[Nasional-a] [Nasional] Draft BIOGRAFI JOESOEF ISAK Bag. 7/10

nasional-a@polarhome.com nasional-a@polarhome.com
Tue Oct 15 23:00:58 2002


-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH
-----------------------------------------------------------------------
 23. Soal penghapusan kode ET (ex-tapol)

Bagi warganegara Indonesia di atas umur enampuluh tahun, maka KTP (Kartu Tanda
Penduduk) dapat berlaku untuk seumur hidup. Namun hal ini tidak diberlakukan
bagi mantan tapol. KTP yang dimiliki Joesoef hanya berlaku untuk masa tiga tahun
saja.
Suatu ketika pihak LBH (Lembaga Bantuan Hukum)-berkat dorongan para mantan
tapol-setuju untuk turun ke lapangan guna menuntut penghapusan kode ET. Menurut
Joesoef, ia tidak terlampau menggebu-gebu dalam soal penuntutan ke kantor LBH
tersebut, karena hal itu cukup jelas bahwa dunia inrternasional-lah yang telah
turun tangan menekan Pemerintah Soeharto untuk memutuskan kebijakan tersebut.
Malahan-bagi Joesoef-ia merasa bangga punya KTP berkode ET yang bisa
dimanfaatkan sebagai bukti bagaimana rezim Orde Baru telah memperlakukan
warganegaranya.
Dalam suatu majalah nasional pernah pula ia pertunjukkan KTP miliknya yang
serta-merta dimuat sebagai bukti perlakuan pemerintah terhadap dirinya.
Pada suatu hari KTP yang disimpannya di rumah tiba-tiba raib entah di mana.
Kontan ia meminta kepada pihak kelurahan untuk dibikinkan KTP yang serupa dengan
bentuk semula. Namun karena berbagai pertimbangan pihak kelurahan tidak
mengabulkan permintaan tersebut. Barangkali mereka punya motif tersendiri yang
jauh berbeda dengan apa yang dimaksud oleh Joesoef.
*** 

24. Pertemuan dengan deputi menteri luar negeri AS

Amerika Serikat di bawah Presiden Jimmy Carter secara terbuka mengibarkan
bendera hak-hak asasi manusia ke seluruh penjuru dunia. Dengan demikian
panji-panji demokrasi pun berkumandang di mana-mana. Dan memang pada periode
inilah para tapol dapat dibebaskan secara bertahap, dari golongan yang dianggap
ringan hingga yang berat-berat.
Namun di balik administrasi Carter dalam pengibaran panji demokrasi dan HAM
tersebut, terkandung pula suatu maksud tersembunyi dalam "mengamankan"
status-quo Amerika sendiri, yakni dunia investasi dan penanaman modal bagi
kepentingan nasion mereka sendiri. Amerika jelas-jelas melihat potensi Indonesia
untuk dunia investasi tersebut, di samping juga bersikeras agar dapat
"menyehatkan" perusahaan-perusahaan mereka.
Bagi Joesoef mengenai pembebasan dirinya-pada periode ini-sungguh tak ada urusan
dengan solidaritas internasional, tapi karena teguran dari rakyat sipil Amerika
terhadap senat dan kongres mereka, bahwa sebagai negara yang menjunjung tinggi
demokrasi dan HAM tidak selayaknya bekerjasama (mengadakan hubungan perdagangan)
dengan suatu negara yang masih menginjak-injak rakyatnya, terutama
tahanan-tahanan politiknya.
Karena itu alangkah sangat buruk citra Amerika-di mata internasional-bila tidak
berupaya untuk membenahi keadaan para tapol yang berjibun-jibun jumlahnya, belum
lagi menengahi berita-berita yang santer di mana-mana bahwa para petugas penjara
di Indonesia telah seenaknya melakukan penindasan terhadap para tahanannaya.
Berkaitan dengan itu semua maka diundanglah Joesoef oleh deputi menteri luar
negeri Amerika Serikat (khusus urusan HAM), Patricia Daryn, yang sengaja datang
ke Indonesia untuk bertemu Presiden Soeharto dan Joesoef Isak (selaku utusan
tapol).
Saat itu adalah hari Sabtu, ketika para pegawai kedutaan besar Amerika sedang
libur. Joesoef diantar ke suatu kantor seraya menunggu kedatangan Patricia yang
lebih dulu mengadakan pembicaraan dengan Soeharto di Istana Negara.

