[Nasional-a] [Nasional] Draft BIOGRAFI JOESOEF ISAK Bag. 6/10

nasional-a@polarhome.com nasional-a@polarhome.com
Thu Oct 10 22:24:06 2002


-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH
-----------------------------------------------------------------------
  
21. Soal religi dan religiositas

Suatu hari seorang tamu yang--oleh Joesoef-dikenal kealiman dan kesolehannya
bertandang ke rumahnya, dan dalam suatu percakapan (bincang-bincang imajinatif)
muncullah suatu pertanyaan:
"…kalau begitu, apakah Pak Joesoef ini melakukan sembahyang atau tidak?"
Joesoef menghela napasnya, pandangannya menerawang, kemudian jawabnya:
"Apakah ada artinya bila saya menjawab 'ya' atau 'tidak'?"
"Buat saya, mungkin ada artinya."
Joesoef diam sejenak. Matanya melirik kepada kopiah yang disandang sang tamu. Ia
dapat memahami bahwa kopiah sangat identik dengan pakaian bersembahyang,
kemudian lanjutnya:
"Kalau saya katakan bahwa saya sembahyang nanti saya dibilang 'riya', tapi kalau
saya katakan tidak sembahyang nanti malah dibilang 'kafir', jadi apa yang harus
saya katakan?"
"Maksud saya, apakah Pak Joesoef bersembahyang seperti yang dilakukan
orang-orang di mesjid atau di gereja?"
"Apakah ada jaminan kalau saya tidak dikata-katain 'kafir', 'murtad' dan segala
macam?"
"Kenapa Pak Joesoef bilang begitu…"
"Karena memang begitulah yang nyata-nyata dipraktekkan oleh masyarakat kita
selama ini."
Si tamu diam membisu. Ia nampak berhati-hati untuk melanjutkan pertanyaannya.
Untuk mengendalikan suasana Joesoef berkata pelan:
"Saya memang tidak bersembahyang seperti yang Anda lakukan setiap hari."
"Maksud Pak Joesoef, karena kita berbeda agama?"
"Sama sekali bukan. Saya hanya tidak terpaku mesti sembahyang di mesjid atau
digereja."
"Tapi apakah Pak Joesoef melakukan praktek seperti yang dilakukan orang-orang?"
"Tidak juga."
"Kalau soal puasa, apakah Pak Joesoef melakukannya?"
"Wah, kalau bicara soal puasa, Anda melakukan puasa tigapuluh hari setiap
tahunnya, tapi kalau saya telah melakukan puasa selama sepuluh tahun diSalemba."
Dan percakapan pun terhenti sampai di situ. Joesoef kembali kepada kesibukannya
untuk menghimpun karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang dalam tempo dekat harus
segera diterbitkan….
***

Pada hari yang lain serombongan pemuda yang-oleh Joesoef-sudah dikenal
progressif dan revolusioner bertanya-tanya mengenai hal-hal yang substansinya
tidak jauh berbeda. Seseorang mengangkat kepalanya sambil berkata:
"Sebagai orang yang pernah mengabdi di dunia jurnalistik sejak zaman penjajahan
hingga kemerdekaan, dengan sendirinya Pak Joesoef adalah seorang pejuang dan
patriot…"
"Yang ingin ditanyakan?" potong Joesoef.
"Yang ingin saya pertanyakan apakah ada relevansinya antara perjuangan dengan
religiositas dalam kehidupan Bapak?"
"Tentu saja ada. Karena perjuangan untuk membela tanah air dan bangsa adalah
bagian dari religiositas juga."
Para pemuda diam termenung. Pandangan mereka menerawang. Kemudian salah seorang
menatap ke depan, angkat bicara:
"Apakah ada artinya bagi seorang Joesoef Isak sesuatu yang disebut 'doa' atau
'ibadah' dan segala macam?"
Joesoef diam sejenak, kemudian jawabnya pelan: 
"Apapun yang kita perjuangkan untuk membela kebenaran adalah bagian dari ibadah
itu ndalah bagian dari ibadah itu sen antara ibadah dengan hidup seorang
pejuang…"
"Tentu saja ada. Karena hidup itu sendiri adalah perjuangan, dan perjuangan
untuk membela yang benar adalah ibadah dan religiositas juga."

