[Nasional-a] [Nasional] Draft BIOGRAFI JOESOEF ISAK Bag. 4/10

nasional-a@polarhome.com nasional-a@polarhome.com
Sun Oct 6 15:48:02 2002


-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH
-----------------------------------------------------------------------
IV. Penahanan di penjara Salemba (1968)

Setelah peristiwa G30S/1965 koran-koran yang dianggap pendukung Bung Karno
ditutup secara serentak. Pengurus-pengurus PWI dari unsur komunis ditanggkapi,
maka-dengan begitu-bubarlah formasi-formasi Nasakom. Tak berapa lama berselang
muncullah PWI-Baru yang langsung memecat semua wartawan yang dianggap berhaluan
kiri, termasuk Joesoef sendiri. Sedangkan statusnya di PWAA masih tetap selaku
sekretaris jenderal.

	Seketika itu PWI-Baru meminta bantuan kepada Soebandrio untuk mengadakan rapat
segitiga antara sekretariat PWAA, PWI-Baru dan Soebandrio selaku penengahnya.
Saat itu-untuk pertama kali-Joesoef menyaksikan orang-orang jurnalistik (yang
lantas berkiprah sebagai "selebriti" di zaman Soeharto) yakni Mahbub Djunaedi,
Jacob Oetama, Jusuf Sirait, Ny. Simorangkir dan lain-lain.

	Maka rapat pun digelar sambil disediakan meja panjang di mana Soebandrio dengan
suara agak terbata berbicara:
	"Saudara Joesoef, saya harap Saudara mengerti bahwa situasi sudah berubah."
Suasana hening. Joesoef menatap hadirin dengan seksama, kemudian sambung
Soebandrio:
	"Saya harap Saudara menyerahkan kesekjenan itu kepada orang yang ditunjuk oleh
PWI."
Serta-merta Joesoef agak terheran-heran. Ada beberapa hal dari perkataannya itu
yang membuatnya bertanya-tanya, meski ia mencoba untuk mengendalikan diri.
Selama beberapa waktu mereka saling diam, kemudian jawab Joesoef:
	"Ya silakan, silakan saja. Tetapi untuk menyampaikan serah-terima, ya
serah-terima apa? Saya tidak mendapat wewenang dari PWAA untuk
menyerahterimakan?"

Meski begitu tetaplah mereka bersikeras untuk mengadakan acara serah-terima di
sekretariat PWAA, yang kemudian tampillah Jacob Oetama sebagai penggantinya.
					***

Sebelumnya, antara 1965 hingga 1968 berkali-kali Joesoef mengalami interogasi
dan penahanan, namun belum dipenjara. Mereka bingung menimbang-nimbang bagaimana
harus memperlakukan seseorang yang memimpin organisasi internasional. Bendera
yang dibawanya adalah bendera kaum tengah sedangkan kepemimpinannya di
suratkabar Merdeka juga bukan tergolong suratkabar kiri.

	Waktu itu Joesoef menyaksikan sendiri bagaimana intel-intel itu bergerak dan
berinisiatif sendiri-senbdiri, antara lain intel baret hijau, intel Siliwangi
dan beberapa kesatuan militer lainnya. Karenanya ia pernah mengalami penahanan
di banyak tempat: tahanan Kodam, gedung Xin Hua, Universitas Rakyat (Unra),
Gedung Koperasi Batik dan juga Pintu Besi (salah satu sekolah terbesar Tionghoa
yang kemudian disita menjadi tempat tahanan).

	Meski semua orang tahu bahwa ia bukan anggota PKI, namun dengan berjalannya
waktu tetaplah diputuskan untuk ditahan karena "bahayanya". Pihak-pihak tertentu
akan menyebutnya selaku pembantu atau pendukug Bung Karno karena beberapa
organisasi penting yang dipimpinnya. Apa yang mereka perlakukan atas diri
Joesoef rupanya tak jauh berbeda dengan perlakuan atas diri Bung Karno sendiri.
Pada awalnya mereka tak berani memenjarakan, namun setelah pencopotan dari
keanggotaan PWI dan lain-lain, mulailah mereka beraksi untuk berusaha
menahannya.

