[Nasional-a] [Nasional] Draft BIOGRAFI JOESOEF ISAK Bag. 5/10

nasional-a@polarhome.com nasional-a@polarhome.com
Tue Oct 8 14:00:40 2002


-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH
-----------------------------------------------------------------------
 16. Nasib beberapa kawan tapol

Para tapol di sekeliling Joesoef memang bermacam-macam tingkat pendidikannya.
Ada yang sederajat dengan Joesoef sendiri yang sempat mengecap pendidikan elit
Belanda, namun kebanyakan mereka hanya berpendidikan setingkat SR (Sekolah
Rakyat). Tidak jarang pula ditemukan tapol-tapol yang masih buta huruf, tidak
bisa baca-tulis, yang seumumnya cuma anggota BTI (Barisan Tani Indonesia) yang
diparalelkan dengan PKI.

Sesekali ditemukan pula seorang pedagang kaki-lima atau penjual buah-buahan yang
ditapolkan karena ia berusaha mempertahankan tanahnya yang cuma dihargai Rp 35,-
permeter. Juga tidak sedikit yang menjadi korban calo dengan memberikan tawaran
yang sangat rendah, hingga-karena dianggap bertele-tele-terpaksa harus dituduh
sebagai PKI untuk kemudian ditahan sebagai tapol.

Suatu hari Joesoef terenyuh melihat seorang tapol yang diam membisu dengan muka
menghadap tembok. Orang itu duduk mematung selama berjam-jam, dan keesokannya
begitu pula ia lakukan. Joesoef mencoba untuk bertanya, yang kemudian dijawab
bahwa dirinya baru saja diceraikan oleh istrinya di rumah.
Pernah pula seorang tapol mengabarkan bahwa ia telah diceraikan oleh sang istri,
yang kemudian "dipelihara" oleh seorang militer yang-ternyata-seseorang yang
pernah menginterogasinya.
Namun sebaliknya-meski sangat jarang-ada juga seorang tapol yang bernasib baik
bahwa kabarnya ia baru dijenguk oleh suatu keluarga yang sekaligus melamarnya
agar memperistri anak gadisnya yang cantik.
					***

Kehidupan para tapol secara seksual, hampir tak pernah ditemukan hal-hal aneh di
penjara. Bahkan problem homoseksual yang biasa terdapat di suatu tempat yang
dihuni oleh komunitas laki-laki, rupanya jarang pula ditemukan. Soalnya sebagian
tapol sudah menikah dan meninggalkan istri di rumah, sehingga
perbincangan-perbincangan mengenai seksualitas biasanya berkisar kepada psikose
atau bayangan-bayangan akan kecantikan wanita (sebagai simbol istri di rumah).
Mereka yang masih perjaka bujangan pun akhirnya terhanyut kepada arus
perbincangan seputar seksualitas tersebut, sehingga kekakuan dan ketabuan dalam
soal sex dapat diringankan dan dilenturkan sedemikian rupa.

Yang sering menjadi kekhawatiran justru karena tidak adanya kepastian kapan para
tapol itu akan dibebaskan. Hal ini sangat mengganggu secara psikologis, terutama
karena kekhawatiran bahwa mereka tak sanggup untuk bermesraan kembali bersama
sang istri. Dan mungkin juga rasa takut akan hilangnya masa-masa indah yang
masih bisa dilakukan bersama istri.
Kekhawatiran-kekhawatiran itu kerapkali menghinggapi diri Joesoef, dan karenanya
sedapat mungkin ia mengatasi beban psiokologis tersebut dengan caranya sendiri.
Beban psiokologis yang diakibatkan problem seksualitas itu telah dikenalnya dari
bacaan-bacaan buku seperti Psikoanalisa atau Kamasutra yang pernah menjadi
kegemarannya sejak usia-usia remaja dulu.
***

17. Memaklumi kawan tapol yang pindah agama

Makin lama sistem administrasi yang diberlakukan di penjara semakin ketat. Para
tapol harus terdaftar dengan identitas-diri yang serba lengkap, berikut mengenai
agamanya masing-masing. Dengan begitu maka para tapol PKI-yang paling dominan di
Salemba-kebanyakan pada mendaftarkan diri dengan beragama Islam. Bahkan
tapol-tapol yang menganut aliran kepercayaan (Kejawen) terpaksa juga harus
menyandang salah satu agama, yang kebanyakan memilih terdaftar sebagai beragama
Islam.