Mereka saling diam. Seseorang mengangkat kepalanya ingin mempertanyakan sesuatu,
namun seketika itu ia batalkan pertanyaannya dan cuma manggut-manggut saja.
Kemudian lanjut Joesoef:
"Semua itu hanya soal semantik saja: agama, religiositas, keimanan, ibadah dan
lain sebagainya. Pada prinsipnya apa yang kita ucapkan lewat mulut, apa yang
kita tuliskan lewat tangan, bahkan apapun yang kita gerakkan dengan tubuh kita,
selagi itu menyangkut pembelaan pada yang benar dan yang baik, semuanya itu
tiada lain daripada ibadah juga."
Suasana hening. Para pemuda berpikir-pikir dalam waktu yang cukup lama. Setelah
mengumpulkan keberaniannya, seseorang angkat suara:
"Kalau begitu, berarti Pak Joesoef melakukan sembahyang tiap hari?"
"Sembahyang dalam arti apa?"
"Dalam arti ibadah…"
"Ya, saya menulis tiap hari."
Seorang pemuda nampak terbingung-bingung, namun sebagian lain telah dapat
mencerna jawaban Joesoef. Pembicaraan hanya sampai di situ, karena para pemuda
itu harus segera turun lapangan guna melakukan aksi demonstrasi untuk menentang
fasisme Orde Baru.
				***

Menurut Joesoef pembicaraan mengenai religiositas ini memang tidak ada
habis-habisnya sejak di penjara Salemba. Seperti diakuinya sendiri bahwa ia
sering mengamati persoalan-persoalan yang bersifat mistis, namun pengalaman itu
selalu dijumpainya kepada kawan-kawan tapol yang justru adalah anggota PKI.
Berkali-kali ia dipertunjukkan oleh kebenaran pengalaman mistis itu, bahkan
sesekali terkagum-kagum kepada kehebatan mereka.

Kadang ia bertanya-tanya mengapa mesti orang PKI yang memiliki keunggulan di
bidang ini. Secara intelektual ia cukup menggeluti persoalan teologi maupun
religiositas itu sendiri, namun dalam pengamatan inderawi, pengalaman mistis itu
tak pernah menyentuh dalam perjalanan hidupnya.
"Mungkin karena saya tergolong pemalas dan tidak tekun menjalani ritual
sehari-hari, fenomena mistis itu bukanlah menjadi hak saya untuk dapat
memilikinya."

Adapun mengenai ritual dalam arti berdoa kepada Tuhan, hal itu dinilainya
sebagai keniscayaan, seakan-akan sudah build-in, sesuatu yang bisa keluar dengan
sendirinya. Pengalaman macam itu dialaminya ketika rasa was-was atau rasa takut
akan kematian semakin meningkat pada dirinya.
Seperti diakuinya selama di penjara berkali-kali ia mengalami jatuh sakit, dan
berkali-kali pula mengalami kesulitan memperoleh obat-obatan. Bahkan persoalan
kelaparan sudah tidak asing lagi bagi hidupnya, dan bagaimana pula ketika
makanan untuk mengobati rasa lapar itu sendiri menjadi sulit untuk ditemukan.
Seketika itu maka sesuatu yang disebut "religiositas" secara otomatis dapat
bekerja, karena setiap manusia membutuhkan pegangan untuk terus dapat
mempertahankan hidupnya.
Suatu hari ketika pemanggilan dirinya untuk berhadap-hadapan dengan "top-
interrogator" serta-merta rasa takut itu jadi meningkat, kemudian sampailah pada
perasaan tersudut di mana Sesuatu Yang Maha Pengasih dan Penolong dengan
sendirinya menjadi sandaran untuk memohon ketenangan dan keselamatan hidupnya.

Joesoef memanglah bukan seorang religius, meski bukan pula seorang atheis. Namun
siapa pula bisa memastikan tingkat religiositas seseorang, sampai ia berani
mengklaim dirinya paling beriman daripada segala-galanya. Kecuali karena orang
itu terjangkiti penyakit "narcissus-complex" atau bahkan penyelewengan dan
kesewenangan seperti yang disinyalir dalam Quran (surat Al-Kahfi: 103-104):
"Ketahuilah mengenai orang-orang yang paling sia-sia perbuatannya. Yaitu mereka
yang tersesat dalam kehidupan dunia, namun menyangka telah berjalan secara
benar…."
				***

V. Pembebasan dari Salemba

Pada hakekatnya istilah "bebas" yang dimaksud oleh Orde Baru bukanlah bebas
seperti yang menjadi cita-cita seluruh tapol. Kebebasan itu cumalah kamuflase
belaka, yakni untuk menunjukkan pada dunia internasional seakan-akan pemerintah
Soeharto sudah akomodatif pada perkembangan demokrasi dan HAM yang
digembar-gemborkan oleh dunia internasional-khususnya Amerika Serikat.
Joesoef merasa bahwa segala perlakuan terhadap dirinya meski sudah bebas-dalam
arti tidak dipenjara-tetaplah masih dalam "pemenjaraan" dengan pengertian lain.
Kebebasan dalam arti mereka tiada lain cuma permainan kekuasaan belaka,
lip-service, karena segala pembatasan dan pemasungan kebebasan dirinya (selaku
mantan tapol) tetap diberlakukan dalam banyak hal.