	Maka tibalah tahun 1968 itu. Penahanan dilakukan oleh tim khusus dari badan
intelijen Kodam, yaitu Likdam (Penyelidik Kodam). Ia dibawa bersama suatu
rombongan yang disatukan dalam satu bus, dan langsung diarahkan menuju Salemba.
					***

13. Rumus interogasi yang diberlakukan

Pada prinsipnya semua yang akan diinterogasi pada mulanya harus dituduh dulu
sebagai orang PKI. Jika bukti-bukti tidak ada (atau tidak ditemukan) cukuplah
dengan memendam persoalan itu lantas tutup buku begitu saja, sedangkan si
tertuduh tetap harus dalam penahanan. Beberapa kawan Joesoef yang memang anggota
PKI namun tidak tahu menahu perihal G30S, tetaplah disangkutpautkan sebagai
terlibat dan ikut-serta mengambil andil dalam peristiwa itu.

	Ketika itu pertanyaan bertele-tele tumpang-tindih menyerang Joesoef. Pertanyaan
yang serba semrawut dan simpang-siur itu, bila disaring dan disimpulkan dengan
cermat, sebetulnya hanya mengandung intisari yang tidak kurang dari ini:
	"Apakah Saudara tahu mengenai adanya Gerakan 30 September?"
	"Tidak tahu," jawab Joesoef singkat.
	"Anda kan wartawan? Mana mungkin wartawan tidak tahu?"
Hanya sampai di situ. Suasana hening dan tegang. Namun supaya tidak berlama-lama
saling membisu, sang interogator mengumpulkan kembali isi pikirannya yang
berserakan. Ia mencoba untuk kembali kepada logikanya semula dengan tidak
menghiraukan sepatah katapun dari jawaban Joesoef. Maka ia pun berjalan-jalan
hilir-mudik, dan ketusnya:
	"Kalau Anda tahu, kenapa Anda tidak melapor?"
Joesoef diam. Dalam pikirannya, buat apa ia menjawab kalau pada akhirnya semua
tanggapan itu akan diabaikan sama sekali. Maka dibiarkan sajalah si interogator
berkata-kata dengan logikanya sendiri:
	"Kalau Anda tahu tetapi tidak melapor, berarti Anda adalah bagian dari gerakan
itu, mengerti?"
Apa lagi itu (pikir Joesoef).
Menurut Joesoef, segala rumusan yang terhimpun dalam beragam pertanyaan itu,
bila dihubungkan dengan keterlibatan Soeharto adalah sangat logis dan relevan.
Jangan-jangan malah Soeharto yang membikin-bikin rumusan macam itu, kerena ia
sendiri telah berkali-kali menerima laporan dari A. Latif sebelum meletusnya
G30S, namun ia tidak menghiraukannya.

Logika yang serba semrawut itu memang sudah menjadi kebiasaan Soeharto. Dalam
suatu wawancara ia pernah menyanggah tentang adanya laporan, namun pada
kesempatan lain menyatakan bahwa kehadiran Latif tak lain hanya untuk menengok
anaknya (Tomi) yang sedang sakit. Dan pada kesempatan lain lagi malah menegaskan
bahwa ia sangat mencurigai kedatangan Latif yang hendak mencelakakan dirinya.
Bagi Joesoef, insting kekuasaan Soeharto memang berbeda dengan kemampuan
berpikirnya yang semrawut tak keruan. Karena itu apa-apa yang dikemukakannya tak
bisa dipegang untuk dipercaya. Dan setiap keadaan berubah ia akan berusaha
menempatkan diri kepada pernyataan yang menguntungkan posisi kekuasaannya.
                                   ***
Semua tahanan diharuskan mencatat alamat serta nama-nama seluruh anggota
keluarganya. Bagi mereka yang sama sekali tak terlibat namun ada kepentingan
interogator untuk menyita rumahnya, maka serta-merta ia tercatat sebagai
"terlibat".

	Suatu kali Joesoef ditahan di Pintu Besi (bekas sekolah Tionghoa). Pada suatu
malam pekat (sekitar jam 3.00) ia dibawa berkelok-kelok memasuki gang dengan
penjagaan ketat oleh baret hijau. Ia tidak mengerti sedang dibawa ke mana dan
mau diapakan. Ketika memasuki suatu ruangan, seorang prajurit menatap dirinya
dengan penuh tanda-tanya., kemudian bisiknya:
	"Pak Joesoef, apakah Ibu sudah tahu?"
	"Belum," jawabnya singkat.
Keduanya saling diam. Suasana nampak hening, kemudian lanjut prajurit:
	"Apa Ibu mau dikasih tahu, Pak?"
Setelah beberapa lama menimbang-nimbang Joesoef pun menjawab:
	"Tidak usah, biarkan saja."

