[Nasional-a] [Nasional] Draft BIOGRAFI JOESOEF ISAK Bag. 8/10

nasional-a@polarhome.com nasional-a@polarhome.com
Tue Oct 15 23:01:06 2002


-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH
-----------------------------------------------------------------------
 VI. Riwayat penerbit Hasta Mitra

Meskipun sudah ada keputusan bulat dari pemerintah Orde Baru bahwa para tapol
yang dibebaskan tak bolah bersentuhan dengan dunia tulis-menulis, namun tentu
saja selagi keputusan itu bertentangan dengan tuntutan hatinurani dan prinsip
keadilan,adalah layak untuk diadakan perlawanan-paling sedikit suatu kritik atau
gugatan akan ketidakbenarannya.

Prinsip ketidakadilan dari rezim Soeharto itulah yang membuat tiga orang tapol
(dua watawan dan satu pengarang) terus bergerak untuk menyalurkan kata-kata dan
ide-ide tentang kebenaran dan keadilan, di mana buku adalah sarana dan perangkat
yang paling ampuh.

Pada suatu hari di tahun 1980-an, oleh Hasjim Rachman diantarlah Pramoedya
Ananta Toer untuk menemui Joesoef Isak di Jalan Duren Tiga, Jakarta. Sewaktu
pertemuan itu langsung dibicarakan mengenai rencana mendirikan perusahaan di
bidang penerbitan buku, karena peluang untuk itu-meski pelarangan bersentuhan
dengan dunia tulis-menulis belum dicabut-nampaknya masih bisa dimungkinkan.
Maka ketiganya bersepakat untuk menempuh jalan itu, dan bahkan bertekad untuk
memenuhi segala persyaratan dengan mendaftar ke Akte Notaris, juga minta izin
kepada Departemen Perdagangan dan lain-lain. Mereka berusaha mempersiapkan diri
dengan segala pikiran dan kemungkinan akan berhadap-hadapan dengan rezim, bahwa
tak ada yang mereka lakukan sebagai sesuatu yang bisa dikatakan ilegal. Hal ini
disadari betul, karena bagaimanapun mereka sepakat akan bergerak secara terbuka
dan terang-terangan, yakni: tiga orang mantan tapol bertekad mendirikan
perusahaan penerbitan sebagai penyalur ide dan pikiran, dan buku yang akan
dicetak dengan sendirinya akan dipasarkan dan dijual untuk masyarakat umum.
Ketika itu Pramoedya sudah menggagas mengenai perusahaan tersebut dengan nama
Penerbit Hasta Mitra, yang serta-merta disetujui oleh Joesoef dan Hasjim tanpa
perlu berpikir-pikir panjang lagi.
				***

Pendirian Hasta Mitra dimulai dengan merekrut sekitar 20 orang mantan tapol
sebagai tenaga kerja. Mereka ditampung selaku pegawai mengingat sulitnya para
tapol untuk mencari penghidupan, terlebih-lebih mereka yang bersangkutan dengan
dunia tulis-menulis.

Adapun modal pertama Hasta Mitra disokong oleh seorang pengusaha yang cukup
sukses (saudara iparnya Hasjim Rachman) yang sebagian besar dimanfaatkan buat
membeli peralatan elektronik model baru (buatan Jerman). Selama beberapa minggu
empat orang diberi training oleh tenaga ahli dari Jerman, karena-sepulang dari
tahanan-kebanyakan tapol mengalami semacam culture of shock, yakni perasaan
kaget dan terasing dari hal-hal yang dianggap baru.

Sesudah itu maka berjalanlah perusahaan tersebut dengan setting, lay-out dan
operator ditangani sendiri, sedangkan mesin percetakan bisa disewa dari penerbit
lain. Namun tak berapa lama mulailah tersebar desas-desus bahwa rumahnya Joesoef
Isak telah dijadikan mangkal bagi para PKI-PKI malam. Ada juga yang
menyebar-nyebar gunjingan bahwa di rumah itu para tapol sedang mengadakan aksi
gerakan bawah tanah, dan banyak lagi yang lainnya.

Kemudian setelah orang-orang tahu bahwa di rumah itu telah berdiri suatu
perusahaan penerbitan yang bergerak secara terbuka maka gunjingan desas-desus
itu menjadi bergeser kepada suatu tuduhan bahwa Joesoef (dan kawan-kawan) telah
menerima modal dari Peking untuk usahanya tersebut.
Dan Joesoef pun-tentu saja-sudah cukup kebal dengan segala-macam gunjingan dan
tuduhan seperti itu, belum lagi ia sudah mempersiapkan diri secara matang
terhadap kemungkinan adanya hal-hal yang tidak mengenakkan tersebut.
				***

Buku pertama yang terbit (tanpa acara peluncuran) adalah Bumi Manusia, suatu
novel sejarah karya Pramoedya Ananta Toer yang sekligus-boleh
dibilang-satu-satunya buku pertama yang mendapat sambutan luas dalam sejarah
perbukuan di Indonesia. Buku itu dicetak sebanyak 10.000 eksemplar untuk pertama
kali, dan kontan habis-ludes dalam hitungan beberapa hari saja. Maka
dipersiapkanlah untuk cetakan kedua, ketiga dan seterusnya, dengan beberapa
koreksian serta perbaikan atas kekurangan dan kekeliruan di dalamnya.