	Fasilitas dan sarana peribadatan disediakan dengan cukup lengkap, berikut para
pastor-pendeta, juga para mubalig yang telah ditentukan oleh komandan petugas
dengan sangat ketat, yang kesemuanya mengandung misi bagi dakwah keberagamaan
bahwa para tapol yang seumumnya anggota PKI-yang diklaim sebagai anti-beragama
dan anti-Tuhan-adalah perlu bahkan wajib diberi pelajaran tentang hukum-hukum
agama, dan juga peringatan agar bertobat menyadari kesalahannya.

Dengan begitu maka dipilihlah mubalig-mubalig serta para pastor-pendeta
tertentu, sehingga tidak jarang dari orang-orang militer yang mendadak jadi
"mubalig ingusan" atau-kalau perlu-mengundang da'i-da'i keblinger yang merasa
mengerti segala-galanya tentang agama, padahal yang memenuhi otaknya cuma
hukum-hukum fiqih belaka yang dijadikan rujukan untuk mengklaim hitam-putihnya
kehidupan manusia.
Menurut Joesoef bila mendengar ceramah dan dakwah keagamaan dari mubalig-mubalig
semacam itu, bisa membuat kuping terasa "gatal" dan jantung terasa deg-degan
karena jengkel. Para mubalig itu seenak-udelnya melontarkan doktrin-doktrin yang
menyakitkan, terutama dalam mengklaim kesalahan para tapol sebagai pelaku-pelaku
dosa besar yang tidak akan diampuni oleh Tuhan.

Suatu kali seorang mubalig berdakwah bahwa, "orang-orang komunis itu adalah
orang-orang kafir yang telah murtad kepada Allah Subhanahu-Wata'ala." Seorang
lagi mengatakan bahwa, "PKI itu telah melakukan dosa besar yang sudah dicap dan
disegel oleh Allah, karena itu darah mereka adalah halal untuk ditumpahkan."
Bahkan ada juga yang berceramah bahwa, "Kalian itu tidak bisa berbuat apa-apa,
dan dosa kalian tidak bakal diampuni oleh Allah. Karena itu jatah kalian tidak
lain adalah Neraka Jahannam…."
Penyampaian misi dan dakwah-dakwah keagamaan itu nampak berbeda dengan agama
Kristen yang lebih cenderung pada pendekatan-pendekatan pribadi yang tulus dan
menenangkan. Para pastor dan pendeta berupaya meredamkan segala prasangka yang
menyebabkan perasaan tegang dan takut kepada para jemaatnya. Juga diupayakan
kepada pihak keluarga dengan mengulurkan berbagai bantuan dan santunan yang
menyejukkan.

Karena itu maka bisa dipahami bahwa pada periode tertentu (di penjara Salemba)
banyak tapol-tapol yang kemudian berpindah agama dengan memilih agama Kristen.
Meski begitu-menurut Joesoef-kepindahan itu bukanlah suatu komitmen-hati
terhadap ajaran-ajaran Kristen itu (untuk dijalani), akan tetapi disebabkan
perbedaan dalam cara penyampaian misi serta perlakuan dan santunan kepada para
penganut agama itu sendiri.