Dalam aturan yang tertulis, segala ikatan yang membelenggu itu tentu saja telah
ditiadakan, namun dalam prakteknya tetap memainkan peranan tersebut dari balik
layar. Secara pribadi Joesoef tetap harus mengatur trik-trik tersendiri bila
ingin bepergian, misalnya dalam pembuatan paspor bila hendak ke luar negeri.
Dalam soal ini ia mencoba melawan segala pembatasan yang berlaku, dan karenanya
hanya Joesoef-lah-boleh dibilang-satu-satunya tapol pertama yang berani
bepergian ke luar negeri justru ketika isu pencekalan sedang marak-maraknya.

Adapun mengenai kebebasan berusaha atau mendirikan badan usaha, meski masih
dimungkinkan namun tidaklah menyangkut pada dunia tulis-menulis. Sebagai mantan
jurnalis yang menapaki karirnya hingga pemimpin redaksi Joesoef menerima surat
pernyataan tentang pelarangan dirinya untuk menulis atau mendirikan suatu usaha
di bidang jurnalistik. Bahkan apabila mendirikan badan usaha yang mempekerjakan
para tapol, dengan sendirinya akan berhadap-hadapan dengan ulah-ulah militerisme
yang bermain secara terselubung.
Hal ini bukan saja dialami oleh Joesoef sendiri, namun juga dialami pula oleh
seorang kawan dekatnya, Pramoedya, yang suatu ketika mencoba untuk mendirikan
suatu PT Pemborong Bangunan yang bisa mempekerjakan sekitar 60 orang dari
kalangan tapol.

Dalam suatu pernyataan tertulis yang diberikan kepada saya (penulis) Pramoedya
antara lain mengatakan bahwa sepulang dari Pulau Buru beberapa tapol bertandang
ke rumahnya untuk minta dibantu memecahkan kesulitan mencari penghidupan. Dalam
hal ini ia mengakui bahwa pihak Gereja memang telah banyak membantu. Namun
selama status dan namanya bantuan barang tentulah tidak mencukupi kebutuhan
sehari-hari, apalagi untuk menghidupi seluruh keluarga.

Maka didirikanlah PT tersebut yang kemudian dapat membangun sekitar lima rumah
yang bisa menampung sekitar 36 orang dan sebagian sudah berkeluarga. Tetapi
kemudian muncullah berbagai-macam kesulitan, dan berikut inilah
kesaksian-kesaksian Pramoedya dalam tulisannya:
§	Bebarapa kali saya didatangi intel yang secara lisan mengatakan bahwa rumah
saya telah dijadikan tempat untuk berkumpulnya para tapol.
§	Beberapa orang yang mengaku dari kantor kotapraja memberi ultimatum supaya
saya menyediakan uang sekian ratus ribu dengan tempo cuma beberapa hari saja.
§	Ada lagi seseorang datang sambil mengibar-ngibarkan kartu identitasnya sebagai
intel Hankam.
§	Ada lagi yang mengaku sebagai pegawai sospol di suatu departemen penting
dengan menambah-nambah keterangan bahwa saya harus hati-hati, karena banyak dari
kawan-kawannya yang berasal dari Batak.
§	Dan masih banyak yang lainnya.
***

Adapun mengenai surat pembebasan yang diterima Joesoef rupanya berbeda-beda
dengan kawan-kawan yang lain. Dari sini saja bisa dilihat ketidakbecusan
pemerintah Orde Baru dalam mengolah sistem administrasi yang berjalan.
Bahkan-khusus dalam hal ini-Joesoef merasa cemburu kepada Pramoedya yang telah
menerima surat pembebasannya dengan berisi diktum, "tidak terbukti terlibat
dalam G30S/PKI". Sedangkan surat yang diterima Joesoef tidak tercantum diktum
tersebut.