Setelah tiga minggu terbit Bumi Manusia dipersembahkan oleh Joesoef kepada Adam
Malik (yang waktu itu menjabat selaku Wakil Presiden RI), yang serta-merta
disambut olehnya dengan suatu pernyataan: "Bumi Manusia harus menjadi buku wajib
bagi universitas dan pelajar-pelajar SMA". Namun tak berapa lama muncullah
pendapat sebaliknya (yang datang dari pejabat tinggi juga) bahwa buku itu
katanya mengandung ajaran komunisme secara terselubung.

Bagi Joesoef pada periode diterbitkannya Bumi Manusia-tiada lain-mencerminkan
refleksi dari konflik intern di tubuh penguasa Indonesia yang akhirnya membuat
mereka kebingungan untuk memutuskan apakah harus dibredel atau tidak. Di satu
sisi mereka ketakutan akan reaksi dunia internasional, namun di sisi lain apakah
akan dibiarkan seorang sastrawan bekas tapol yang akan meluncurkan karya
ciptanya-sekaligus ide dan pikirannya-bagi masyarakat, yang dengan sendirinya
mempengaruhi pola-pikir dan cita-rasa kepada masyarakat luas.

Ketika itu tarik-menarik semakin mengeras antara mereka yang menghendaki
pembredelan dengan yang tidak, bukan hanya di kalangan pejabat tinggi, bahkan
kemudian meluas hingga kalangan budayawan,wartawan, agamawan dan sebagainya.
Suatu hari seseorang yang dijuluki sebagai wartawan senior berbicara di depan
publik bahwa-katanya-buku Pramoedya mengandung ajaran komunisme-marxisme dan
leninisme. Pernyataan tersebut dimuat di suatu koran nasional, yang kemudian
dibangun sebagai opini yang setiap hari meluas dan berkembang di dunia pers
kita.

Secara pribadi Joesoef sangat kecewa kepada ulah sang wartawan senior itu,
seseorang yang mestinya memegang prinsip bahwa kebebasan menulis harus dibela
dan dijunjung-tinggi, namun karena suatu kepentingan tertentu-yang boleh jadi
ditunggangi oleh rezim-ia malah bersikap sebaliknya. Selain itu ada juga suatu
pertemuan yang (cuma) dihadiri oleh 17 orang yang mengaku-ngaku sebagai seniman.
Orang-orang itu serta-merta membikin suatu ikrar dengan segala-macam surat
pernyataan yang memutuskan bahwa buku Bumi Manusia harus dilarang dari
peredaran.
Mereka lantas mengajukan surat pernyataan tersebut kepada Kodam, yang kontan
disambut dengan senang hati karena-pihak Kodam-merasa bahwa pernyataan itu
adalah masukan yang sangat penting dan ditunggu-tunggu. Seketika itu maka
bekerjalah pelarangan itu sebagai suatu pembenaran, dan muncullah opini-opini
bikinan yang bersumber dari pernyataan-pernyataan politik belaka: "Masyarakat
Gelisah", "Bumi Manusia Berbahaya", "Bumi Manusia Mengandung Propaganda
Komunisme yang Terselubung" dan seterusnya.
Dengan begitu maka tarik-menarik di tubuh kekuasaan itu kemudian dimenangkan
oleh mereka-mereka yang menghendaki pembredelan.
				***

Meski psikologi sosial dari dampak sebuah berita terus menggaung, namun mereka
keliru memperkirakan bahwa dengan mematahkan Joesoef (dan kawan-kawan)
penerbitan lantas akan terhenti dan hancur-lebur sama sekali.
Padahal Joesoef sadar betul akan hal itu, bahwa pembredelan itu toh sudah
ditentukan, meski tidak ada sangkut-pautnya dengan isi Bumi Manusia-dan hanya
semata-mata Pramoedya sebagai seorang tapol. Jadi kalau misalnya Pram menulis
tentang dunia mode atau tentang olahraga sepakbola sekalipun, tetap saja
pembredelan itu akan dikenakan terhadapnya.

