[Nusantara] "Fatwa itu Lemah, tapi Mengkhawatirkan" - TEMPO, 18 Des'02

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Dec 24 03:12:20 2002


Ulil Abshar-Abdalla: "Fatwa itu Lemah, tapi
Mengkhawatirkan" 

Sebuah pesan muncul di layar telepon genggam Ulil
Abshar-Abdalla ketika dia tengah meluncur ke Rembang,
Jawa Tengah, untuk berlebaran pada dua pekan silam.
Seorang teman di Surabaya mengirimkan pesan itu, yang
isinya tidak dipahami Ulil: “Bagaimana tanggapan Anda
tentang fatwa para ulama di Bandung?” 

Setelah tiba di rumah mertuanya, K.H. Mustafa Bisri,
muncul pesan lain. Kali ini lebih jelas, yaitu tentang
“fatwa hukuman mati”. Rupanya, fatwa itu dikeluarkan
oleh sekumpulan ulama. Karena tak berniat meresahkan
keluarganya--apalagi dalam suasana menjelang
Lebaran--Ulil memutuskan menyimpan informasi itu untuk
dirinya sendiri. Tapi pemberitaan di media massa
membuat Koordinator Jaringan Islam Liberal itu tak
bisa lagi menutupi hal itu. Mertuanya bahkan
memerlukan menulis sebuah "kolom penjelasan" di harian
yang sama pada awal Desember lalu untuk mengomentari
tulisan sang menantu. 

Fatwa hukuman mati itu berawal dari sebuah kolom
berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam pada 18
November 2002 di sebuah koran Ibu Kota. Ditulis oleh
Ulil, kolom itu memaparkan beberapa pemikiran tentang
Islam, yang kontan menyulut kontroversi di beberapa
kalangan. Reaksi paling keras datang dari Forum Ulama
Umat Indonesia di Bandung. 

Kisahnya begini. Pada 30 November lalu, serombongan
ulama dari Jawa Tengah dan Jawa Timur hendak
bersilaturahmi ke Jakarta, menghubungi K.H. Athian Ali
dari Forum Ulama Umat Indonesia di Bandung. “Mereka
tanya, bisa enggak mampir dulu ke sini sebelum ke
Jakarta,” tutur Athian kepada TEMPO melalui saluran
telepon. Athian menyilakan. 

Maka, berkumpullah 80-an ulama di Masjid Al-Fajr,
Bandung. Pertemuan yang tidak direncanakan itu
berlangsung hingga 1 Desember. Mereka membicarakan
penangkapan Amir Majelis Mujahidin Indonesia Abu Bakar
Ba’asyir, Perpu Anti-Terorisme, dan tulisan Ulil di
Kompas. “Setelah rembuk-rembuk, kami sepakat
mengeluarkan pernyataan,” kata Athian. Pada 2
Desember, pernyataan itu dibacakan di hadapan
wartawan. Menurut Athian, seruan yang mereka buat
bukan khusus ditujukan untuk Ulil. "Terlalu kecil jika
kami mengurusi dia,” katanya. 

Seruan hukuman mati bagi mereka yang menghina Islam
itu hanya poin ketiga dari empat butir sikap yang
ditandatangani sedikitnya 80 ulama dari Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur itu. Isinya, “Menuntut
aparat keamanan supaya segera membongkar jaringan dan
kegiatan yang secara sistematis dan masif menghina
Islam, Allah, dan Rasulullah.” 

Di bagian akhir pernyataan dicantumkan peringatan
bahwa, sesuai dengan syariat Islam, oknum yang
terbukti memutarbalikkan ajaran agama bisa dihukum
mati. “Kami mengutip bunyi syariat itu sebagaimana
adanya,” kata Athian. “Polisi seharusnya segera
menindaklanjuti seruan para ulama ini, sesuai dengan
delik penghinaan agama," Athian melanjutkan. Ulil
sendiri, selain menjadi "populer tiba-tiba", juga
mendapat tambahan kesibukan lain setelah fatwa itu
dikeluarkan. Telepon genggamnya tak pernah berhenti
berdering ataupun menampung pesan, dari yang
mendukung, mencaci-maki, mengancam, sampai sekadar
bertanya. 

Bagaimana Ulil menyikapi persoalan ini? Dan latar
belakang apa yang membuat Jaringan Islam Liberal
dilahirkan Ulil dan kawan-kawannya? Pekan lalu
wartawan Wahyu Dhyatmika dari Tempo News Room bersama
Bina Bektiati dan Hermien Y. Kleden dari TEMPO
mewawancarainya di Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur.
Berikut ini petikannya. 

******* 

Seriuskah fatwa hukuman mati untuk Anda? 