Hal ini sangat berkait dengan matangnya peradaban Kristiani yang terus
mengevaluasi-diri dari berbagai kekhilafan dan kekeliruan sepanjang zaman, yang
terus memuncak hingga pertikaian paling sengit-di abad pertengahan-antara
kalangan Gereja dengan para ilmuwan dan filosof. Sedangkan peradaban
Islam-khususnya di negara kita-masih terlampau dini untuk belajar
mengintrospeksi-diri, dan karenanya kefanatikan kepada agama termasuk bagian
dari tindakan-tindakan separatisme yang cukup serius dalam merongrong kesatuan
dan persatuan RI.

Dalam wilayah ilmu dan filsafat, dunia Islam Indonesia masih menaruh kecurigaan
yang kadang berlebihan juga. Karenanya tidak jarang dari kalangan ulama atau
komunitas MUI (Majelis Ulama Indonesia)-yang mengaku-ngaku ulama-masih saja
memusuhi filsafat dan menganggapnya sebagai cikal-bakal rasionalisme dan
sekularisme. Bagi mereka dunia filsafat adalah jalan-licin yang membuat rasio
bisa mengklaim dirinya selaku Dewa dan Tuhan. Dan karenanya ia adalah wilayah
yang dianggap rawan dan membahayakan untuk dimasuki dan ditelusuri.

Sedangkan dunia Kristen-lagi-lagi disebabkan belajar dari pertikaian
pasang-surut peradaban selama berabad-abad-ia tidak lagi takut kepada filsafat,
dan malah mengakuinya sebagai fakultas manusiawi yang wajar, sah dan
konstitusional bagi pemekaran kemanusiawian manusia, agar dapat mengembangkan
segala bakat kemampuannya yang paling vital. Karena bagaimanapun dunia filsafat
dan rasio tak lain adalah bagian dari dimensi yang merupakan "Abdi-Iman"
(ancilla fidei) yang dapat mengantarkan kita menjadi manusia beriman yang
dewasa.
				***
      
18. Menyelundupkan koran ke dalam sel

Sebagai tapol golongan A yang statusnya disejajarkan dengan pemimpin-pemimpin
PKI Joesoef mengalami berbagai keterbatasan dan aturan yang sangat mengikat. Ia
tidak boleh mengikuti perkembangan sosial-politik di luar penjara, kecuali
sedikit informasi yang diterima dari telinga ke telinga antara sesama tapol,
selain surat-surat kecil yang disusupkan melalui rantang makanan. Satu-satunya
literatur yang diperbolehkan masuk cuma Quran dan Bibel, tiada lain kecuali itu
saja.

	Pada periode 1970-an setiap barang yang mengandung kertas sama sekali tak
diperbolehkan masuk. Bahkan sebungkus rokok pun satu persatu harus dikeluarkan
dari kemasannya. Hal itu karena beberapa kali pernah diketemukan adanya
pengiriman surat melalui bungkusan-bungkusan makanan yang dikirimkan ke dalam
penjara. Joesoef sendiri mengakui bahwa cara-cara demikian pernah ditempuhnya
selama beberapa waktu, sampai kemudian ia harus menempuh cara-cara baru yang
lebih cerdik, yang sama sekali tidak bakal kepikiran oleh otak-otak cetek para
petugas.
Tahun-tahun berikutnya para petinggi militer mulai melirik kemampuan dan
keahlian para tapol, yang tentunya disertai kasak-kusuk memeriksa berkas arsip
yang tersedia. Tak berapa lama mulailah digelar semacam "proyek" untuk
memanfaatkan tenaga mereka menurut keahliannya masing-masing.
Para tapol yang tadinya seorang arsitek atau pematung biasanya dipekerjakan
untuk membikin atau merenovasi rumah-rumah para jenderal atau perwira-menengah
yang perlu pembaharuan. Sedangkan yang dianggap tak punya keahlian cukuplah
dipekerjakan sebagai kuli atau tukang-tukang bangunan yang harus menuruti
perintah atasannya.
Seorang arsitek atau pematung yang dipekerjakan-menurut Joesoef-punya cukup
waktu atau kekeluasaan untuk beristirahat. Dari merekalah Joesoef menerima
selundupan koran-koran yang dicemplungkan melewati jeruji-jeruji selnya setiap
malam. Koran-koran yang diterimanya antara lain Merdeka, Kompas, dan bahkan
majalah Time atau Newsweek dan lain-lain.
				***

