[Nusantara] Jalan Panjang Menuju Ketokohan

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Dec 24 03:12:29 2002


Jalan Panjang Menuju Ketokohan 

Toeti Adhitama, Ketua Dewan Redaksi Media Indonesia 

INDONESIA memerlukan tokoh-tokoh besar--great
leaders--untuk memimpin rakyat keluar dari kemelut
sekarang ini. Tidak harus sekaliber Churchill,
politikus Inggris yang menjadi arsitek utama aliansi
Inggris, Amerika, dan Uni Soviet yang berhasil
menaklukkan Jerman dalam Perang Dunia II; yang juga
intelektual ulung pemenang hadiah Nobel di bidang
sastra tahun 1953. 

Tidak pula harus sekaliber Roosevelt yang mencetuskan
gagasan New Deal, yakni program rekonstruksi sosial
dan ekonomi Amerika (1933-39) untuk mengatasi Depresi
Besar, dengan cara intervensi intensif oleh pemerintah
pusat di bidang perekonomian. Walaupun program
tersebut tidak sepenuhnya berhasil mengatasi resesi
ekonomi Amerika waktu itu, gagasan itu nantinya
menjadi landasan manajemen ekonomi dan jaminan
kesejahteraan sosial oleh pemerintah pusat. 

Untuk Indonesia saat ini, ''Kita memerlukan
tokoh-tokoh besar yang memiliki aura spiritual,
kewibawaan, integritas, dan kecerdasan intelektual
maupun emosional,'' kata Dr J Kristiadi, salah seorang
pembicara dalam seminar CSIS dua hari lalu bertema
Pemilu 2004: Bisakah Menjadi Terobosan bagi
Demokratisasi. Dia menjelaskan lebih lanjut,
persyaratan itu diperlukan karena infrastruktur
perpolitikan yang ada tidak lagi dapat diandalkan.
Yang dia maksudkan, lembaga-lembaga legistlatif,
yudikatif, dan eksekutif tidak lagi kondusif untuk
usaha perbaikan keadaan. Maka, kalau tokoh yang
memimpin tidak mampu berbuat banyak di luar kemampuan
infrastruktur yang lemah itu, atau hanya mengandalkan
bantuan infrastruktur seperti adanya sekarang, usaha
memperbaiki keadaan sulit berhasil. 

Masalahnya lagi, dengan UU Parpol dan RUU Pemilu yang
cenderung menghambat tumbuh-kembangnya partai-partai
baru yang berpotensi menawarkan alternatif
kepemimpinan nasional, apa yang dapat diharapkan?
Seperti dijelaskan oleh pembicara lainnya, A Teras
Narang SH dari PDIP, persyaratan untuk partai politik
antara lain: dia memunyai kepengurusan
sekurang-kurangnya 50% dari jumlah provinsi, 50% dari
jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang
bersangkutan, dan 25% dari jumlah kecamatan pada
setiap kabupaten/kota itu. 

Sedangkan menurut RUU Pemilu, partai politik berhak
mengikuti pemilu (untuk memilih anggota DPR dan DPRD)
bila memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di
dua pertiga dari jumlah provinsi, dua pertiga dari
jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan,
dan memiliki sekurang-kurangnya 1.000 orang pada
setiap kepengurusan partai politik di tempat-tempat
tersebut. 

Walaupun sampai saat ini telah terdaftar tak kurang
dari 225 partai politik, dapat dipastikan banyak di
antaranya akan gugur sebelum masuk pemilu. Apalagi,
seperti dikatakan Syamsuddin Haris MA, pembicara dari
LIPI, UU Parpol tidak memfasilitasi peluang bagi
partai-partai untuk saling bergabung atau berkoalisi. 

Kalau situasinya tetap seperti sekarang, alhasil kita
tidak dapat banyak berharap dari Pemilu 2004. Artinya,
yang ditawarkan kepada kita adalah orang-orang yang
(berkaliber) sama untuk memimpin negeri ini karena
dominasi partai-partai politik yang sama. Kita cemas,
bagaimana kalau tokoh-tokoh itu berkinerja dan
berperilaku sama seperti waktu-waktu lalu. Artinya,
kita tidak akan mendapatkan tokoh-tokoh besar yang
beraura spiritual, berwibawa, dan penuh integritas. 

Jalan menuju ketokohan adalah perjuangan panjang.
Sekadar contoh: Djafar Assegaff, wakil pemimpin umum
harian ini, pertengahan minggu ini memperingati ulang
tahunnya yang ke-70. Ekspose singkat perjalanan
kariernya sekitar setengah abad, yang disampaikan pada
acara itu menunjukkan: dia mendapat sebutan tokoh pers
bukan hanya karena pendidikan jurnalistik yang
diperolehnya dari UI. Bukan pula hanya karena
keterampilannya menjadi news-gatherer, reporter, dan
editor. Hanya sederetan buku yang ditulisnya maupun
sederetan posisi jabatan pemimpin redaksi yang pernah
dipegangnya pun tidak menjaminnya mendapat sebutan
tokoh pers. Hanya kecanggihan melobi dan mendekatkan
diri dengan tokoh-tokoh politik maupun militer, dan
keterlibatannya langsung dalam organisasi profesi
maupun dunia politik yang membawanya pada jabatan duta
besar, juga bukan jaminan. Dia disebut tokoh pers
karena perpaduan itu semua. Bukan semata karena
kinerja kewartawannya. Jalan panjang yang
menggairahkan sekaligus melelahkan, tentunya. 

Sama halnya untuk dunia politik dan kekuasaan.
Menghadapi tantangan masa depan yang menyangkut
integrasi politik dan ekonomi nasional maupun
globalisasi, kita butuh tokoh-tokoh besar yang bukan
hanya menawarkan karisma, atau hanya menawarkan
kecanggihan bermain politik. Demi demokratisasi, kita
mengharapkan tokoh-tokoh besar yang bijaksana, yang
memiliki integritas, peka terhadap yang dirasakan
rakyat, didengar dan mau mendengarkan tokoh-tokoh
lapis kedua dan seterusnya untuk ketajaman dan
perluasan wawasan dan opini, yang memiliki wibawa,
sehingga infrastruktur politik menghormatinya, dan
yang cerdas dalam mengatur kepintaran dan emosinya.
Persyaratan itu daftarnya bisa lebih panjang dan tidak
gampang. 

Tetapi, kalau beraspirasi untuk menjadi tokoh besar
dan/atau menjadi pemimpin nasional yang diagungkan
oleh sejarah dan dikenang dengan rasa sayang oleh
rakyatnya, itu bisa menjadi pedoman. Utopis,
memang.*** 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com