Maka berlanjutlah penerbitan berikutnya dengan tidak mempedulikan pelarangan
ini-itu, dengan tidak mengambil pusing pada kepentingan rezim, malahan
dianggapnya sebagai lelucon dan guyonan yang bisa menyehatkan. Dan buku kedua
yang terbit tiada lain adalah Anak Semua Bangsa, yang serta-merta diserbu oleh
masyarakat luas, dan kontan ludes dalam hitungan beberapa hari saja.
Namun apa yang terjadi kemudian? Koran-koran mulai ramai kembali memberitakan
buku tersebut. Ada yang pro dan tidak sedikit yang kontra. Tarik-menarik di
tubuh penguasa makin mengencang lagi. Dan bisa diduga bahwa pembredelan itu pun
akhirnya diberlakukan untuk kedua kalinya.
Saat itu Joesoef mencoba untuk tidak menggubris urusan bredel-membredel
tersebut. Bersama Hasjim ia terus menggalang kekompakan untuk berencana
menerbitkan semua tetralogi Pramoedya yang ditulisnya selama pembuangan di Pulau
Buru. Segala daya-upaya dikerahkan, dan sedapat mungkin Hasta Mitra berupaya
mengambil jarak dari kepentingan politik Orde Baru, yang setiap saat dapat
memuntahkan naluri fasisnya yang sudah tak asing lagi bagi pengalaman hidup
Joesoef.

Setelah jeda beberapa waktu maka terbitlah buku ketiga Jejak Langkah, yang
kemudian disusul oleh buku keempat Rumah Kaca. Keempat buku itu lantas dikenal
sebagai Tetralogi Buru, yang membawa Pramoedya sebagai satu-satunya penulis
yang-dalam penilaian Prof. A. Teeuw-hanya dilahirkan satu dalam satu generasi,
bahkan satu dalam satu abad.
Tetralogi Buru ditulis di bawah penindasan dan kesewenangan rezim Orde Baru,
yang kemudian diterbitkan untuk pertama kali oleh Hasta Mitra, yang tak lain
dari penerbit yang juga bekerja di bawah bayang-bayang penindasan rezim Orde
Baru.
				***



28. Kiat mengedit karya Pramoedya Ananta Toer

Pekerjaan Joesoef selaku editor bagi buku-buku Pramoedya diawali dengan
kesadaran bahwa karya-karya tersebut adalah suatu novel sejarah, dan karenanya
adalah suatu fiksi dan fantasi. Tapi meski ia adalah fiksi dan bukan karya
ilmiah, bagaimanapun ia adalah novel yang tidak terlepas dari data-data sejarah
yang memerlukan keotentikan data mengenai waktu dan tempat-tempat kejadian. Dan
sebagai karya-cipta yang sarat akan muatan-muatan sosial-politik, dengan
sendirinya persoalan-persoalan hukum pun menjadi penting untuk diteliti dan
diperhitungkan.

Tetralogi Buru banyak menyangkut data-data sejarah. Meskipun ia tetaplah suatu
fiksi namun tidak bisa sebebas novel biasa, dan karenanya harus berada dalam
koridor sejarah pada masa itu, dan pada tempat situasi kala itu juga. Dalam hal
ini Joesoef banyak dibantu oleh Prof. Wertheim mengenai ketelitian data-data
sejarah, dan karena itu beberapa kekeliruan dapat diluruskan dengan baik,
seperti penulisan tahun berdirinya MULO pada 1913, yang kemudian dirubah menjadi
tahun "1916" dan seterusnya.
Oleh Pramoedya, Joesoef malah dianjurkan supaya memperhatikan saran dan kritik
dari Wertheim tersebut, terutama mengenai hal-hal yang sifatnya sangat
substantif mengenai data-data sejarah, dan juga mengenai soal hukum.
Menurut Joesoef ia hanya mengedit beberapa kekeliruan saja pada novel-novel
Pramoedya. Karya-karyanya cukup rapi dan teratur, juga secara literatur
tulisan-tulisan itu tidak perlu banyak dikoreksi. Walau begitu Joesoef berusaha
menampung masukan-masukan dari pembaca, misalnya ada yang mengatakan bahwa
kalimat-kalimat Pramoedya agak sulit untuk ditangkap. Karena itu pada
cetakan-cetakan berikutnya diupayakan pengeditan secara intensif, dan Joesoef
mencoba menempatkan diri pada imaji orang-orang yang mengatakan bahwa
kalimat-kalimat Pramoedya begitu sulit untuk ditangkap.
				***

29. Soal kiriman mesin ketik dari Jean Paul Sartre

Adalah kurang tepat memandang kehidupan para tapol dari sudut filsafat idealisme
melulu. Pada beberapa hal, sudut-pandang macam itu bisa dikatakan naif dan omong
kosong belaka. Dari sana juga bisa dilihat kesaksian-kesaksian hidup yang
kosong, hampa dan sulit untuk termaknai. Bahkan tidak jarang tragedi-tragedi
yang brutal, absurd dan sulit diterima oleh akal sehat.
Pendekatan dari sudut filsafat eksistensialisme cenderung menempati posisi yang
lebih kuat dalam hal ini. Meski tidaklah sepantasnya dikategorikan sebagai
menang dan kalah dalam kedua sudut-pandang itu, karena dinamika ruang dan waktu
terus berproses dan bukanlah sesuatu yang mandek dan berjalan di satu tempat.