Setibanya di kantor kedutaan ia langsung menemui Joesoef untuk mengadakan
pembicaraan empat mata, dengan hanya dihadiri oleh Edward, seorang duta besar
Amerika. Ketika itu Patricia mengawali pembicaraan dengan menyampaikan
keseriusan Amerika yang-katanya-bersimpati dan ingin membela para tapol di
Indonesia. Pada pernyataan selanjutnya ditegaskan pula tentang keseriusan
Amerika-seandainya Soeharto tidak juga membebaskan tapol-serta-merta akan
dijalankan sangsi-sangsi ekonomi di Indonesia.
"Soeharto sudah berkali-kali berjanji untuk menyelesaikan masalah tapol, tetapi
berkali-kali pula seenaknya dia melanggar janji," demikian Patricia dengan nada
jengkel.
Baru kali itu Joesoef mendengar pernyataan seperti itu keluar dari mulut seorang
utusan Pemerintah Amerika sendiri. Tentu saja kejengkelan pada dirinya lebih
terasa dan lebih serius daripada Patricia. Sambil menghela napasnya ia berusaha
untuk menenangkan diri, kemudian sambung Patricia:
"Usulan pembebasan itu, meski tidak secara langsung, namun telah kami sampaikan
melalui amnesti umum. Soalnya kami pun khawatir bila disampaikan secara langsung
kemudian dia menolak, maka dengan sendirinya hubungan kita menjadi tidak baik…."

Joesoef bisa mengerti apa yang dimaksud oleh Patricia, bahkan mudah dipahami
betapa besar ketergantungan Amerika terhadap Indonesia, meski mereka cukup lihai
dalam memainkan peranan seakan-akan kitalah yang lebih bergantung kepada
kepentingan mereka.
Seketika itu pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendetil sudah dipersiapkan,
terutama mengenai keadaan di penjara selama ini, bagaimana mengenai makanan,
kesehatan, hingga berapa luas sel yang dihuni dan lain-lain. Bahkan sewaktu
disampaikan kesaksian serupa di hadapan para staf kedutaan serta-merta mereka
terenyuh mendengarkan, bahkan di antara mereka menangis tak tahankan diri.
Ketika itu Joesoef tidak punya perkiraan-perkiraan mengenai konspirasi atau
permainan Amerika yang memperalat orang semacam Patricia berikut pegawai-pegawai
kedutaan yang cengeng-cengeng, akan tetapi berupaya melihat semuanya sebagai apa
adanya, dengan berusaha memisahkan antara kepentingan politik Amerika dengan
pribadi-pribadi warga Amerika yang memang tulus pembelaannya terhadap
kemanusiaan.
Tentu saja Joesoef sangat menghargai Patricia sebagai warganegara Amerika, juga
menghormatinya sebagai wanita yang begitu besar perhatiannya kepada nasib
orang-orang tertindas. Namun dengan membatasi diri kepada cara-pandang seperti
itu-menurutnya-masih juga kurang lengkap, karena di balik itu semua kita pun
harus dapat membaca kelihaian dan kecanggihan trik-trik Amerika untuk memuluskan
segala kepentingan ekonomi-politik mereka.
"Soalnya kami pun khawatir bila disampaikan secara langsung kemudian dia
menolak, maka dengan sendirinya hubungan kita menjadi tidak baik…."

