam menyuarakan
aspirasi serta menyelenggarakan kemakmuran dan keadilan bagi segenap rakyat.
Kemudian Joesoef menandaskan: kalau saja Bung Karno berhasil membangun
militer-militer Indonesia yang progressif-revolusioner, maka-sampai sekarang
ini-tak perlu kita menjadi anti militer berikut slogan-slogan yang
diciptakannya. Tapi karena disebabkan hal-hal tersebut, para militer kita selama
ini, selaku aparat-aparat yang notabene digaji oleh negara dan dibiayai oleh
rakyat, justru telah bertindak sebaliknya. Selama puluhan tahun ini mereka terus
menyelenggarakan ketidakadilan dan kesewenangan yang-dengan sendirinya-apabila
kelakuan dan kerjaan mereka tiada lain selain merugikan rakyat, maka tentulah
mereka akan berhadap-hadapan terus dengan kekuatan rakyatnya sendiri.
				***

Dalam persoalan yang sangat penting ini Joesoef menyimpulkan bahwa konsep
konflik tidaklah selamanya negatif, begitu juga konsep harmoni tidaklah
selamanya positif.

Sewaktu menyampaikan pertanggungjawaban Nawaksara Bung Kasrno telah menyebut
rumusan ketiga yang menyebabkan terjadinya G30S, yakni "adanya oknum-oknum yang
tidak benar". Secara tidak langsung ia menyebut kekuatan Angkatan Darat yang
waktu itu sudah menunjukkan taringnya.
Ya begitulah, nampaknya Bung Karno kurang waspada terhadap kekuatan-kekuatan
yang ia bangun dan lindungi, yang ternyata masing-masing punya rencana dan
agendanya sendiri-sendiri. 
Dan khusus mengenai kelompok Angkatan Darat yang suka basa-basi menunjukkan
loyalitasnya, mestinya diperhitungkan juga mengenai kasak-kusuk di belakang
semua itu, bahwa mereka rupanya tak pernah mau berhenti untuk melancarkan agenda
mereka.

Padahal menurut Joesoef, Bung Karno itu sering memuji-muji Gandhi selaku bapak
bangsa India, yang kemudian ditolaknya sewaktu Gandhi menurut mau diajak
berdamai oleh imperlialisme. Tetapi ketika berhadap-hadapan dengan Angkatan
Darat rupanya konsep konflik ini tidak dipakai oleh Bung Karno.
Biarpun demikian, apapun dan bagaimanapun rencana dan cita-cita Bung Karno
tetaplah berlaku dan valid hingga saat ini. Tinggal peranserta dan tanggungjawab
kita bersama untuk mewujudkan cita-cita yang agung dan mulia tersebut.
				***                   

35. Suatu kisah menarik pasca peristiwa Madiun

Pada suatu hari Joesoef mengungkap suatu dokumen sederhana dari seorang kawan
dekatnya (sesama tapol Salemba) yakni tentang pertemuan Bung Karno dengan
seorang pelukis Lekra, Sudjoyono. Pertemuan itu berlangsung di Yogyakarta pada
tahun 1948 sebebasnya Bung Karno dari pengasingan Belanda di Pulau Bangka. Pada
saat kehidupannya serba kekurangan Bung Karno tergoda ingin memiliki sebuah
lukisan menarik karya Sudjoyono, yang akhirnya sepakat untuk diadakan barter
antara lukisan dengan pakaian Bung Karno.
Saat pertemuan itu Sudjoyono menatap kawannya dengan seksama, kemudian tegurnya
dengan tegas (dalam bahasa Belanda):
"Mas Karno, ben jij nog steeds een Marxist?" (Mas Karno, apakah Mas ini masih
seorang Marxist?)
Bung Karno tersinggung mendengarnya, lantas jawabnya: "Naturlijk Jon Ik ben nog
steeds een Marxist!" (Jelas dong, tentu saja saya masih seorang Marxist!)
Sudjoyono kembali bertanya: "En waarom blijtbt je maar stil, terwijl jouw
vrienden die Marxisten waren doodgeschoten werdwn?" (Kalau masih mengaku
Marxist, kenapa kau biarkan saja kawan-kawan Marxist-mu ditembak mati?)
Setelah mendengar pernyataan terakhir itu Bung Karno tak bisa berkutik dan hanya
diam seribu-basa. Selama beberapa waktu ia tetap membisu, sampai kemudian ia
menangis tak tahankan diri.
Apa yang dimaksud dari percakapan Sudjoyono-Bung Karno itu tak lain dari
Peristiwa Madiun, ketika pada tanggal 30 September 1948 seluruh wilayah Madiun
telah diduduki oleh pasukan pemerintah. Saat itu Musso, Amir Sjarifudin dan
kawan-kawan menghindar ke daerah Dungus hingga Kandengan (harian Sin-Po tanggal
1 Oktober 1948). Kemudian pada 31 Oktober 1948 dalam suatu pertempuran di
Ponorogo, Musso tertembak mati, disusul oleh penangkapan Amir Sjarifudin di desa
Klambu, Purwodadi pada 1 Desember 1948.