Dalam pada itu Joesoef menilai bahwa Pramoedya-dan seumumnya kawan-kawan
tapol-sama sekali bukan penganut-penganut filsafat eksistensialisme yang
konsisten pada paham atheisme. Secara pribadi Joesoef pun mengakui bahwa dirinya
bukanlah seorang religius yang sangat terpaku pada ketentuan-ketentuan ritual
keagamaan. Namun demikian tidak juga bisa dikatakan bahwa dirinya tergolong
orang yang apriori menolak religiositas dan keimanan. Suatu ketika pernah ia
terkagum-kagum kepada beberapa kawannya (tapol PKI) yang mempunyai kelebihan
intuisi ataupun firasat dalam membaca tanda-tanda kejadian yang akan menimpa
dirinya dan kawan-kawan lainnya. Orang-orang itu biasanya rajin melakukan
praktek ritual dengan bersemedi di malam hari, membaca wirid dan zikir yang
diselingi oleh bacaan-bacaan dalam bahasa Jawa-kuno. Joesoef bukanlah tipe
seperti itu, karena ia-seperti pengakuannya-tergolong pemalas dalam soal-soal
ritual semacam itu.
Adapun mengenai Pramoedya Ananta Toer yang digolongkan sebagai sastrawan
penganut realisme-sosialis, Joesoef tidak terlampau direpotkan oleh
urusan-urusan semantik seperti itu. Baginya Pramoedya memanglah seorang pemuja
realitas, namun demikian adalah keliru bila menggolongkan dia sebagai penganut
filsafat absurditas dalam paham eksistensialisme Sartre.
				***

Jean Paul Sartre adalah sorang filosof besar Prancis yang terkenal dengan salah
satu karyanya yang berjudul "Pintu Tertutup". Sebagai penggagas filsafat
eksistensialisme karya-karyanya sarat dengan tragedi-tragedi yang sangat absurd,
kering dan tak bermakna. Secara pribadi ia sungguh konsisten pada paham
atheisme-dan paham itulah yang terus menerus menjiwai karya-karyanya. Baginya
segala kesewenangan hidup, penindasan dan pemerkosaan terhadap hak-hak
kemanusiaan adalah benang-banang kusut yang serba absurd dan tak berujung
pangkal. Karenanya bila ia percaya akan keberadaan Tuhan, dengan sendirinya
Tuhan yang diyakini keberadaanya tiada lain dari suatu Wujud yang diam, tak
peduli dan terus menerus berpangku tangan. Sebaliknya, apabila ia mempercayai
Wujud yang bergerak, dengan sendirinya Wujud itu telah bersekongkol dengan
kesewenangan atau bahkan Wujud itu sendirilah yang merupakan kesewenangan
tersebut.
Bagi Sartre, Sesuatu Yang Maha Pengasih dan Penyayang tidaklah bermakna apa-apa
dalam filsafat hidupnya, karena berbagai tragedi yang susul-menyusul seperti
perang, terorisme dan pembunuhan tidaklah mendapat kesempatan bagi Yang Maha
Pengasih untuk ikut andil dan menempati posisinya.
Karena itu daripada ia beriman kepada Sesuatu yang lemah, diam dan kejam, lebih
baik ia memilih konsisten mengimani ketiadaan, kekosongan dan kehampaan.
Seperti yang pernah disebutkan bahwa Pramoedya bukanlah Sartre, dan
karya-karyanya pun tidak identik dengan karya-karya Sartre. Meski ia seorang
pemuja realitas namun sama sekali ia bukanlah seorang atheis dalam garis
eksistensialisme Sartre.
Pada prinsipnya segala paham, pandangan atau aliran filsafat adalah hak dan
kebebasan manusia untuk memilikinya dan bersandar kepadanya. Setiap orang
boleh-boleh saja berbeda, menolak atau bahkan membencinya. Namun demikian
tidaklah dibenarkan bila melakukan pelarangan terhadap hak dan kebebasan untuk
berpandangan dan berfilsafat, karena hal itu sudah mencampur-baurkan urusan
kepercayaan dan prinsip-prinsip pribadi.

Dalam beberapa hal Pramoedya memang berbeda, namun-seperti pengakuannya-ia
sangat menghargai dan menghormati Sartre sebagai kawan senasib yang sama-sama
diliputi berbagai kepedihan dan kegetiran hidup. Para pemikir dan filosof besar
seperti Sartre, Camus dan lain-lain adalah cerminan dari kehidupan manusia zaman
ini, yang terpola oleh budaya global industrial dengan segala perangkat sistem
yang menjurus kepada penghisapan dan penindasan struktural terhadap hak-hak
mayoritas bangsa manusia.
				***