Satu kalimat itu terbayang-bayang terus di benak Joesoef sepulang dari kedutaan.
Secara tidak langsung dapat diartikan bahwa-di satu sisi-perhatian mereka
terhadap HAM tentulah dapat dibenarkan, namun di sisi lain (tentu saja) karena
faktor penyelamatan perusahaan-perusahaan mereka berikut tetek-bengek penanaman
modal dan dunia investasi, mengingat bahwa Indonesia begitu luarbiasa potensinya
bagi keuntungan mereka.
Secara tidak langsung pula, semuanya itu bisa berarti bahwa segala pengibaran
panji-panji demokrasi bahkan berkumandangnya lagu-lagu hak asasi manusia, tiada
lain dari kepentingan Amerika sendiri, demi keuntungan nasional mereka sendiri.
Dan pada akhirnya betul saja: setelah pertemuan antara deputi menlu AS dengan
Joesoef tersebut, tak berapa lama ribuan tapol segera dibebaskan, kemudian
menyusul tapol-tapol di Pulau Buru segera dibebaskan pula secara bertahap.
*** 

25. Pandangannya tentang solidaritas internasional

Adalah omong kosong bicara tentang solidaritas internasional, bila hal itu cuma
dalam batasan dan konteks politik belaka. Para tapol di Indonesia-yang umumnya
dari PKI-mestinya menjadi tanggungjawab negeri-negeri komunis yang lebih
memperhatikan upaya solidaritas tersebut. Namun yang terjadi selama rentang
puluhan tahun ini justru adalah sebaliknya. Negeri-negeri komunis itu malah
angkat-tangan dan cari selamat sendiri-sendiri dalam mengamankan kepentingan
nasionalnya masing-masing.
Menurut Joesoef orang-orang kiri (terutama PKI) terlampau berlebihan pula dalam
mengidealisasi solidaritas internasional tersebut. Padahal ketika menghadapi
ujian-ujian berat mereka tidaklah kebal dari godaan-godaan akan keuntungan, dan
karenanya dengan cepat menghindar untuk berdiri di posisi yang berbeda, bahkan
malah sebaliknya.

Dari pengamatan Joesoef itu bisa dilihat berbagai bukti dan pembuktian, terutama
tentang apa yang dialaminya sendiri bahwa ketika RRT mengadakan "normalisasi"
hubungan dengan Indonesia, ia tak dapat mengambil andil apapun sewaktu Soeharto
membubarkan PWAA (yang sejak semula menganggapnya sebagai organisasi komunis).
Malahan pada perkembangan selanjutnya RRT seakan-akan takut untuk berhubungan
dengan para mantan PKI karena dikhawatirkan merusak kontak delegasi perdagangan
serta kepentingan penanaman modal mereka.
"Jadi apa yang digembar-gemborkan sebagai solidaritas proletariat, seakan-akan
RRT telah banyak membantu orang-orang PKI, semuanya itu cuma bualan omongkosong
dari kampanye politiknya Soeharto saja."
Dan setelah hubungan dagang mulai berjalan lancar, ratusan refuji (mantan PKI)
yang tinggal di RRT kemudian dianggap "duri" yang seakan-akan mengganggu
stabilitas nasional mereka. Suatu ketika mereka disediakan tiket dan uang saku
agar meninggalkan RRT dengan segera, dan-menurut kesaksian Joesoef-bahkan
Djawoto sendiri selaku duta besar RI ikut pula diperlakukan yang sama (padahal
Djawoto sama sekali bukan orang PKI).

Hal yang tak jauh berbeda kemudian diberlakukan pula kepada refuji-refuji di
negeri lain, seperti Moscow, Bulgaria, Hongaria, Chekoslowakia, Polandia,
Rumania, Albania bahkan hingga ke Afrika dan Amerika Latin.
Berkaitan dengan itu-menurut Joesoef-solidaritas internasional dalam konteks
kemanusiaan tentulah memang ada. Namun justru datangnya dari negeri-negeri barat
yang dulunya merupakan lawan komunis, seperti Amnesti Internasional, LSM-LSM,
badan-badan swasta hingga perorangan.
"Sayang sekali bahwa solidaritas itu datangnya dari negeri-negeri yang merupakan
lawan PKI. Saya kira orang-orang PKI sendiri merasakan bahwa hal ini adalah
sesuatu yang sangat ironis."
*** 