Sewaktu Belanda melancarkan agresi kolonialnya yang kedua, serta-merta
dijalankan hukuman mati terhadap sebelas tokoh PKI dan FDR (Front Demokrasi
Rakyat) yakni: Amir Sjarifudin, Maroeto Dareosman, Soeripno, Oey Gee Hwat,
Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Katamhadi, Ronomarsono dan D. Mangku.
Eksekusi berlangsung pada pukul 23.30 (malam) tanggal 19 Desember 1948 di
Kampung Lalung, Ngaliyan, kabupaten Karanganyar, karesidenan Surakarta. Dan
tragisnya, dilaksanakan tanpa proses pengadilan.
				***

Pelajaran apa yang bisa diambil dari rentetan peristiwa dan kejadian tragis yang
menimpa para bapak pejuang dan perintis RI kita…?
Apakah masih saja kita melihat dengan sebelah-mata dan semaunya berpikir enteng
bahwa mereka-mereka yang dihukum mati-tanpa proses pengadilan itu-adalah layak
untuk menerima nasibnya, karena mereka dianggap pengacau dan pemberontak RI yang
harus dimusnahkan? Bagaimana pula dengan istri, anak-anak, keluarga dan
handai-taulan yang ditinggalkan? Apakah segampang itu ditimpakan pula kepada
mereka bahwa mereka pun tak lain dari keluarga-saudara PKI-FDR yang juga pantas
menerima nasibnya?
Sebaliknya apakah masih juga berpikir secara sepihak bahwa semuanya itu akibat
ulahnya Soekarno-dan terutama Hatta-yang sejak semula telah menggelindingkan
pelor pembunuh yang mengakibatkan gugurnya pemuda-pemuda pembela rakyat kecil
itu? Dan bukankah Soekarno pula yang sejak awal-mula berpidato di corong-corong
radio: "Pilih Soekarno-Hatta atau PKI-Musso…?"

Di lain pihak tidaklah sedikit pemikir dan penulis berpendapat bahwa peristiwa
tragis itu adalah persoalan keadilan dan kesewenangan, bahkan soal pemihakan
kepada kebenaran ataukah kesalahan. Dalam hal ini mudah saja disimpulkan bahwa
pemerintah (waktu itu) telah berpihak kepada pelaku-pelaku pembunuhan dan
pembantaian-paling sedikit pemerintah telah berdiam-diri melihat tindak
kekejaman dan kejahatan, yang akhirnya ditarik kesimpulan: bukankah berdiam-diri
itu adalah bagian dari pemihakan juga?

Lantas di manakah letaknya keberanian dan ketakutan, yakni berani untuk membela
yang benar ataukah takut untuk membela yang benar. Dan bukankah ketakutan itu
sendiri adalah bagian dari sifat-sifat manusia yang bisa dimiliki oleh siapa
saja, meski dalam hatinya tetaplah menolak adanya tindak kesewenangan dan
kejahatan? Kemudian siapakah yang bisa memastikan apakah seseorang itu memilih
diam karena rasa takut atau karena setuju kepada pembantaian itu? Apakah bangsa
kita tetap akan memaksakan diri untuk menghakimi orang yang memilih diam, lantas
merasa berhak mengklaimnya seakan-akan ia telah sepakat atau menolak?

Apakah berlaku suatu pepatah yang mengatakan bahwa berdiam-diri berarti
menunjukkan kesetujuan, bila dikaitkan dalam soal pemihakan kepada moralitas?
Bukankah seseorang yang tidak mampu melawan kejahatan dengan tangannya, adalah
berhak baginya untuk melawan dengan ucapannya? Dan bukankah mereka yang tidak
sanggup melawan dengan ucapannya, adalah berhak pula untuk melawan dengan
hati-nuraninya?
Jadi siapakah paling bertanggungjawab melakukan pembunuhan dan pembantaian itu…?
Bahwa kita semua mengharapkan kecepatan dan percepatan untuk memperolah jawaban
yang benar, ada baiknya, tetapi menjadi kurang baik dan gegabah bila kita
memaksakan diri menarik kesimpulan untuk suatu peristiwa bersejarah yang belum
utuh dan bulat penyelesaiannya. Setiap kita patut untuk mencari bahkan
bersikeras untuk terus menggali. Namun demikian sepatutnya pula diimbangi dengan
kesadaran bahwa otak dan pikiran manusia bukanlah suatu gudang-raksasa yang bisa
menampung semuanya serta menentukan segala-galanya.