Seketika itu ia teringat pada beberapa kawan jurnalis yang keluarga dan
saudaranya mengalami berbagai pemerasan. Selain itu bahkan seorang keluarga
sastrawan (dari Lekra) kabarnya juga didatangi beberapa orang yang mengaku-ngaku
sebagai petugas intel. Juga tidak sedikit yang mengaku-ngaku sebagai pegawai
sospol atau petugas dari kantor kotapraja yang tiba-tiba menyodorkan surat
pernyataan agar membayar ini dan itu.

	Dengan begitu maka bisa dipahami jika banyak dari masyarakat (terutama keluarga
PKI) yang terpaksa harus menjual tanahnya, dan bahkan rumah tempat tinggalnya,
untuk menomboki semua pembiayaan yang ditagihkan oleh para pemeras itu.

	Joesoef berusaha untuk tidak terjebak ke dalam permainan tukang-tukang peras
itu, juga berusaha meyakinkan keluarganya supaya tidak ikut terperosok ke
dalamnya. Hal itu dimungkinkan karena berbagai siasat-manis yang dibikinnya agar
dapat berkomunikasi secara intensif dengan keluarganya. Ketika itu ia memesan
suatu rantang khusus untuk pengiriman makanan dari rumah. Rantang itu diusahakan
bergagang bulat memanjang hingga dimungkinkan kertas-surat dapat menyusup ke
dalam lubangnya.

	Berkat rantang unik itu segala komunikasi dapat berjalan dengan baik, tanpa
suatu hambatan apapun.
					***

Perlu ditekankan di sini bahwa apabila pemerintah baru tidak sanggup menciptakan
terobosan perubahan di bidang hukum dan hak-hak asasi manusia, maka dengan
sendirinya rehabilitasi dan keadilan hanya akan bermuara di permukaan dan
menjadi ilusi bagi bangsa Indonesia.

	Kita tidak menginginkan keadilan dan hukum cuma berlaku dalam impian belaka.
Setiap kesalahan besar di masa lalu harus ditebus dengan perbaikan dan
rehabilitasi, dan karenanya dibutuhkan pemimpin Indonesia yang cerdas dan tegas,
seorang pemimpin yang komitmen pembelaannya kepada rakyat-banyak dapat
dipertanggungjawabkan.

	Indonesia tidak membutuhkan pemimpin yang loyo dan plin-plan, di mana wawasan
dan kemampuan berpolitiknya cuma setengah-setengah. Kita tidak apriori
mempersalahkan pemimpin kita saat ini maupun besok, karena hal ini menyangkut
tanggungjawab kita bersama.

	Kini para pemeras dan pengeruk keuntungan itu masih bergentayangan di mana-mana
hingga hari ini. Tentulah ada yang secara pribadi mengadakan pendekatan yang
akomodatif terhadap kesalahan masa lalunya. Ada juga yang secara sukarela
mengadakan pembenahan atas prilakunya, dan karenanya kesadaran rehabilitasi
telah diupayakan dengan cara-caranya sendiri yang adil dan manusiawi.

	Tetapi tidak kurang dari ribuan manusia masih menggelepar dan merangkak untuk
memperjuangkan hak miliknya, yang kesemuanya adalah akibat dari peristiwa
politik yang secara tiba-tiba menghantam mereka.

	Dan peristiwa itu-bagi Joesoef-bukanlah faktor  kebetulan atau
ketidaksengajaan, akan tetapi sudah jeles akibat dari ulah-ulah yang secara
sadar dilakukan oleh para politisi dan penguasa negeri ini.

	Adalah kesalahan kita semua, bila membiarkan ketidakadilan terus
berlenggak-lenggok di sekeliling kita, juga apabila membiarkan "mereka"
bersikeras memperjuangkan stastus-quo yang digenggamnya….
					***

14. Pemeriksaan khusus oleh "top-interrogator"

Interogasi kali ini berbeda dari yang sudah-sudah. Waktu itu Joesoef harus
dihadapkan kepada seorang perwira intelijen didikan Amerika yang disebut dengan
nama "Acep". Orang itu dikenal sebagai "top-interrogator" yang bertugas untuk
memeriksa para tokoh dan pemimpin PKI. Maka disediakanlah meja dan kursi di
ruangan khusus, dan Joesoef berusaha untuk bersikap tenang.