Apa yang dipaparkan Joesoef di atas sebetulnya paralel dengan pernyataan dalam
surat-surat kegembalaan Gereja Vatikan, khususnya dokumen Progressio Popularum
(Kemajuan Bangsa-bangsa) yang pada pertengahan tahun 1950-an telah disambut
antusias oleh Bung Karno dan bahkan seluruh peserta Konferensi Asia-Afrika di
Bandung.

Tarik-menariknya kubu komunis-kapitalis-yang secara faktual mengorbankan
negara-negara dunia ketiga-bukanlah persoalan mendasar untuk mengatasi masalah
kemiskinan dan keterbelakangan itu sendiri. Dalam soal ini Y.B.
Mangunwijaya-seorang rohaniwan (kawan dekat Joesoef)-pernah menguraikan dalam
salah satu tulisannya yang berjudul "Tentang Dogma Pertumbuhan". Bahwa dalam
pertarungan itu bolehlah komunis dikatakan kalah, namun bila persoalan mendasar
dari masalah bumi-manusia ini dipandang secara serius dan jujur, maka harus
diakui bahwa negara-negara kapitalis yang diorganisasi dengan orientasi pasar
bebas pun tidak akan sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan dari sistem pasar
tersebut.
Pada hakekatnya yang mentukan kadua sistem itu-baik sistem pasar maupun
komunisme-tiada lain adalah dunia budaya industrial, yakni usaha pertambahan
yang terus menerus dari penyediaan barang-barang, yang dengan sendirinya juga
pertambahan pelayanan material. Jadi perbedaan mereka bukanlah pada sasaran
dalam mengatasi persoalan bangsa dan bumi manusia, akan tetapi hanya pada cara
dan jalan yang ditempuh. Padahal persoalan yang sangat mendasar (dan mendesak)
bagi kepentingan hari ini dan mendatang justru terletak pada sasaran tersebut.

Kemudian diperingatkan oleh Y.B. Mangunwijaya bahwa segala bentuk ancaman yang
melekat pada sistem pasar negara-negara maju (maupun komunis yang industrial
maju juga) dengan sendirinya berakibat penghisapan struktural terhadap mayoritas
bangsa manusia, yang tentunya memerlukan perubahan radikal dalam cara dan
kerangka berpikir Barat itu sendiri.

Jika hal itu tidak dilakukan-atau pura-pura tidak disadari-meski menamakan diri
demokrasi dan pembela HAM, maka dunia akan jatuh ke dalam segi regierbarkei
(suatu istilah Jerman) yang berarti "dapat diperintah dan bisa diatur", yang
menjurus kepada anarki besar-besaran, dan dengan sendirinya membawa hati
mendidih penuh dendam: kekerasan, perang dan terorisme, seperti yang sudah
ditunjukkan oleh konflik Arab-Israel (dan menyusul tragedi WTC-Pentagon) dan
seterusnya.

Pada uraian selanjutnya ditandaskan bahwa segala-macam krisis yang melanda dunia
tersebut bukanlah sesuatu yang secara obyektif diminta oleh kodrat eksistensi
manusia. Oleh sebab itu maka sistem ekonomi pasar yang faktual dianut oleh dunia
Barat-yang kemudian diterapkan secara luas di dunia Timur (tanpa kritik)-juga
bukanlah hasil hukum kodrat manusia. Ia hanyalah hasil dari
konstruksi-konstruksi buatan pikiran, bayangan-bayangan instrumen, tata
masyarakat yang datang dari ideologi tertentu, dikembangkan secara historis oleh
manusia Barat (tertentu) untuk menangani masalah-masalah konkret tertentu, dalam
alam situasi dan kondisi (tertentu pula).