Koran-koran itu serta-merta disembunyikan untuk kemudian harus dibaca pada
tengah malam ketika sebagian petugas dan para tapol sedang tidur nyenyak.
Seketika itu Joesoef membuka-buka untuk membaca bagian-bagian penting agar dapat
dikomunikasikan kepada kawan-kawan tapol lainnya. Pada jam 4.00 hingga jam 5.00
pagi koran-koran itu dirobek-robek dan diremas-remas, untuk kemudian dimasukkan
ke dalam ember berisi air yang selanjutnya bisa dimanfaatkan sebagai bahan untuk
pembuatan lukisan atau patung.
Cara-cara seperti itu terus menerus dilakukan Joesoef, dan sebisa mungkin ia
harus bersandiwara atau sesekali berbohong bila pertugas sedang mengadakan
pengontrolan atau-boleh jadi-memergoki dirinya tengah melakukan hal-hal yang
dianggap aneh yang kesemuanya mengandung risiko yang tidak kecil, dan tentunya
membutuhkan keberanian untuk bisa melakukannya secara terus menerus.
Kebohongan itu dengan sendirinya menjadi bagian dari konsekuensi kehidupan
Joesoef selaku tapol bagi pemerintahan fasis yang bersifat militeristik. Hal itu
pun menjadi tanggungan bagi siapapun yang ingin mengabdi kepada jalan kebaikan
dan kebanaran, sebab bagi mereka yang berlaku jujur kepada fasisme, secara tidak
langsung telah melakukan pengkhianatan, atau-paling sedikit-telah memihak kepada
pelaku-pelaku kezaliman dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Bagi Joesoef adakalanya kebohongan itu diperlukan sebagai perlawanan terhadap
kepatuhan atau kretaan-mutlak kepada ketidakadilan dan kesewenang-wenangan….
				***

19. Mutasi sosial yang berkembang

Dalam soal kemampuan "bersandiwara" di hadapan petugas militer Joesoef menaruh
perhatian khusus kepada seorang kawannya yang bernama Abdulhamid Azhari (Hamid).
Ia lulusan sekolah tinggi di Al-Azhar, Mesir, yang berhijrah ke Indonesia untuk
mengajar matakuliah "Islamologi" di Universitas Indonesia, Jakarta.
Belakangan semakin diketahui siapa itu Hamid, yang tak lain dari seorang pemikir
berhaluan kiri (radikal) dan sewaktu di Mesir ia pernah bergabung dengan suatu
organisasi pergerakan yang dinilai bertentangan dengan pemerintahan Nasser.
Di Indonesia mestinya ia adalah seorang "pelarian", namun kemudian ia
menyaksikan berbagai organisasi pergerakan yang serupa dengan apa yang
dialaminya di Mesir, dan pada masanya lebih cenderung ke kubu PKI daripada yang
lainnya.

Oleh rezim Orde Baru Hamid dikategorikan sebagai orang kiri dan terpaksa harus
meninggalkan tugasnya di UI, untuk selanjutnya dikenakan tapol bersama Joesoef
dan kawan-kawan lainnya. Dengan berjalannya waktu Hamid dinilai sebagai tapol
yang pintar dan soleh di Salemba, dan karenanya ia mendapat tugas khusus untuk
menyampaikan dakwah-dakwah keislaman kepada para tapol lainnya, khususnya pada
waktu solat Jumat, dialah yang selalu bertindak selaku khatibnya.
Penilaian Joesoef mengenai Hamid tentulah berbeda dengan petugas militer
memandangnya. Ia adalah pemikir kiri yang lihai dan cerdik, dan-selama Joesoef
mengenalnya-ia tak pernah meninggalkan kekiriannya.