	Dari gerak-geriknya dapat dibaca bahwa Acep ini nampaknya cukup intelek dan
berpendidikan-setidaknya dari ukuran seorang militer. Ia berjalan hilir-mudik di
antara meja dan kursi, didampingi oleh empat orang berseragam loreng dengan
menggenggam pukulan rotan.

	Saat itu Joesoef menyadari bahwa setiap tapol yang dihadapkan kepada
"top-interrogator" biasanya harus pulang dengan babak-belur atau (paling
sedikit) luka-luka di sekujur badan. Karena itu kawan-kawan di sel sudah
menunggu sambil mempersiapkan obat gosok, reumason bahkan obat-obatan Tionghoa
untuk luka-dalam.

	Seketika itu Joesoef mencoba untuk memperhatikan tingkahlakunya, juga berusaha
membaca psikologinya dengan seksama.

	Dan rupanya Acep berbeda dari yang lainnya. Ia mengawali pemeriksaan dengan
tidak memberi pertanyaan namun suatu "shock therapy" dengan melontarkan
kata-kata: "Joesoef, sekarang kau tak usah bohong, karena saya sudah tahu
semuanya tentang kau."

	Tatapannya cukup tajam. Empat orang di belakangnya bersiap-siaga dengan
pukulan-rotan di tangannya. Lantas sambung Acep lagi: "Saya adalah interrogator
yang memeriksa seluruh pemimpin PKI…."

	Ia beranjak dari duduknya, melangkah ke sudut ruangan yang telah dipersiapkan
sebuah meja dengan sebuah tape recorder di atasannya. Seketika itu ia menyetel
kaset-kaset yang berisi pemeriksaan-pemeriksaan yang sudah lalu, antara lain
pemeriksaan Untung, Sudisman, Soeyono Pradigdo, Anwar Sanusi, Nyono serta
beberapa nama lain yang ia pertunjukkan.

	Joesoef terus membaca psikologinya, sementara empat orang di belakang Acep
terkagum-kagum menyaksikan pertunjukan itu hingga berbinar-binar pandangan
matanya.

	Suasana makin tegang. Interogasi berlanjut, dan pertanyaan yang meluncur dari
Acep memang cukup tajam, terutama tentang apa kegiatannya, juga tentang tuduhan
bahwa Joesoef telah aktif mengorganisasi wartawan di bawah tanah. Bahkan selaku
sekjen PWAA ia pun dituduh aktif mengadakan hubungan-hubungan di luar negeri
(terutama Peking).

	Waduh! (pikir Joesoef). Daripada membias kepada persoalan "Peking" dan "gerakan
bawah tanah" ia berusaha membelokkan pembicaraan kepada soal-soal lain, yakni
tentang rencana membikin suratkabar baru bersama Kolonel Bambang Soepono.
Seketika itu pikiran Acep mulai kacau-balau, dan nampak terbingung-bingung.
Kemudian muncullah pertanyaan:
	"Suratkabar baru? Kolonel Bambang Soepono?"
	"Ya, Kolonel Bambang Soepono."
Kok bisa begitu (pikir Acep). Bukankah dia seorang militer? Kemudian lanjutnya:
	"Apa visi dan misinya?"
Serta-merta Joesoef bercerita ngalor-ngidul bahwa ia akan mencoba membuat suatu
misi dan visi yang serba baru, dan bukan misi PKI.

	Tambah kacau lagi pikiran Acep. Sambil terheran-heran mengernyitkan dahinya ia
berusaha untuk memulihkan kewibawaannya di hadapan empat bawahannya. Seketika
itu ia mencoba untuk-sekali lagi-menunjukkan kebolehannya, yakni bertanya-tanya
kepada Joesoef dengan menggunakan bahasa Inggris. Maka kontanlah Joesoef
menjawab dan menanggapinya dengan bahasa Inggris pula.

	Pertanyaan terus berlanjut, dan kali ini menggunakan bahasa Belanda yang kontan
disambut Joesoef dengan bahasa Belanda juga. Maka sekali lagi terkagum-kagumlah
keempat anak buahnya, dan pandangannya berbinar-binar lagi.