Jadi bukanlah dogma universal yang berhak mengklaim nilai-nilai dan penerapan
umum, bahwa tanpa itu semua seakan-akan kesejahteraan nyata mustahil bisa
tercapai.
Maka jelaslah bahwa sistem ekonomi pasar bukan saja tidak sanggup mengatasi
permasalahan ekologi (yang gawat ini!) namun juga bisa menjadi jahat apabila
merasa perlu mengorbankan bangsa-bangsa dan lapisan-lapisan manusia yang paling
lemah. Di sini lagi-lagi kita dibangunkan kepada figur Soekarno (Demokrasi
Terpimpin) di mana selaku bapak-bangsa ia berusaha bersikap adil dan baik kepada
semua rakayatnya, terutama kepada yang paling dina-lemah-miskin. Semua agitasi
dan tindakan Bung Karno tidak lain merupakan sejarah antithesa penghisapan,
penindasan serta kebenaluan imperialisme Barat yang sudah berjalan ratusan tahun
lamanya. Dalam kaitan ini seorang tapol kita, Ibrahim Isa pernah menandaskan
(dalam tulisannya yang berjudul "Apa Arti VOC bagi Bangsa Kita?") bahwa
praktek-praktek dominasi dan eksploitasi ekonomi dan finansial melalui
lembaga-lembaga semacam IMF, WTO, World Bank tidak bisa lain merupakan
mata-rantai pembuktian dari nafsu-nafsu mengejar keuntungan dan kekayaan dari
negara-negara kaya (Selatan), yang tidak pernah mau mengendur serta tidak ada
tanda-tanda akan mereda. 
Dan bila dikaitkan dengan soal solidaritas internasional, dengan sendirinya
sudah masuk kepada wilayah moral atau tanggungjawab moral, yang merupakan
problem berat bagi negara-negara industri maju. Karena soal tanggungjawab moral
itu tidak terlepas dari soal pemihakan, yakni kepada siapa lantas pemimpin
negara akan berpihak dan membela? Apakah mereka tetap memihak yang kuat dan
kuasa ataukah berkarya selaku pembela dan pelindung bagi si dina-lemah-miskin.

Oleh karena itu-Joesoef menyimpulkan-harus diciptakan perubahan radikal yang
bermula dari sanubari manusia sendiri. Dari kedalaman diri sendiri, dalam pola
dan kerangka berpikir serta cita-rasa. Dengan demikian tidak hanya menyangkut
pengetahuan dan intelektual, tetapi yang utama adalah sikap dan perbuatan
manusia itu sendiri….
*** 

26. Suatu kisah tentang keluarga Umar Said

Penyelenggaraan kongres kedua International Organization of Journalist (IOJ)
dilangsungkan di Kota Santiago, Chili, pada bulan September 1965. Mestinya
Joesoef-sebagai salah satu presidium-dapat menghadiri acara tersebut, namun
karena suatu urusan di dalam negeri, kemudian ia mengutus tiga orang perwakilan
dari Indonesia, yakni Umar Said, Alex dan Fransisca Fanggidaej.
Beberapa hari setelah keberangkatan mereka tiba-tiba meletuslah peristiwa G30S
tersebut. Serta-merta mereka diberitahu oleh kawan-kawan mengenai kekisruhan
yang terjadi di Jakarta, dan karena itu ketiganya mengurungkan kepulangan untuk
kembali ke Indonesia, bahkan selama pemerintahan Soeharto berlangsung.

Joesoef mengakui bahwa dirinya sangat menyesal mengapa tidak sempat menghadiri
kongres IOJ tersebut, namun demikian siapa pula bisa menyangka peristiwa tragis
itu bisa meletus dalam waktu bersamaan dengan "pesta" penyelenggaraan kongres
tersebut.
Selepas dari Salemba Joesoef mencoba untuk mengkonfirmasi keberadaan kawan-kawan
yang menetap di luar negeri. Ia mendapat kabar bahwa Umar Said telah berpindah
ke Prancis dan bekerja di Kota Paris, kemudian menyusul informasi mengenai
Fransisca Fanggidaej yang sudah bekerja di Amsterdam, Belanda. Sementara
mengenai Alex belum dapat dikonfirmasi kabar keberadaannya.