Karena itu marilah kita menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri untuk dapat
berpikir lebih jernih dan matang. Dan alangkah baiknya bila kita perhatikan
pendapat Joesoef Isak dalam konteks Peristiwa Madiun itu:
"Saat itu Bung Karno betul-betul menghadapi hal yang sangat dilematis, apalagi
mengingat dia pernah menyatakan 'pilih Soekarno-Hatta atau PKI-Musso'. Sewaktu
ia ditegur oleh seorang pelukis Lekra (Sudjoyono) kita bisa lihat betapa Bung
Karno tengah berhadap-hadapan dengan nuraninya sendiri. Saat itu ia menangis tak
tahankan diri, dan saya yakin pada saat peristiwa 1965 pun ia menangis juga.
Biar begitu, bagaimanapun kita harus berhati-hati dalam menilai suatu persoalan,
karena sejarah hidup manusia tidak bisa dipandang secara hitam-putih dan hanya
sepotong-sepotong belaka. Sekali lagi saya tegaskan, selagi pihak-pihak manapun
tak mampu memberikan bukti-bukti yang pasti akan kebenaran dan kesalahan
seseorang, maka kebenaran harus ditemukan dengan cara mengkaji sosok seseorang
itu dalam totalitas perjuangan dan sejarah hidupnya. Bagaimanakah sikap Bung
Karno dalam semua tahap dan masalah ketika menghadapi konflik dengan bangsanya
sendiri, misalnya pada periode PNI dengan PNI-Pendidikan, kooperator dan
non-kooperator, lantas peristiwa Madiun hingga 1965 itu sendiri? Apakah
seseorang yang sepanjang hidupnya telah mengabdikan diri secara jiwa dan raga
demi kemerdekaan bangsa dan negaranya, akan sekejam dan setega itu mengorbankan
para pemimpin PKI dan FDR yang notabene adalah pembela-pembela rakyat kecil?

Jadi janganlah buru-buru memutuskan untuk mengklaim kesalahan seseorang, karena
dalam memandang sesuatu dibutuhkan adanya think and rethink (berpikir dan
meninjau kembali). Meski Bung Karno pernah bertentangan secara politik dengan
PKI-Musso, tapi toh kemudian ia adalah penganjur Nasakom, dan pada masanya
adalah pencetus ide Non-Blok dan terus meningkat kepada gagasan New Emerging
Forces dan Old Established Forces.
Dalam menilai Hatta dan Sjahrir pun saya tidak mau terjebak untuk berputar-putar
di wilayah hypothesis belaka. Saya tetap menghormati dan menghargai mereka,
meski keduanya tentulah tidak sepadan bila dibandingkan kebesaran Soekarno
sendirian.
Karenanya janganlah kita terpaku menghakimi seseorang atas kekhilafan dan
kesalahannya pada masa dan periode tertentu, sebab dalam think and rethink
terdapat wilayah dan kesempatan untuk berbenah dan introspeksi diri, meninjau
kembali hingga melakukan perbaikan-perbaikan…."
				***

Selama di penjara Salemba Joesoef mengakui bahwa ia sering menghadapi
perdebatan-perdebatan sengit seputar Peristiwa Madiun hingga G30S/1965 tersebut.
Ia tidak apriori membela orang-orang kanan yang menuduh PKI sering melakukan
pemberontakan dan karenanya layak menerima akibatnya. Tetapi ia pun tidak lantas
apriori mendukung golongan kiri yang gencar menyerang Soekarno habis-habisan,
apalagi Hatta dan Sjahrir. Golongan yang terakhir ini berpendapat bahwa Soekarno
itu orangnya memang lemah, inginnya damai melulu, tak mau menumpahkan darah.
Juga ada yang mempersalahkan Soekarno yang telah mengatakan adanya tokoh-tokoh
PKI yang keblinger, di samping juga karena takut memberi komando untuk
mengadakan perlawanan. Malahan ada yang menyatakan bahwa Amir Sjarifudin
orangnya melempem karena mau-mauan saja berkompromi dengan pihak pemerintah.