Saya tidak tahu apakah itu fatwa, karena mereka juga
tidak menyebutnya begitu. Taruhlah itu fatwa. Nah,
dalam dunia Sunni, fatwa tidak pernah bisa mengikat,
karena dunia Islam Sunni tidak mengenal struktur
sosial yang monolitik. Jadi, setiap fatwa yang
dikeluarkan bisa ada yang setuju, ada yang tidak. Itu
tidak apa-apa. Tapi ada juga bahayanya bagi struktur
sosial masyarakat Sunni yang longgar. Fatwa itu bisa
digunakan orang tak bertanggung jawab untuk
melaksanakan tindakan yang tak dikontrol. 

Seberapa mengikat fatwa hukuman mati tersebut? 

Menurut saya, lemah sekali. Tapi justru karena lemah
jadi mengkhawatirkan, bisa dilakukan siapa pun dengan
dalih “kan ada fatwa”. 

Bagaimana menjelaskan fatwa hukuman mati dalam kaitan
dengan kasus Anda? 

Orang-orang yang berpandangan literal terhadap Islam
punya logika masuk akal. Ada Quran, Hadis, dan contoh
kehidupan Nabi yang riil. Dan itu semua dipegang
sebagai sumber yang superior. Dalam hal ini, tidak ada
perbedaan antara saya dan mereka. 

Lalu, perbedaannya ada di mana? 

Pada bagaimana menafsirkan sumber itu. Mereka punya
aturan sendiri. Siapa yang melenceng dari penafsiran
dianggap melenceng dari ajaran yang benar, dari
ortodoksi. Nah, orang yang melenceng dari ortodoksi,
hukuman terberatnya adalah mati. Sebab, memang ada
sebuah hadis yang mengatakan orang yang murtad harus
dibunuh. 

Murtad dalam arti bagaimana? 

Secara harfiah, pindah agama. Secara lebih harfiah,
artinya orang yang “seperti kereta api, anjlok dari
relnya”. Orang yang menghina Nabi juga bisa dianggap
murtad. 

Menurut K.H. Athian Ali dari Forum Ulama Umat
Indonesia di Bandung, sebenarnya yang dianggap
“murtad” adalah Jaringan Islam Liberal. Bagaimana sih
konteks sosial kemunculan Jaringan Islam Liberal? 

Setelah reformasi, banyak bermunculan kelompok Islam,
baik berupa partai politik maupun organisasi massa.
Salah satu gejala yang menurut saya menarik, mereka
menjadikan Islam sebagai agenda pokok mereka sekaligus
sebagai daya tarik untuk umat. Sebagian di antara
kecenderungan kelompok Islam setelah reformasi ini
mencemaskan, bahkan berbahaya. 

Misalnya? 

Mempolitisasi agama. Ini menurut saya berbahaya. Atau,
menggunakan agama untuk menanggapi suatu masalah
tertentu dan kemudian Islam dijadikan semacam alat
penjelas dan alat untuk menyelesaikan masalah.
Celakanya lagi, belakangan muncul isu kekerasan--dalam
hal ini jihad. Isu jihad muncul, antara lain, sebagai
salah satu peranti theologis untuk mengesahkan
penggunaan kekerasan berdasarkan agama. Ini amat
menggelisahkan kami. 

Dan memicu Anda membentuk Jaringan Islam Liberal? 

Salah satu tujuan pendirian jaringan ini memang secara
"provokatif" melakukan counter terhadap
gerakan-gerakan Islam fundamentalis, radikal, dan
ekstrem yang muncul setelah reformasi, yang kerap
melakukan reduksi atas pesan-pesan Islam. Ini membuat
kita sedih sekali. Amat menyedihkan kalau Islam
dijadikan alasan pembenar untuk kekerasan. Korbannya
bukan hanya orang-orang di luar Islam, tapi juga orang
dalam Islam sendiri. 

Orang Islam sendiri? Maksud Anda? 

Sekarang, misalnya, kelompok Islam radikal ini lebih
memandang kawan seagama yang berbeda pendapat sebagai
musuh yang lebih serius dibanding orang-orang yang
berbeda agama. Contohnya ada. Kelompok Ikhwanul
Muslimin di Mesir, juga kelompok lain di Afrika Utara,
Aljazair. 

Bagaimana Anda mendefinisikan gerakan Islam radikal? 

Islam radikal itu kombinasi dari beberapa hal.
Pemahaman keagamaannya literal, harfiah, memandang
kelompoknya sebagai yang paling benar dan kelompok di
luar dirinya--entah yang berbeda agama ataupun seagama
tapi berbeda pandangan--sebagai yang salah. Mereka
juga mengesahkan penggunaan kekerasan untuk
mengeliminasi orang yang berbeda. 

Jadi, ciri radikalisme Islam ditandai oleh beberapa
hal ini? 