	Lantas bagaimana harus mengurus pembebasan kawan-kawan tapol di daerah yang
berribu-ribu jumlahnya itu?
Insting dan perkiraan akan ketidakbecusan mereka terus-menerus terbayang dalam
benak Joesoef….
				***

22. Dari penjara ke tahanan kota

Selepas dari Salemba (pada tahun 1978) Joesoef harus melapor secara rutin ke
kantor Kodam pada bagian Tiperda (Tim Pemeriksa Daerah). Laporan harus dilakukan
dua kali setiap minggu, dan pada tahun selanjutnya ditangani oleh kantor
kelurahan menjadi sekali setiap bulannya.
Ketika itu Joesoef beserta keluarga sudah tinggal di Jalan Duren Tiga Jakarta,
dan karenanya ia dikelompokkan sebagai tapol kelurahan Duren Tiga, kecamatan
Mampang Prapatan. 
Joesoef beruntung sekali ditangani oleh sorang Lurah yang cukup pengertian dan
baik hati, meski administrasi yang berlaku tetaplah ngawur dan semrawut tak
keruan.  Satu hal yang membuatnya jengkel tak habis pikir, yakni setiap kali
melapor ia harus membawa sebanyak sepuluh buah foto yang harus diberikan kepada
pihak kelurahan.
"Apa artinya ini? Lantas buat apa sepuluh foto yang kemarin sudah saya berikan
itu? Apa dibakar!"
Pertugas kelurahan terbengong-bengong. Sambil garuk-garuk kepala nampaknya ia
sendiri bingung pada sistem yang berjalan. Kemudian jawabnya pelan: "Sudahlah
Pak Joesoef, ikuti sajalah… toh kami ini hanya menjalankan tugas dari atas…."

Pada bulan-bulan selanjutnya segala kemudahan semakin bisa diperoleh, akan
tetapi justru karena inisiatif dan kebijakan dari Lurah sendiri yang tidak mau
dirinya sendiri kerepotan. Suatu hari ketika Joesoef akan melapor, ia dibisiki
oleh Lurah yang bertugas di sana, dan katanya pelan:
"Sudahlah, Pak Joesoef, tak perlu ditandatangai lagi…."
Sejak itu ia pun tak lagi melapor ke kelurahan pada bulan-bulan berikutnya.
		***

Pada hari-hari tertentu (terutama hari besar kenegaraan) para tapol sekelurahan
atau sekecamatan biasanya dikumpulkan jadi satu. Kebiasaan itu dilakukan pula
pada saat-saat ketika situasi sosial-politik dirasakan semakin genting dan
memanas di negeri ini. Suatu kali Joesoef meghadiri pemanggilan di kantor
kecamatan bersama dengan ratusan tapol lainnya. Seorang utusan kecamatan (yang
biasanya dari militer) berdiri di hadapan hadirin dan kontan berceramah:
"Hadirin sekalian, hati-hatilah… waspadalah… jangan sampai kalian ikut-ikutan.
Tidak ada gunanya kalian ikut-ikutan. Sekarang ini sudah muncul lagi
organisasi-organisasi terselubung yang berkeliaran di mana-mana. Belum lagi kita
merasa aman oleh ulah-ulah GPK, sekarang muncul lagi OTB-OTB yang hendak
mengacaukan stabilitas nasional kita…"

Joesoef berbisik-bisik dengan kawan di sebelahnya, terutama untuk menanyakan apa
yang dimaksud OTB, GPK segala macam yang diocehkan penceramah itu. 
Rupanya tak ada yang mengerti istilah-istilah tersebut, kecuali karena kerjaan
orang-orang militer yang seenaknya membikin-bikin peristilahan aneh itu,
kemudian sambung penceramah:
"…bahkan sekarang ini sudah muncul lagi bermacam-macam ekstrim, bukan hanya
ekstrim kiri dan kanan, tetapi juga ekstrim tengah dan ekstrim yang lain-lain."
Joesoef menjongok lagi kepada kawan di sebelahnya, bertanya-tanya tentang apa
yang dimaksud "ekstrim dan lain-lain". Seketika itu kawannya terpingkal-pingkal
yang kontan ditegur oleh Joesoef supaya menahan dulu ketawanya, jangan dilepas
di tempat seperti ini.
Kemudian setelah panjang-lebar bercuap-cuap tak keruan, si penceramah pun
mengakhiri pembicaraannya:
"Sekali lagi jangan sampai kalian ikut-ikutan. Jangan sampai terlibat lagi pada
gerakan-gerakan pengacau semacam itu. Jatah kalian adalah lubang neraka, dan
kesempatan bagi kalian hanya untuk bertobat dan memperbaiki kelakuan kalian."
Indoktrinasi seperti itu sudah menjadi langganan Joesoef. Ia sudah kebal untuk
tidak menggubris hal-hal semacam itu. Yang terlintas dalam ingatannya justru
pernyataan-pernyataan baru dari mulut penceramah, terutama tentang adanya
"ekstrim dan lain-lain".
Waduh (pikirnya), kalau semua orang dan semua organisasi dinyatakan ekstrim,
jadinya cuma dia sendiri dan kelompoknya yang tidak ekstrim di dunia ini….
				***	          
 					         	
Bersambung kebag. 7/10

-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-m: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
Nasional-a:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
Nasional-e:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-e/
------------------Mailing List Nasional------------------