Pada suatu hari Pramoedya menerima kiriman kabar dari Prancis bahwa Jean Paul
Sartre telah mengirim sebuah mesin ketik untuk memudahkannya berkarya dan
menulis di Pulau Buru. Namun kabar tinggallah kabar, dan semua orang bisa
menduga bahwa mesin ketik itu sama sekali tak pernah sampai di tangannya.
Jangankan dari Prancis-dan sebuah mesin ketik pula-bahkan dengan mengirimkan
sebuah pinsil atau secarik kertas kosong pun tidaklah bakal sampai di tangannya.
Sedangkan bantuan dari dalam negeri, kabarnya Soemitro telah mengirim pula
sebuah mesin ketik, tetapi mesin tulis itu konon raib entah di mana. Tak pernah
ada penjelasan mengenai kehilangannya, juga tak pernah ada keterangan disimpan
oleh siapa.
Meski begitu Pramoedya yang sudah dikenal sebagai seniman yang pantang menyerah
itu, terus melangkah maju bersama cita-cita dan semangat juangnya. Ia tetap
menekuni pekerjaan dengan mesin ketik tua di hadapannya, halaman demi halaman,
sambil-secara diam-diam-membikin duplikatnya sekitar empat hingga lima rangkap
sekaligus.
Hasil duplikat dari kertas karbon itulah yang diselundupkan keluar Buru melalui
pengunjung-pengunjung luar negeri dan para rohaniwan. Sedangkan naskah dari
ketikan aslinya harus diserahkan kepada komandan militer yang bertugas, dan tak
pernah ada kabar beritanya hingga detik ini.
				***

Dalam konteks eksistensialisme Sartre, mengenai soal bantuan ke Pulau Buru yang
kemudian rusak, hilang atau bahkan dirampas sekalipun, tidaklah mengandung
konsekuensi apapun bagi si penanggungjawabnya. Hal itu seakan wajar-wajar saja
dan lumrah adanya. Bagi si perampas sekalipun tidaklah menerima konsekuensi
apa-apa selain bahwa ia akan terus menjalani hidupnya-atau malah bergembira
ria-bersama barang rampasannya. Tidak ada balasan atau ganjaran apapun, kecuali
hanya absurditas belaka. Dan absurditas itu adalah realitas hidup itu sendiri,
suatu kebenaran bahwa yang ada di hadapan kita adalah persoalan menang dan
kalah, penguasa dan yang dikuasai, penindas dan yang tertindas-demikian
pemikiran Sartre.
	Tetapi tidaklah demikian bagi seorang Pramoedya yang tak kenal patah-arang. Ia
malah bahu-membahu bersama kawan-kawannya untuk terus menuliskan karya ciptanya.
Diakuinya secara jujur bahwa ia tak dapat berbuat banyak bila tidak dibantu oleh
kawan-kawan yang dengan tulus-ikhlas telah menyumbang dan mengulurkan tangannya.
	Dalam hal ini ia pun mengucap rasa syukur dan terimakasih kepada siapapun yang
telah memberi dan membantu. Bahwa pemberian bantuan itu kemudian akan sampai
atau tidak, hal itu bukanlah sesuatu yang substantif mengenai niat baik itu
sendiri. Bagi Pramoedya kemauan untuk membantu itu sendiri adalah keluarbiasaan,
sedangkan bagi pihak yang dibantu adalah suatu "persoalan" yang perlu untuk
dijelaskan….
					***    	         	   	  
 	 	      
30. Interogasi yang absurd di Kejaksaan Agung

Tarik-menarik di tubuh kekuasaan yang ironisnya dimenangkan oleh kesewenangan
dan ketidakadilan itu akhirnya menimbang-nimbang bahwa bagaimanapun Joesoef Isak
dan Hasjim Rachman yang nakal-nakal dan keras-kepala itu harus dihadapkan ke
meja-hijau untuk dijebloskan lagi ke dalam penjara. Tetapi nyatanya tidak.
Mereka tidak sanggup menempuh jalan yang gegabah itu. Mereka masih melirik
kiri-kanan dan takut setengah-mati kepada dunia internasional yang nanti bakal
menindak mereka. Lagipula untuk menghadapkan mereka di persidangan, penguasa
akan kedodoran menjawab segala ketentuan pasal dari undang-undang yang akan
dipertaruhkan-dan karenanya ketakutan kepada masyarakat luas yang akan
menelanjangi ketololan mereka.