Joesoef mencoba untuk menengahi berbagai pandangan tersebut, meski ia sadar
bahwa risiko yang bakal dihadapi tentulah lebih berat, karena ia
berhadap-hadapan dengan berbagai kubu-yang tidak jarang-begitu "keras-kepala"
saling bertentangan. Di satu pihak ia telah dituduh sebagai orang PKI yang
terselubung namun di pihak lain ia diklaim sebagai "orangnya Sjahrir" yang
dicurigai terlalu po-Barat.
Dalam menghadapi pertikaian pro-kontra dari kubu-kubu yang berlawanan itu
Joesoef berusaha konsisten untuk tetap mengambil jalan-tengah, yakni
mengguratkan garisnya Bung Karno yang sebetulnya mengandung inti dan esensi yang
sederhana saja: bahwa PKI sebagai partai telah percaya bahwa revolusi harus
diusahakan secara bertahap dan meningkat. Karenanya secara teoritis mereka
cenderung memilih suatu bentuk demokrasi yang cukup progressif namun tidak
radikal. Rujukan PKI mengarah kepada pola "demokrasi nasional", sutau pola
pengalihan kekuasaan yang dilakukan secara bertahap sampai akhirnya mendudukkan
seorang tokoh nasionalis yang progressif sebagai penguasa-pemimpin pemerintahan.

Rujukan tersebut mengarah kepada pengalihan kekuasaan model Cekoslovakia, dari
Masaryk kepada Gottwald, atau model Kuba dari Batista kepada Castro, dan juga
model Al-Jazair dari Ben Bella kepada Boumedienne. (Ben Bella tadinya diterima
sebagai sorang revolusioner namun kemudian mengalami dekadensi pemburjuisan.)

Nah, sebagai wacana teoritis wawasan "demokrasi nasional" memanglah menarik
untuk dipelajari, meski belum tentu relevan dalam praktek. Soalnya di Indonesia,
pemimpin nasionalnya jelas berbeda dari ketiga negeri tersebut di atas. Presiden
Soekarno bukanlah seorang pemimpin yang perlu digeser, karena dia bukan sekedar
nasionalis tetapi sekaligus nasionalis-kiri yang serius membela rakyat-rakyat
tertindas Asia-Afrika dalam menentang kolonialisme dan imperialisme.
				***

36. Rahasia pribadi yang dipertahankan demi kesatuan-persatuan bangsa

Ada banyak pengalaman hidup Joesoef yang hendak disampaikan kepada masyarakat
luas, khususnya kepada masyarakat bangsanya sendiri, meski tidak jarang ia harus
menimbang-nimbang serta menakar sejauhmana pengalaman itu dapat layak untuk
dikemukakan ataukah disimpan saja sebagai rahasia-pribadi untuk kemudian-pada
waktunya-bisa diungkap dan dibeberkan secara blak-blakan. Meski begitu tidak
sedikit pengalaman hidup yang disadarinya bakal mengandung risiko yang tidak
kecil bila diungkapkan, bukan suatu risiko buat dirinya tetapi yang terpenting
adalah pengaruhnya yang begitu kompleks dan serius buat bangsa ini.

Selain itu Joesoef pun sadar bahwa ia tak gentar untuk menyimpan rahasia-pribadi
sepenting-sebesar apapun untuk seumur hidupnya, apabila ia meyakini adanya
pengaruh buruk yang bakal menggoncangkan keseimbangan dan keutuhan bangsa ini.
Hal ini sudah menyangkut pertanggungjawaban dirinya di mata Tuhan-yang merupakan
bagian dari religiositas Joesoef Isak itu sendiri.

Memang banyak kawan-kawan yang menilai dirinya terlampau berani dan gegabah,
terutama sikap konsistennya dalam mempertahankan Penerbit Hasta Mitra sendirian
(setelah wafatnya Hasjim Rachman) namun sebaliknya ada juga seorang kawan
dekatnya yang terlampau progressif tanpa mempedulikan pengaruh yang akan
terjadi. Kawan dekat itu menekankan agar Joesoef berbicara sajalah untuk
membeberkan semuanya, "sampaikan saja secara blak-blakan tanpa tedeng
aling-aling. Sejarah hidup seseorang itu terletak pada perbuatannya, sejauhmana
ia telah berbuat dan terutama keberanian seseorang untuk berbuat."