Suatu hari Joesoef mencoba untuk bertandang ke rumah keluarga Umar Said. Ia akan
mengabarkan bahwa dirinya telah menerima kontak dari Paris mengenai keberadaan
Umar Said di sana. Semula ia berangkat dengan suatu keyakinan bahwa istri dan
anak-anaknya akan menyambut secara antusias dan bergembira ria, namun apa yang
dihadapinya justru adalah sesuatu yang sama sekali di luar dugaannya.
Keluarga itu tinggal di rumah kecil dengan model bangunan yang sangat sederhana.
Istri Umar Said bekerja sebagai penjahit-pakaian untuk menghidupi dan membiayai
pendidikan kedua anaknya. Dalam penilaian Joesoef ia adalah seorang yang sangat
pendiam dan tenang pembawaannya, layaknya seorang ibu yang tabah dalam
menghadapi segala beban penderitaan yang dialaminya.

Sewaktu Joesoef bercerita tentang keberadaan Ayik (nama panggilan Umar Said)
sang istri tetap berdiam diri dengan pandangan menerawang. Anak pertamanya
(Iwan) sedang menonton TV sambil sesekali menatap ibunya yang dibalas dengan
tatapan dingin. Seketika itu Joesoef semakin bertanya-tanya mengenai sikap sang
istri disertai kekhawatiran akan adanya oknum-oknum yang memperlakukan keluarga
ini secara sewenang-wenang.

Ada apa dengan keluarga ini (pikir Joesoef ).
Pantaskah ia menduga-duga kemungkinan adanya pihak-pihak yang bertindak senonoh
kepada keluarga Umar Said? Kepada anak-anaknya? Kepada istrinya, atau kepada hak
miliknya? Cukupkah alasan baginya untuk merasa khawatir akan adanya perlakuan
sewenang-wenang yang ditimpakan kepada mereka?
Mengenai pihak militer yang menyita rumah dan seisinya, sawah dan ladang, bahkan
"memelihara" istri seorang tapol? Adakah yang aneh dengan dugaan dan
kekhawatiran Joesoef itu…?
Lantas apa yang terjadi dengan keluarga ini?

Orang-orang yang sentimen boleh-boleh saja menilai sikap diam dan dingin itu
sebagai suatu gejala kejiwaan yang-dalam psikologi modern-disebut neurosis,
paraniod atau bahkan schizophrenia. Tetapi apakah cukup beralasan untuk menilai
seperti itu mengenai apa yang dialaminya. Bukankah pendekatan yang baik
(silaturahmi) untuk terus mencari tahu adalah cara yang lebih masuk akal dan
manusiawi daripada-segampang itu-menuduh-nuduh sebagai penderita kejiwaan.
Keesokannya sang istri tiba-tiba menemui Joesoef dengan pandangan berkaca-kaca,
dan dengan suara pelan ia berkata:
"Sejak mereka masih anak-anak, saya menceritakan kepada kedua anak saya bahwa
bapak mereka sudah meninggal…."
Joesoef menghempaskan punggungnya di atas kursi. Ia begitu terenyuh
mendengarnya. Perasaan terharu itu bercampur-baur dengan berbagai macam emosi
yang kemudian memuncak kepada kekesalan dan kemuakan terhadap sistem yang
berjalan, terutama penguasa dan para politisi yang seenaknya mempermainkan
sistem tersebut.
Selama beberapa waktu ia berdiam diri sambil menghela napasnya dalam-dalam.
Seorang anak tertua, Iwan, melangkah pelan-pelan ke arah ibunya yang didampingi
oleh Joesoef di sebelahnya. Dengan dahi mengernyit tiba-tiba keluar dari
mulutnya suatu pertanyaan:
"Pak, sejak kemarin saya mendengar pembicaraan Bapak dengan ibu saya, dan
berkali-kali menyebut-nyebut nama 'Ayik'…"
"Lantas kenapa, Nak?"
"Jadi siapa itu Ayik, Bu?" ia menoleh kepada ibunya.
Mereka terdiam lagi dengan pandangan menerawang. Saat itu Joesoef tersadar bahwa
Iwan itu-rupanya-terus menguping sejak pembicaraan kemarin (sambil nonton TV).
Tak berapa lama si ibu mengangkat kepala, dan keluarlah suara dari mulutnya:
"Iwan, sekarang kau sudah besar, Nak. Ibu akan memberitahu kamu bahwa yang
disebut 'Ayik' itu adalah ayahmu, bapakmu sendiri… dan sekarang tinggal di Paris
sejak 1980-an…."
Serta-merta Iwan tersentak kaget. Tatapannya menusuk tajam, meski ia dapat
mengendalikan diri dengan baik. Selama beberapa waktu ia tercenung dengan kepala
menunduk. Si Ibu membaca adanya sesuatu yang baru pada wajah Iwan, sesuatu yang
lain berbeda, setelah berpuluh-puluh tahun teka-teki itu terus menyelimuti hati
dan pikirannya. Dan kini teka-teki itu terjawab sudah….