Sebagai seorang muslim berketurunan Mesir, ada saatnya ketika ia sedang
mengenakan sorban dan jubahnya (adakalanya juga mengenakan kopiah dan sarung),
namun sebagai pemikir kiri, ia tetaplah konsisten dengan filsafat kekiriannya.
Suatu kali ia menyampaikan khutbah Jumat di hadapan ratusan tapol yang hadir.
Seketika itu Joesoef mencoba untuk mencermati isi khutbahnya, dan serta-merta ia
terheran-heran dibuatnya.
Sepulang dari solat Jumat Joesoef mencoba untuk memancing perdebatan dengannya:
"Bung Hamid, apakah Bung ini seorang muslim?"
Hamid menatap Joesoef dengan tajam, kemudian balik bertanya: "Ada apa?"
Joesoef menarik napas panjang, dan ujarnya: "Kenapa yang Bung sampaikan dalam
khutbah itu justru ajaran Marx?"

Hamid terdiam seraya mengerut-ngerutkan dahinya, kemudian jawabnya: "Apa yang
saya khutbahkan itu juga ajaran Islam, berikut dalil-dalilnya dari Quran dan
Hadist…"
"Kalau begitu apa bedanya konsep keadilan dalam Islam dengan ajaran komunis?"
"Memang tidak jauh berbeda."
Joesoef menghela napasnya dalam-dalam, kemudian lanjutnya:
"Kalau begitu apa bedanya antara Muhammad dengan Karl Marx?"
"Juga tidak jauh berbeda."
Keduanya saling diam. Tak berapa lama Hamid membisikkan sesuatu di telinga
Joesoef, seraya berkelakar:
"Muhammad itu seorang Marxis, tapi Karl Marx juga seorang muslim dan pengikut
Muhammad…."
Dan mereka pun saling tertawa lebar.
				***

Bersama Hamid, Joesoef mencoba menggalang kekompakan dan persaudaraan. Lambat
laun ia pun menjadi teman berdialog dan bertukar-pikiran sekaligus.
Pemikiran-pemikiran tentang keislaman banyak diperoleh dari Hamid, namun juga
sebaliknya Joesoef banyak menyumbang konsep nasionalisme yang diajarkan Bung
Karno berikut komitmennya kepada pergerakan Asia-Afrika.

Suatu hari Joesoef bertanya-tanya mengenai proses penangkapannya hingga
lika-liku interogasi yang pernah dijalaninya. Sebagai seorang muslim-Arab yang
hafal Quran, Hamid mengutip salah satu ayat Quran yang menyatakan bahwa kita
tidak boleh menganiaya orang lain, namun kita pun harus berusaha agar jangan
sampai dianiaya oleh orang lain.
"Bagaimana caranya?" tanya Joesoef singkat.
"Kita kibuli saja militer-militer itu…"
"Caranya?"
"Kita sanjung-sanjung mereka, seakan-akan mereka lebih pintar daripada kita."
"Dengan begitu Bung selamat dari semua interogasi itu?"
"Apa boleh buat."

Seketika itu Joesoef teringat kepada seorang "top-interrogator" bernama Acep,
juga kepada seorang perwira security yang dikenal paling keras (sebut saja
Markudi). Orang kedua ini bisa membuat tapol bergetar-getar bila berurusan
dengannya. Seringkali ia memukuli bahkan menganiaya para tapol karena suatu
persoalan sepele yang dibesar-besarkannya.
Joesoef sendiri hampir tak pernah berurusan dengan Markudi, meski ia bisa
mengerti mengapa Hamid bersandar pada dalil Quran tersebut guna menghadapi
orang-orang semacam dia.
Barangkali keselarasan kedua karakter itu yang membuat Joesoef dan Hamid
bersepakat untuk bergandeng-tangan bekerjasama, sampai suatu ketika mereka
mencoba untuk terus mengadakan pendekatan bersama para tapol lainnya, terutama
untuk suatu misi "dakwah pengibulan" dalam menghadapi kekejaman militerisme di
Salemba.
				***