Namun akal dan tipu-muslihat masih juga mereka kerahkan. Mereka bersepakat
memutuskan untuk diadakan pemeriksaan-silang secara terpisah, khususnya kepada
Joesoef dan Hasjim selaku pihak penerbit, sedangkan terhadap Pramoedya (selaku
penulis) lebih baik tidak dikenakan pemeriksaan, karena khawatir akan reaksi
dunia luar yang bisa membuat mereka keteteran, dan lagi muka mereka mau ditaruh
di mana.
Maka pemeriksaan secara intensif diberlakukan di kantor Kejaksaan Agung selama
sebulan penuh. Bagi Joesoef pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan begitu
menjemukan dan memuakkan untuk ditanggapi. Dan kali ini, untuk ke sekian kalinya
ia menghadapi hal-hal ang menjengkelkan dari perlakuan penguasa terhadap
dirinya.
Pemeriksa itu adalah seorang petugas dari Kejaksaan Agung yang sangat minim
dalam wawasan budaya dan politiknya. Sodoran-sodoran pertanyaan dari orang
selevel ini-seperti pernah dinyatakan Joesoef-kadang bisa lebih menyakitkan
daripada pukulan rotan sekalipun. Namun demikian Joesoef mencoba untuk menahan
diri sambil mengikuti perkembangan watak dan otak si pemeriksa, sampai kemudian
setelah merasa lelah dan capek selama sebulan pemeriksaan tiba-tiba pemeriksa
itu menjadi cerah mukanya dan senang pembawaannya.
Serta-merta Joesoef mengerutkan keningnya, ada apa ini? Kok bisa begitu
jadinya…?
Pada pemeriksaan terakhir itu tahu-ahu si pemeriksa menjulurkan kepalanya ke
telinga Joesoef seraya berbisik:
"Pak Joesoef, Pramoedya itu memang hebat."
"Maksudnya?" Joesoef terheran-heran.
"Dia itu betul-betul hebat!" sambil mengacungkan jempolnya.
Joesoef menatap pemeriksa dengan seksama, dan ujarnya dengan nada jengkel:
"Lantas apa artinya pemanggilan dan pemeriksaan selama sebulan ini?"
Si pemeriksa melongo diam. Untuk mengendalikan suasana ia mencoba menenangkan:
"Pak Joesoef harus ngerti dong…." (Seraya mata dan tangannya menunjuk ke atas).
Seketika itu Joesoef dapat mengerti bahwa rupanya ia menunjuk lantai atas gedung
Kejaksaan Agung di mana para atasan yang menugasinya tengah berkantor.
Pembicaraan selanjutnya berlangsung dengan agak santai, sampai kemudian-tak
dinyana-nyana-tiba-tiba keluar dari mulut pemeriksa:
"Pak Joesoef, apakah buku Bumi Manusia itu masih ada?"
"Kan sudah dilarang oleh Jaksa Agung sendiri. Mungkin saja sudah ditarik dari
toko-toko buku," jawabnya tak acuh.
"Maksud saya apakah Pak Joesoef masih menyimpan di rumah?"
"Tentu saja ada beberapa buah."
Pemeriksa itu menggeser duduknya sedikit, kemudian katanya dengan nada memelas:
"Kalau begitu, tolong saya dikirmkan dua buah. Yang satu akan saya berikan buat
istri saya."
Sepulang dari Kejaksaan Agung Joesoef dipenuhi oleh berbagai persoalan yang
berkecamuk, sampai akhirnya betul-betul menyadari bahwa semuanya ini adalah
bagian dari sistem yang berjalan.. Ia paham betul bahwa pemeriksa itu-dalam
hatinya-menghargai kebesaran Pramoedya. Orang itu juga mengerti bahwa
karya-karya Pram memang bagus dan layak untuk dibaca. Bahkan istrinya sendiri
pun merasa perlu untuk membacanya. Namun demikian adalah penting untuk
dipertimbangkan bahwa orang semacam itu telah berada dalam sistem yang mau tak
mau harus menjalankan tugas yang sudah digariskan.
				***

Bersamaan dengan itu rencana-rencana bantuan untuk Hasta Mitra, terutama dari
seorang pejabat BNI (Bank Negara Indonesia), Toyota Foundation (untuk
penerjemahan ke dalam bahasa Jepang), juga seoreang staf Ford Foundation,
semuanya itu kemudian dibatalkan sama sekali, karena-boleh jadi-para direkturnya
merasa takut kepada Soeharto atau tak mau putus hubungan dengan sekretaris
negara.
Dengan begitu maka Hasta Mitra, yang semula bercita-cita menjadi penerbit besar
menjadi berat untuk tercapaikan. Rencana itu terus-menerus direcoki oleh
ulah-ulah penguasa dan para pejabat yang berkepentingan. Belum lagi beberapa
kali kerugian menjadi sulit untuk tertanggungkan, terutama toko-toko buku yang
tersebar di beberapa kota, banyak yang mengaku bahwa buku-buku terbitan Hasta
Mitra telah disita-habis dan ditarik dari peredaran.
Pada waktu itu koran-koran membeberkan bahwa-katanya-wewenang pembredelan itu
berada di tangan Jaksa Agung. Dari sini lagi-lagi bisa dilihat bagaimana sistem
itu telah bekerja, sehingga seorang Panglima Kopkamtib yang kabarnya tidak
sepakat dengan pembredelan itu pun tetap bisa terkalahakan.
				***