	Setelah beberapa jam mengalami interogasi Joesoef pun akhirnya diperbolehkan
untuk kembali ke sel, dan seketika itu kawan-kawannya menghambur seraya
terheran-heran melihat Joesoef:
	"Apa yang terjadi, Joesoef? Diapakan oleh mereka?"
	"Tidak diapa-apakan," jawabnya enteng.
Datang lagi kawan yang lain, dan langsung bertanya:
	"Mana lukanya, Joesoef? Apanya yang luka?"
	"Nggak apa-apa. Nggak ada yang luka."
Mereka terbengong-bengong saling memandang. Tak berapa lama Joesoef mencoba
berkelakar:
	"Buat apa kalian sediakan obat gosok dan obat-obatan Cina itu…."
					***

Dari berbagai-macam interogasi yang pernah dialaminya, yang paling menjengkelkan
dan menyakitkan hatinya justru ketika diinterogasi oleh perwira-perwira
setingkat sersan, pelda atau kapten. Menurut Joesoef perlakuan mereka lebih
menyakitkan dibandingkan siksaan dan pukulan rotan sekalipun. Biasanya mereka
bertanya-tanya tentang politik karena umumnya berpretensi sebagai ahli politik.

	Suatu kali Joesoef ditanya soal komunisme-marxisme, kemudian ia menjawab yang
sebenarnya tentang hal tersebut, namun jawaban itu disanggah dan dipersalahkan.
Mereka bertanya-tanya lagi soal historis-materialisme lantas dijawab lagi, namun
mereka mengatakan ngelantur dan tak bisa dimengerti.
	"Jadinya saya harus ngomong apa?" tanya Joesoef jengkel.
Interogator itu lantas berceramah ke sana kemari tanpa ujung-pangkal, di mana
Joesoef terpaksa harus menelan mentah-mentah tentang semua yang diocehkan
interogator itu.

	Dalam kaitan ini Pramoedya Ananta Toer pernah juga mengalami hal yang sama
dengan Joesoef, terutama sewaktu menjalani interogasi di Kejaksaan Agung setelah
berceramah di kampus UI beberapa tahun selepas dari Pulau Buru. Interogator itu
adalah seorang satgas Kodam Jaya (sebut saja Beni) bertanya-tanya soal
komunisme-marxisme-leninisme.

	Pramoedya mencoba untuk menjawab sebenarnya dengan panjang-lebar, namun ketika
sampai separuh penjelasannya, serta-merta dipotong oleh Beni:
	"Sudah Pak Pram, sudah, jangan panjang-panjang…"
	"Lho? Sudah apa? Keterangan saya belum habis?"
	"Pokoknya sudah, cukup, jangan diteruskan. Nanti malah merepotkan Pak Pram
sendiri."
Seketika itu interogasi dinyatakan selesai, dan Pramoedya pulang dengan dahi
mengernyit penuh tanda-tanya.

	Suatu hari ia bertanya kepada Joesoef tentang apa yang dialaminya sewaktu
interogasi di Kejaksaan Agung.
	"Mengapa keterangan saya dipotong begitu saja, padahal dia sendiri yang butuh
keterangan saya…"
	"Dia siapa?" tanya Joesoef.
	"Si Beni!" teriak Pram, "dia tanyakan tentang komunisme-marxisme-leninisme,
lanatas jawaban saya main potong begitu saja? Apa artinya itu!"
Serta-merta Joesoef tertawa lirih, kemudian disampaikan penjelasan bahwa ia
mengenal siapa itu Beni, yang ternyata adalah seorang satgas intelijen di Kodam
Jaya, dan dulunya seorang anggota PKI yang menyeberang ke kubu Soeharto.

	Joesoef bisa mengerti mengapa Pramoedya bertanya-tanya tentang soal itu, yang
tak lain karena ia memang belum pernah berada di kubu PKI. Pramoedya adalah
seorang sastrawan yang sangat ulet dan tekun, dan-dalam beberapa
hal-pengetahuannya memang terbatas dalam soal lapangan berpolitik.
	Seketika itu Joesoef mencoba untuk bergurau bersama Pramoedya:
	"Mestinya Bung 'berterimakasih' kepada si Beni itu…"
	"Alah, tai kucing!"
	"Biarpun dia Orde Baru tapi dia sudah berusaha mengamankan Bung dari…"
	"Sudah Joesoef, sudah, jangan diteruskan."
Dan Joesoef pun tertawa terpingkal-pingkal.
					***
15. Kesejahteraan di penjara

Laporan-laporan mengenai perlakuan kasar para petugas militer terus diterima
dari berbagai sumber. Berita-berita kekerasan sambung-menyambung tak ada
henti-hentinya, dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun. Tidak jarang
kekerasan itu ditimpakan kepada tapol-tapol wanita di Jawa, Sumatera, Sulawesi
dan beberapa daerah lainnya. Kabarnya seorang tapol wanita di penjara Bulu
Semarang, telah mengalami pemerkosaan oleh beberapa petugas penjara, namun kabar
itu kemudian terputus karena tidak ada informasi lanjutan mengenai tindakan
hukum atas perlakuan para petugas itu.