Setelah Iwan undur-diri menuju kamarnya, kepada Joesoef si ibu menceritakan
bahwa kedua anaknya cukup berprestasi di dunia pendidikan. Iwan dan adiknya tak
pernah jatuh dari peringkat teratas di kelasnya, sejak Sekolah Dasar hingga
sekolah lanjutan-atas, meski biaya pendidikan dengan susah payah harus
ditanggung sendiri dari usaha menjahit. Keduanya-boleh dibilang-sangat berbakat
dalam beberapa bidang mata-pelajaran, meski tanpa pendamping seorang ayah di
sisi mereka.
Sejak itu, beberapa hari kemudian segeralah dipersiapkan tentang rencana
pertemuan mereka dengan ayahnya. Umar Said serta-merta berangkat ke Indonesia
dan… seketika itu berjumpalah bersama istri dan kedua anaknya. Mereka berpelukan
dengan penuh rasa haru dan kerinduan yang mendalam.
Keluarga itu kemudian bersatu kembali setalah puluhan tahun dipisahkan oleh
rezim fasisme Orde Baru dengan segala perangkat sistem yang dipermainkan, hingga
seorang manusia Indonesia tidaklah sempat menjalani tugas dan haknya sebagai
manusia secara layak dan sewajarnya….
***
 
27. Kesaksian dari seorang kawan jurnalis

Suatu hari seorang kawan-lama mengajak Joesoef untuk mendirikan suratkabar baru,
yang serta-merta ditolaknya dengan suatu jawaban:
"Apa maksudnya 'mendirikan suratkabar baru'? Kau sendiri tahu bahwa saya ini
seorang bekas tapol. Mana mungkin orang seperti saya bisa mendirikan suratkabar
baru dalam situasi semacam ini…"
"Maksud Bung?"
"Ya dalam keadaan Soeharto sedang sekuasa-kuasanya begini."
Orang itu diam termenung. Sejenak pandangannya menarawang, namun katanya
kemudian:
"Joesoef, sebetulnya kami sudah tahu bahwa Bung itu bukan PKI. Diah juga tahu
bahwa Bung itu bukan seorang komunis. Pemberhentian Bung dari Pemred Merdeka
sebetulnya sudah diputuskan sejak dari Makassar…"
"Makassar apa?" pancing Joesoef.
"Ya sewaktu kongres PWI di Makassar."
Serta-merta Joesoef menatap kawannya dengan seksama. Ketika itu ia mencoba
mengingat-ingat tentang "peristiwa Makassar" , terutama sewaktu ia memimpin
PWI-Jakarta dan berusaha keras (bersama kawan-kawan) untuk mengendalikan
jalannya kongres. Saat itu ia berupaya menekan dominasi orang-orang PSI yang
dikhawatirkan tidak sanggup menciptakan terobosan pembaharuan di dunia
jurnalistik. Ia mengingat-ingat kembali tentang kehadiran orang-orang militer
yang sedang bisik-bisik di suatu sudut ruangan, sementara orang-orang PKI sedang
menggalang kekuatan dengan cara-caranya sendiri pula.
Sedangkan Joesoef dan kawan-kawan berusaha untuk menggolkan Djawoto dengan tidak
mempedulikan apakah ia seorang PNI, PKI ataupun Masyumi, karena yang terpenting
adalah kejelasan sikap Djawoto dalam mendukung kebijakan-kebijakan Soekarno.