Kenakalan dan kenekatan Joesoef cs ini telah membuat banyak kalangan pada
kelimpungan dan kewalahan dibuatnya. Bukan cuma keluarga dan saudara terdekat,
bahkan juga kawan-kawan seangkatan tidak kalah diliputi oleh rasa was-was dan
takut yang tidak ketolongan.
Seorang kawan dekat pernah memberinya nasehat: "Sudahlah Joesoef, berhentilah
kau. Kenapa kau ini tidak kapok-kapok juga setelah sepuluh tahun di penjara, dan
sekarang kau malah cari gara-gara lagi…."
Ada lagi seorang kawan yang berkomentar: "Joesoef, mengapa kau ini muncul begitu
terbuka dan terang-terangan? Penerbitan buku itu bukanlah soal sepele, Joesoef.
Ini persoalan yang peka sekali!"
Bahkan ironisnya, beberapa orang PKI yang juga mantan pemimpin redaksi koran
berhaluan kiri, ikut-ikutan juga memberi wejangan: "Sudahlah Joesoef, mengapa
kau melibatkan diri dalam pekerjaan seperti ini? Ini pekerjaan yang sangat
berbahaya. Saya khawatir karena sekarang ini belum saatnya, dan begitu kau
dipukul lagi, bakal habislah kau…."
Joesoef tidak terlampau menanggapi omongan-omongan semacam itu. Juga tidak
merasa perlu untuk berkomentar lebih jauh. Ia hanya memberi penilaian sederhana
bahwa nasehat dan wejangan seperti itu-boleh jadi-keluar dari mulut-mulut mereka
yang kapok politik, dan karenanya tidak konsisten pada prinsip-prinsip yang
dipegangnya….
				***


31. Kisah tentang seorang penerjemah buku Pramoedya

Joesoef harus berhati-hati akan kemungkinan penerjemahan buku-buku Pramoedya
bisa jatuh di tangan orang-orang yang keliru. Untuk penerjemahan ke dalam bahasa
Inggris, Hasta Mitra harus telaten memilih orang yang bukan hanya fasih dalam
penguasaan bahasa Inggris dan Indonesia sekaligus, namun juga harus cakap dalam
wawasan literatur serta menguasai kerangka pemikiran Pramoedya, khususnya dalam
konteks sosial-politiknya.
Adalah kurang tepat seorang penerjemah yang berada di garis kanan-dalam wawasan
sosial-politiknya-bila ikut petantang-petenteng menerjemahkan karya-karya
Pramoedya, karena ia akan kedodoran dalam bobot literaturnya, juga akan
keteteran dalam memahami berbagai macam istilah yang hanya bisa diartikan dalam
konteks kekirian.
Belakangan semakin bermunculan orang-orang yang merasa berkepentingan
menerjemahkan buku-buku tersebut dari dalam dan luar negeri, malahan seorang
penerjemah Amerika (yang prinsip politiknya berada di garis kanan) ikut-ikutan
pula menerjemahkan salah satu karya Pram yang-apabila tidak bermaksud
memelencengkan penafsiran-patutlah kita hargai segala usaha dan jerih-payahnya
dalam ikut-serta menyumbang bagi khazanah perbukuan di Indonesia.
Dalam pada itu, untuk penerjemahan Bumi Manusia ke dalam bahasa Inggris Hasta
Mitra memilih untuk menunjuk Max Lane, seorang pegawai kedutaan Australia di
Jakarta, yang beristrikan seorang wanita Indonesia.

Joesoef sudah banyak mengenal Max Lane sebagai seorang Indonesianist Australia
yang cukup menguasai sejarah Indonesia, di samping juga menguasai kesusastraan
yang berkembang di Indonesia. Ia sangat mengagumi Pram, juga mengagumi
karya-karyanya, khususnya dalam konteks kebenaran serta kedalaman wawasan
sosial-politiknya.
Di awal penerjemahan tersebut, pembredelan atas karya-karya Pram belum
diberlakukan oleh pihak penguasa. Max Lane terus menekuni tugas mulia tersebut,
di sela-sela kesibukannya sebagai pegawai kedutaan Australia. Namun dalam
perjalanannya kemudian ia pun tersentak kaget ketika Orde Baru menyatakan
pelarangan atas buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Kontanlah ia
berada dalam posisi yang sangat dilematis, karena di satu sisi ia adalah seorang
pegawai kedutaan, sedang di sisi lain ia tengah menerjemahkan suatu karya sastra
yang dilarang oleh Pemerintah Orde Baru.
Dan bukankah Soeharto sedang memelihara hubungan baik dengan Australia, yang
disebabkan santernya berita-berita yang menyusul, terutama di radio-radio swasta
yang begitu blak-blakan menjelek-jelekkan dirinya. Juga pemerintah Australia
akan berhati-hati sekali menjaga komitmen kerjasama dengan Indonesia, yang
rupanya semakin membaca adanya gerundelan dan kemarahan Soeharto mengenai
berita-berita yang menyebar di media-media swasta tersebut.

Pada waktu yang bersamaan tahu-tahu ada seorang warganegara Ausralia yang
"bandel" menerjemahkan buku terlarang, terlebih-lebih dia seorang pegawai
kedutaan besar, dan lagi beristrikan orang Indonesia pula. Apa-apaan ini? (pikir
Soeharto dan kroni-kroninya). Begitu juga dari pihak Australia yang kemudian
menganggap Max Lane terlampau gegabah, yang dikhawatirkan akan merusak hubungan
baik antar kedua negara tersebut.
Lantas tindakan apa yang diambil kemudian?