Di Pulau Buru beberapa tapol dikabarkan mati karena penyakit malaria, meski
tidak jarang juga yang sakit karena perlakuan kasar para petugas militer. Di
suatu penjara di wilayah Jawa Tengah diterima kabar mengenai beberapa tapol yang
mati bunuh diri. Namun apakah betul mereka telah mati karena bunuh diri atau
karena penganiayaan? Hal itu pun menjadi sulit dikonfirmasi karena berita yang
dikabarkan cuma bersandar pada satu sumber yang berat-sebelah, yang tak lain
dari pernyataan-pernyataan politik dari pihak militer yang berkepentingan.

Kekerasan demi kekerasan menjadi tidak asing lagi di telinga Joesoef, karena ia
sendiri seringkali menyaksikan penganiayaan berlangsung di depan mata-kepalanya.
Bahkan ia pun pernah berhari-hari tak bisa makan karena membayangkan jeritan dan
rintihan seorang tapol yang dianiaya, layaknya suara seekor domba yang sedang
disembelih.
Berita-berita semacam itu akhirnya menjadi suatu "insting" yang mengendap di
alam bawah sadar, dan karenanya tak mengherankan bila kesejahteraan yang
diberlakukan di semua penjara tapol menjadi serba serampangan dan
sewenang-wenang.
				***

Pada tahun-tahun terakhir muncul pula kabar dari Tangerang dan Plantungan bahwa
beras yang disediakan dari penjara konon telah dicampuri dengan pasir dan
kerikil. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa beras tersebut-secara
sengaja-dicampuri dengan pecahan-pecahan beling yang dihaluskan. Hal ini menjadi
sulit pula untuk dibuktikan, kecuali kejadian yang menyusul bisa dipersatukan,
yakni tentang adanya dua kuburan di Plantungan, yang tak lain dari kuburan dua
tapol wanita yang mati karena kekurangan gizi.
Apa yang dialami Joesoef di penjara Salemba menjadi berat untuk terbantahkan,
karena penyediaan beras itu memang bersumber dari mutu terburuk dari simpanan
nasional. Stok beras itu sudah kotor dan busuk, dan-karenanya-daripada negara
menjadi dirugikan, maka lebih baik diberikan sajalah kepada ribuan tapol yang
berserakan di mana-mana.
"Secara pribadi, bila hidup saya hanya mengandalkan beras dari penjara,
bisa-bisa saya mati karena kekurangan gizi."
Dan untuk menunjang kecukupan gizi yang diperlukan bagi tubuhnya, Joesoef
menerima kiriman makanan dari rumah, paling sedikit dua atau tiga kali setiap
bulannya. Dalam soal ini ia memandang kawan-kawan tapol di Pulau Buru justru
lebih menguntungkan dibandingkan di Salemba. Soalnya kesempatan mereka untuk
memperoleh makanan bergizi masih cukup leluasa ketimbang hidup dalam kurungan
penjara.
Di Pulau Buru para tapol masih bisa mencari buah-buahan di hutan, di samping
buah-buahan yang ditanam sendiri, juga masih bisa berburu binatang untuk
memperoleh makanan. Bahkan di musim hujan ikan-ikan sangat mudah didapat dari
sungai-sungai, karena seumumnya masyarakat setempat tidak menjadikan ikan sungai
sebagai makanan harian mereka.

Sedangkan di Salemba, kemudahan-kemudahan seperti itu sangat tidak dimungkinkan,
dan karenanya setiap apa yang diperlukan untuk tubuh semuanya harus dibayar
dengan uang-yang tentunya menjadi tanggungan dan beban tambahan bagi pihak
keluarga di rumah.
				***

Bersambung kebag. 5/10

-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-m: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
Nasional-a:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
Nasional-e:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-e/
------------------Mailing List Nasional------------------