Kemudian ia pun teringat ketika suatu kali BM Diah bercerita mengenai
siapa-siapa-dari kalangan militer-yang ikut berperan di Makassar tersebut,
antaranya Kolonel Yusuf yang dikenal sebagai eksponen perwira-muda yang sangat
anti-komunis. Orang itulah yang menjurubicarai Angkatan Darat untuk melawan PKI
sejak tahun 1963, yang berarti bahwa sudah jauh-jauh hari kelompok AD sudah
menggelar kampanye yang teratur dan terorganisir untuk melawan PKI.

Sejak saat itu rupanya sudah ada komitmen dari kelompok AD untuk berupaya
mengeluarkan Joesoef dari Merdeka, karena mereka takut bahwa Merdeka telah
dibawa kepada garis kiri.
Seketika itu BM Diah membaca adanya gelagat buruk dari ulah orang-orang militer
itu, yang kemudian segeralah menggeser posisi Joesoef dan menempatkannya selaku
Ketua Dewan Perusahaan.
Karena berbagai peristiwa politik yang semrawut dan saling tarik-menarik Joesoef
pun akhirnya dianggap "duri dalam daging" karena-seperti diakuinya-ia memang
secara sadar telah membawa Merdeka ke garis kiri (dalam arti garis Nasakom).
Sesudah itu, ketika peristiwa politik semakin meruncing ia pun memutuskan untuk
angkat-kaki dari Merdeka yang kemudian digantikan oleh seorang kawannya, Hiswara
Dharmaputera.
*** 

Baru beberapa tahun selepas dari Salemba Joesoef mendengar kesaksian dari
Hiswara yang suatu kali mengadakan pertemuan dengannya. Saat itu, dengan tatapan
berkaca-kaca ia bertanya:
"Joesoef, apakah kau tidak sadar tentang siapa kau?"
"Ada apa dengan saya? Saya kira saya tidak pernah punya konspirasi apapun untuk
niat-niat yang tidak baik."
Keduanya saling diam. Hiswara dapat membaca apa yang dimaksudkan oleh Joesoef,
kemudian sambungnya:
"Sekarang saya ingin menyampaikan bahwa kau itu orang besar. Kau itu
diperhitungkan orang, tapi selama ini kau tidak sadar bahwa kau itu orang besar
dan dibicarakan orang di mana-mana…"
"Maksudnya?"
Hiswara menghela napas dalam-dalam, kemudian lanjutnya dengan tegas:
"Joesoef, apakah kau tidak tahu bahwa kau itu dipersoalkan banyak orang dan
diputuskan dari atas…"
"Diputuskan apa?" pancing Joesoef lagi.
"Apakah kau tidak mengerti bahwa seluruh kampanye anti komunis itu dimulai
dengan syarat bahwa kau harus keluar dari Merdeka… dan semuanya itu sudah
diputuskan dari atas!"
Serta-merta Joesoef menghempaskan badannya di atas kursi. Ia menarik napas
panjang dengan pandangan menerawang jauh….
				***
					
Bersambung kebag. 8/10

-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-m: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
Nasional-a:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
Nasional-e:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-e/
------------------Mailing List Nasional------------------