Rupanya betul saja: Max Lane akhirnya dipecat sebagai pegawai kedutaan
Australia, dan kemudian diusir oleh Duta Besar-nya untuk kembali pulang ke
Australia.
Setelah itu ia tak pernah merasa kapok, malahan terus melanjutkan penerjemahan
Bumi Manusia di negerinya sendiri, yang kemudian diterbitkan oleh salah satu
penerbit terbesar di New York, Penguin Books.
Sejak peristiwa itu perjalanan hidup Max Lane-seperti diakuinya-telah berubah
sama sekali. Kini ia bertekad untuk menggeluti dunia politik. Dan pada tahun
2000-an ia telah memimpin suatu partai politik berhaluan kiri radikal di
Australia.
				***

32. Pemecatan seorang puteranya dari fakultas sosial-politik UI

Pada suatu hari (sekitar tahun 1981-an) senat fakultas sosial-politik
Universitas Indonesia mengadakan rapat di kantor senat yang dihadiri oleh
seluruh pengurus senat. Dalam rapat tersebut Alex Irwan berinisiatif
menghadirkan Pramoedya Ananta Toer di kampus UI, sampai kemudian disepakati dan
diputuskanlah bahwa segenap pengurus senat fakultas sospol akan menyelenggarakan
acara kampus dengan mengundang Pram selaku pembicara tunggal.

Sebagai salah seorang pengurus senat, Ferdi (salah satu putera Joesoef Isak)
ikut juga menghadiri rapat tersebut, dan serta-merta membaca adanya gelagat yang
kurang baik mengenai hasil keputusan rapat.
Betapa tidak (pikir Ferdi), suatu universitas negeri terbesar dan terkenal
berani-beraninya menyelenggarakan acara kampus dengan mengundang seorang tapol
yang baru pulang dari Pulau Buru. Ya, meskipun Pramoedya seorang sastrawan
terbesar dan termasyhur, dan karya-karyanya diakui oleh dunia internasional,
tapi bagaimanapun ia adalah seorang mantan tapol, seperti juga ayahnya sendiri.
Apakah tidak kepikiran oleh anak-anak muda seangkatannya itu mengenai hal-hal
yang bakal terjadi? Baru saja ayahnya terbebas dari interogasi berturut-turut
yang melelahkan di Kejaksaan Agung, dan hal itu disebabkan tiada lain karena
penerbitan buku-buku Pramoedya itu sendiri. Dan sekarang? Kawan-kawannya itu mau
mengundang sastrawan besar itu selaku pembicara utama? Waduh, waduh….
Sebagai anak tapol Ferdi betul-betul sadar akan risiko yang tidak kecil yang
bakal menimpa kawan-kawannya, juga menyadari dampaknya terhadap dirinya sendiri
selaku bagian dari kepengurusan senat. Namun demikian ia pun memilh unuk diam,
karena bagaimanapun ia harus berusaha bersikap demokratis kepada hasil keputusan
rapat tersebut.
Maka tibalah waktunya ketika suatu pagi ia bertanya kepada ayahnya mengenai
rencana kehadirannya di kampus UI:
"Hadir untuk apa?" tanya sang ayah singkat.
"Lho? Apakah Ayah belum menerima undangan?" Ferdi balik bertanya.
"Undangan dari mana?"
"Ya dari UI."
"Memangnya ada acara apa di UI?"
"Bukankah nanti siang Pak Pramoedya mau berceramah di sana?"
"Apa?!"
Serta-merta Joesoef tersentak kaget. Ia menatap Ferdi dengan seksama,
seakan-akan tidak mempercayai pendengarannya. Akhirnya Ferdi pun berusaha
mengendalikan suasana dengan menceritakan semua yang terjadi mengenai inisiatif
kawan-kawan yang berambisi menghadirkan Pramoedya selaku penceramah. Ferdi
mengakui bahwa dirinya tak dapat berbuat banyak karena semua itu adalah hak
kawan-kawan yang telah diputuskan secara demokratis.
Dan siang itu juga, penyelenggaraan acara berlangsung dengan sangat meriah.
Pramoedya berbicara dengan tegas dan lantang seperti biasa, menjawab dan
menanggapi setiap pertanyaan yang dikemukakan secara antusias oleh para
mahasiswa.

Ketika itu-boleh dibilang-acara dapat terselenggara dengan sukses dan gemilang.
Sambutan-sambutan segenap mahasiswa begitu semarak dan ramainya. Namun kemudian
apa yang terjadi…?
Keesokan harinya datanglah keputusan dari pihak rektorat bahwa empat mahasiswa
dikenakan pemecatan dari kampus UI, termasuk Ferdi adalah salah satunya. Surat
pemecatan segera disampaikan kepada pihak orang tua, dan konon keputusan itu
atas perintah langsung dari Menteri Pendidikan Daud Yusuf.
				***            
   
Bersambung kebag. 9/10

-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-m: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
Nasional-a:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
Nasional-e:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-e/
------------------Mailing List Nasional------------------