20. Membebaskan kawan-kawan dari sel isolasi

Markudi, sang perwira security yang terkenal paling galak dan angker lambat laun
nampak kelihatan pendiam dan banyak gelisah. Dalam setiap pemeriksaan dan
pengontrolan yang biasanya tak segan untuk memukuli para tapol atau mancari-cari
kesalahan sekecil apapun, kini mulai berbeda dari watak dan kelakuannya semula.
Dengan barjalannya waktu ia pun mulai kelihatan jarang marah-marah, dan lama
kelamaan semakin bisa mengendalikan emosinya.
Hal itu menjadi kesempatan bagi Joesoef untuk berusaha "merayu" dirinya agar
dapat membebaskan kawan-kawan tapol yang mendekam di sel isolasi (blok N) selama
bertahun-tahun. Sel isolasi itu dikhususkan bagi paera tapol yang terkena
tuduhan-tuduhan berat seperti A. Latif, Karim DP, dan beberapa seniman Lekra dan
LKN.

Di Salemba terdapat dua blok (blok N dan blok E) yang khusus dijadikan sel
isolasi, yakni suatu kurungan sel di dalam kurungan, yang semuanya terdapat
sekitar duapuluh sel. Namun berbeda dengan blok N, pada blok E sengaja
dikhususkan bagi tahanan kriminal dengan tuduhan kasus-kasus berat seperti
pembunuhan, pemerkosaan, perampokan dan lain-lain.

Sebelum dimasukkan di blok N pada awalnya para tapol digabungkan bersama
tahanan-tahanan kriminal yang bertempat di blok E untuk pemberlakuan "shock
therapy" yang sudah diatur sedemikian rupa. Di situ telah diciptakan suatu
sistem untuk tugas-tugas para tahanan yang-dengan sendirinya-apa saja yanag
dipunyai para tapol kontan dirampas habis, dari uang, jam tangan, makanan hingga
ke pakaian.
Suatu kali Joesoef mencoba untuk membebaskan seorang kawan dekatanya, Karim DP,
dengan lebih dulu melakukan pendekatan dengan Markudi (sang perwira security)
yang sudah lama menjadi incarannya.
Ketika itu Joesoef mengajak bincang-bincang mengenai sosial-politik di
Indonesia, yang belakangan menjadi kegemaran Markudi untuk menambah pengetahuan
dan wawasannya. Pada kesempatan itu ia berusaha menyusupkan gagasan-gagasannya
mengenai sosial-politik, dan lambat laun semakin membaca adanya pengaruh yang
berkembang pada benak Markudi.