Bagi Joesoef persoalannya tidak sebatas pada soal berani atau tidak berani,
tetapi yang harus diperhitungkan adalah tolok-ukur suatu kebenaran untuk bisa
disampaikan kepada publik. Bila kita tidak mempertimbangkan ukuran seberapa jauh
orang-orang telah dirugikan disebabkan adanya keberanian untuk berbuat apa saja
semau-maunya, tentulah merupakan keteledoran dan kesalah-kaprahan yang tidak ada
urusannya dengan "sejarah".

Dan keberanian yang tidak terpikul oleh ide dan prinsip-prinsip keadilan, pada
saatnya akan menjelma sebagai dajjal raksasa yang serba menghalalkan apa saja
dan mengorbankan siapa saja-seperti telah dipraktekkan secara rill oleh rezim
Orde Baru selama ini.

Bahwa upaya untuk mengungkap kebenaran itu berkejar-kejaran dengan ruang dan
waktu dalam umur hidup manusia, hal itu tidaklah begitu merisaukan Joesoef.
Persoalan mati baginya adalah persoalan batasan dalam umur hidup manusia, dan
kapanpun ia siap menghadapinya. Meski begitu tetaplah ia berusaha untuk melawan
segala hal yang mengganggu kesehatan tubuhnya, walau seringkali ia mengabaikan
soal kesehatannya bila tengah menekuni tugas-tugas kesehariannya.
Bagaimanapun Joesoef terus berbuat apa yang masih bisa diperbuat, juga
menghimpun apa saja yang masih bisa dihimpun bagi kepentingan masadepan bangsa
ini. Dengan penuh kesadaran ia tetap gigih mengupayakan penyelamatan warisan
agung dari para pendahulu kita, terutama keseimbangan dan keutuhan dari
segalanya yang selama ini telah berserakan tak keruan.
Baginya apa-apa yang telah dirusak dan dimusnahkan oleh Orde Baru memang tidak
kepalang-tanggung pengaruh yang ditimbulkannya. Bahkan Pramoedya sendiri selaku
kolektor bibliografi sastra dan sejarah Indonesia, telah menyatakan bahwa segala
bentuk perampasan dan pemberangusan terhadap perbukuan dan karya-cipta semasa
kolonial Belanda, tidaklah separah apa yang dilakukan oleh fasisme Soeharto
selama ini.
				***

Untuk mengupayakan keseimbangan dari pengalaman hidup yang bisa dipetik
pelajarannya bagi bangsa kita (terutama generasi muda) ada baiknya diungkapkan
sedikit dari rahasia-pribadi yang disimpan Joesoef Isak, dengan segala
pertimbangan bahwa-bagi penulis-persoalannya tinggal bagaimana cara mengemas
penyampaiannya ke dalam bentuk dan gaya bahasa tersendiri.
Berikut ini beberapa kesaksian Joesoef mengenai hal-hal yang kiranya pantas
diketahui serta menarik dikemukakan di depan umum:

1.	Sekitar awal tahun 1960-an seorang Duta Besar RI di suatu negara di wilayah
Eropa telah gegabah mengirim surat-kawat ke Indonesia, yang isinya supaya
Joesoef jangan ikut-ikutan begitu mencolok dalam memberitakan "konfrontasi
Malaysia". Joesoef menyimpan surat-kawat tersebut dan berusaha menyimpan
persoalan itu agar jangan sampai diketahui oleh Bung Karno. Kalau saja surat itu
dibocorkan kepada Bung Karno, bakal jatuhlah posisi dia selaku Duta Besar RI.
Joesoef mengenal dia sebagai seorang Soekarnois meski ia seorang yang
anti-komunis. Bagaimanapun Joesoef mencoba menghargainya selaku tokoh jurnalis
yang tidak kecil pengabdiannya dalam merintis dunia jurnalistik di Indonesia.

2.	Seorang kawan Joesoef terpaksa harus menjual rumahnya (di wilayah Jakarta
Pusat) kepada seorang perantara yang merupakan orang ketiga. Pelepasan rumah itu
diliputi oleh berbagai ketentuan dan persyaratan ini-itu yang harus dipenuhi.
Sampai kemudian sewaktu penandatanganan, tahu-tahu yang nongol di hadapannya
adalah seorang budayawan terkenal dan seorang wartawan-senior (di zaman
Soeharto). Rumah itu dibeli untuk didirikan suatu yayasan yang bergerak di
bidang kebudayaan, kemudian meningkat di bidang sosial-politik, kemudian di
bidang lain-lain tergantung suasana perkembangan larisnya pasaran buku-buku.
Kabarnya yayasan tersebut-tiada lain-disokong oleh suatu yayasan besar di
Amerika, yang juga merupakan kolaborator CIA.

3.	Amarzan Lubis dan Maniaka Thayeb telah "dipakai" oleh seorang budayawan
terkenal untuk memperkuat suatu majalah nasional. Keduanya adalah mantan tapol
yang merupakan bobot Sumber Daya Manusia yang patut diperhitungkan. Joesoef
tidak apriori menuduh bahwa keduanya telah diperalat oleh budayawan yang semula
berseberangan dengan garis poitiknya Bung Karno itu. Selagi niat dan maksudnya
adalah baik untuk menolong dan membantu, patutlah dinilai bahwa ia adalah
seorang budayawan yang telah mengikuti progres demokrastisasi yang berkembang.
Barangkali juga ia telah mengadakan think and rethink (berpikir dan meninjau
kembali) untuk dapat mengupayakan penyesuaian dengan kondisi sekarang.

4.	Dalam suatu disertasinya David Hill telah memaparkan kucuran dana dari CIA
bagi kepentingan progres kebudayaan Indonesia pasca peristriwa G30S yang
jumlahnya mencapai jutaan dolar. Ia tidak menyebut siapa-siapa orang Manikebu
yang menerima bulat-bulat dana sebesar itu. Tetapi siapapun dapat mudah menebak
bahwa dana tersebut telah dimanfaatkan oleh budayawan-seniman yang berdiri tegak
di balik perayaan kemenangan rezim militer Soeharto. Sekitar tahun 2000-an
ketika David Hill mengajukan disertasinya ke hadapan seorang sastrawan basar
(zaman Soeharto) di Jakarta, serta-merta dengan beringasnya buku itu dilempar
dengan tanpa menimbang-nimbang dulu pernyataan-pernyataan ilmiah yang terkandung
dalam disertasi tersebut. Rupanya dagelan politik militerisme Orde Baru telah
dikunyah-kunyah pula oleh sebagian sastrawan kita, bahwa untuk "menghantam"
orang yang dianggap lawan, tidaklah merasa perlu untuk melihat dan
menimbang-nimbang dulu apa yang diucapkan dan dituliskan oleh sang "lawan"
tersebut.
***

Tentulah masih banyak hal-hal menarik lainnya dari kesaksian-kesaksian Joesoef
Isak. Namun karena pertimbangan-pertimbangan yang sifatnya sangat pribadi,
antara lain kekhawatiran adanya pihak-pihak yang merasa dirugikan atau
dikecewakan, juga pengaruhnya yang berdampak negatif kepada masyarakat kita
(khususnya angkatan muda) sebaiknya biarlah disimpan saja sebagai pengalaman
atau rahasia pribadi bagi Joesoef bersama dengan penulis biografi ini.

Segala hal yang akan dikemukakan harus disesuaikan dengan ruang dan waktunya
masing-masing. Joesoef tidak mau tergesa-gesa untuk mempercepat sesuatu yang
dirasa belum saatnya. Sebaliknya ia pun tidak mau berlama-lama menunda suatu
persoalan yang memang sudah semestinya harus dibeberkan.

Semuanya harus ditakar sesuai dengan ukurannya masing-masing. Bahwa di kemudian
hari akan muncul pihak-pihak yang merasa berkeberatan karena ulah dan
tindakannya yang dianggap kurang baik, ia tidak terlampau memusingkan penilaian
tersebut. Biar sajalah mereka menilai sendiri untuk memuji, mengagumi, membenci
atau bahkan mencaci-maki. Paling tidak biarlah semua masyarakat diberi haknya
dalam berargumen untuk saling mendukung ataupun menyanggah. Berikanlah mereka
ruang dan kesempatan untuk bersanggah-sanggahan ataupun berkonfrontasi saling
berhadap-hadapan. Jangan seperti yang selama ini diberlakukan, di mana hak
sanggah dan menolak menjadi berat-sebelah karena kesempatan ruang-waktu cuma
diberikan kepada mereka-mereka yang mendukung rezim belaka.

Marilah kita bergandeng-tangan untuk bersama-sama meneladani para founding
fathers kita, bahwa hendaknya kita terus bersatu-padu di dalam segala perbedaan
kita semua….
				***
 Bersambung ke bag. 10/10 (habis)

-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-m: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
Nasional-a:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
Nasional-e:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-e/
------------------Mailing List Nasional------------------