Akhirnya kebiasaan untuk berbincang-bincang bersama Joesoef telah menjadi
kegemarannya. Ia memandang Joesoef sebagai kawan yang baik untuk
bertukar-pikiran, bahkan menganggapnya selaku guru untuk menimba ilmu politik
yang konon sedang digelutinya.
Suatu hari ketika sedang asyik berbincang-bincang mengenai sosial-politik,
Joesoef menyela pembicaraan kepada soal yang lebih khusus:
"Pak Markudi, memangnya Karim DP itu kenapa sih? Kok dia sampai dimasukkan di
sel isolasi?"
"Ah, orang macam dia kan berbahaya," jawabnya tegas.
"Lho? Bahayanya apa?"
Pandangan Markudi berkaca-kaca. Pada sorot matanya mulai nampak bertanya-tanya.
Belum sempat ia mengolah jalan pikirannya, Joesoef mulai berkata lagi:
"Sebetulnya dia itu bukan siapa-siapa… nggak ada bahayanya…"
"Kok bisa begitu?"
"Lho? Waktu saya memimpin PWI-Jakarta dia itu kan bawahan saya, kemudian waktu
dia memimpin PWI-Pusat, saya tetap di atas dia sebagai sekjen PWAA."
Markudi mulai kebingungan. Ah, ngomong apa si Joesoef ini (pikirnya), apakah dia
sedang mabuk. Namun masih dalam keadaan terbengong-bengong Joesoef mulai
berdalih lagi:
"Begini, Pak Markudi," sambil menggeser duduknya sedikit, "mengenai apa yang
saya bilang tadi, mestinya adalah saya yang lebih berbahaya, dan bukan dia…"
Waduh, ngomong apa lagi itu? Kok rasanya begitu berat di kepala? Kenapa Joesoef
ini tidak bicara yang lain saja, yang bisa menghibur pikirannya?
Namun karena telanjur memandang Joesoef selaku gurunya, Markudi berusaha untuk
mengendalikan emosinya. Sambil sedikit berdehem ia mencoba memberitahu Joesoef:
"Jadi begini, Pak Joesoef," ia pun ikut-ikutan menggeser duduknya, "saya kira
Karim DP itu memang berbahaya, karena dia pernah menjadi anggota DPA…"
"Tapi…"
"Nanti dulu, Pak Joesoef, nanti dulu. Selain itu juga dia pernah ditugaskan oleh
Soekarno untuk membikin rumusan agar Indonesia keluar dari  PBB…"
"Lho? Yang menyusun rumusan itu adalah saya, dan bukan dia!" sambar Joesoef
lagi.
"Jadinya bagaimana ini…."
Kepala Markudi tambah pusing tujuh keliling. Belum sempat ia menata jalan
pikirannya, Joesoef mulai berceloteh lagi:
"Pokoknya Karim DP itu tidak ada bahayanya. Saya betul-betul kenal siapa dia.
Kalau misalnya dikeluarkan di depan pintu gerbang, tidak bakal dia lari ke
mana-mana."
"Apa iya, Pak Joesoef?"
"Lho? Jangankan cuma dikeluarkan di pintu gerbang. Kalaupun misalnya disuruh
memegang pistol atau granat, tidak bakal dia berbuat apa-apa."
"Apa iya, Pak Joesoef?"
"Sudah pasti!"

Markudi menarik napas panjang sambil menerawang. Dahinya nampak mengkerut-kerut.
Selama beberapa waktu ia berdiam diri, sampai kemudian ia berdehem-dehem untuk
mengambil keputusan:
"Baiklah kalau begitu…," ia berdiam lagi.
"Baiklah bagaimana?"
"Baiklah, mulai besok saya coba keluarkan dia dari blok N. Tapi sebelumnya saya
minta tolong kepada Pak Joesoef supaya banyak diberi pelajaran mengenai
Pancasila."
"Ya, tentu saja. Akan saya ajari dia supaya menjadi Pancasilais yang baik."
Rupanya betul saja. Keesokan harinya Karim DP mulai dibebaskan setelah sepuluh
tahun mendekam di sel isolasi. Kemudian ia ditempatkan di blok Q untuk
digabungkan bersama Joesoef dan kawan-kawan lainnya.
Dengan cara-cara pendekatan sampai mengindoktrinasi perwira security seperti itu
Joesoef berhasil pula membebaskan dua kawan lainnya dari sel isolasi, antaranya
Suhud dan Anwar Nasution. Bagi Joesoef, cara-cara dengan menaklukkan pemikiran
itu adalah sangat penting mengingat bahwa kita berhadap-hadapan dengan militer
Indonesia yang-dalam penilaian Bung Karno-memang masih minim tingkat budaya dan
peradabannya.
					***       
  	   
Bersambung kebag. 6/10

-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-m: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
Nasional-a:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
Nasional-e:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-e/
------------------Mailing List Nasional------------------