Ya, saya kira tiga hal ini adalah kombinasi yang
biasanya mengemuka dalam sejumlah kelompok yang kita
sebut sebagai Islam radikal. Pandangan seperti ini
bisa Anda temukan pada diri Imam Samudra atau Abu
Bakar Ba'asyir, misalnya. Ba'asyir juga menjadi orang
yang paling getol menganjurkan penerapan syariat
Islam. Nah, pandangan radikal ini ada pada
kelompok-kelompok inilah. 

Anda menganggap mereka radikal? 

Saya dengan tanpa reserve menyebut mereka semua
sebagai kelompok radikal karena mereka disamakan oleh
pandangan itu, pandangan yang ingin menciptakan
replika kehidupan Nabi dalam zaman modern ini, tanpa
ada keharusan untuk melakukan modifikasi, revisi,
transfer kembali--yang menjadi inti penafsiran Islam
literal. 

Bagaimana Anda melihat fenomena perusakan berbagai
tempat hiburan oleh organisasi Islam tertentu? 

Orang-orang dari Front Pembela Islam, misalnya. Mereka
melakukan tindakan itu karena dimotivasi oleh suatu
teks agama, sebuah hadis Nabi yang mengatakan, "Kalau
kalian melihat suatu kejahatan, ubahlah dengan tangan.
Kalau tidak bisa dengan tangan, dengan ucapan. Kalau
tidak bisa juga, dengan hati dan keyakinan." Nah,
“menghentikan dengan tangan” ini ditafsirkan sebagai
menggunakan kekuasaan atau kekuatan riil. Penafsiran
itu, selain vulgar, sebetulnya tidak dibenarkan dalam
tradisi Islam. 

Bukankah tindakan itu dilakukan dengan alasan
menegakkan amar makruf nahi munkar--mencegah tindakan
yang keji? 

Mari kita tengok sejumlah tafsir atas hadis itu dalam
tradisi pemikiran Islam klasik. Imam al-Ghozali,
misalnya, mengatakan salah satu syarat untuk melakukan
amar makruf nahi munkar adalah menggunakan cara yang
tidak menimbulkan kejahatan yang lebih besar lagi.
Kalau Anda menggunakan metode yang menimbulkan
kejahatan lebih besar lagi, itu tidak boleh. 

Anda punya pandangan sendiri tentang hal ini? 

Ini kontra-argumen saya: tindakan perusakan seperti
itu akan menimbulkan citra yang buruk bagi Islam
secara keseluruhan. Itu jauh lebih jahat daripada
kejahatan minum minuman keras, misalnya. Itu salah
satu bentuk pemikiran Islam yang literal. Bagi saya,
pemahaman Islam yang harfiah seperti itu adalah
pemahaman yang tidak mempertimbangkan sama sekali
konteks sejarah, juga konteks sosial yang
berubah-ubah. 

Kalau Anda menolak pemahaman itu, lalu pemahaman apa
yang ingin Anda "promosikan”? 

Pemahaman Islam yang menganggap agama sebagai suatu
organisme yang hidup, berinteraksi dengan kehidupan
sosial, tidak terisolasi dari situasi sosial yang
terus berubah, yang tidak menganggap seolah-olah
kehidupan sosial itu bisa disesuaikan sepenuhnya
dengan teks agama. 

Situasi macam apa yang membuat pemahaman Islam radikal
tumbuh subur? 

Situasi sosial-politik menjadi faktor dominan penyebab
orang bisa tertarik mengikuti pemikiran Islam radikal.
Tapi, menurut saya, menjelaskan munculnya pemikiran
yang radikal tidak cukup hanya berdasarkan konteks
politik, seperti hegemoni Barat dan penyingkiran umat
Islam. Ada faktor lain yang harus ditambahkan, yaitu
paham keagamaan itu sendiri. 

Sebab, seperti hegemoni Barat, ada yang menanggapinya
dengan cara yang produktif tapi ada juga yang
kontra-produktif. Toh yang mengalami kesengsaraan
karena hegemoni Amerika Serikat bukan hanya orang
Islam. Orang Amerika Latin mengalaminya juga. 

Yang dimaksud kontra-produktif? 

Orang Islam cenderung menoleh keluar untuk mencari
akar masalah yang sebetulnya ada pada tubuh mereka
sendiri. Mereka selalu menyalahkan orang lain
ketimbang mencari penyakit atau borok dalam tubuh
mereka. Padahal kesalahan kita banyak, misalnya
pemahaman yang menempatkan Islam seolah-olah sebagai
unit sosial yang terpisah sama sekali dari yang
lain-lain, “kami” dan “mereka”. 

Benarkah kelompok Islam militan ini kian berkembang
pasca-reformasi? 

Sepertinya memang ada indikasi ke sana, semacam ada
new Islamic movement yang berbeda dengan Muhammadiyah
dan NU. Tapi kebetulan mereka merumuskan pemahaman
Islam yang, menurut saya, lucu. Yaitu, mereka punya
pandangan yang harfiah soal jilbab, qisash (hukum
pidana), hukum rajam. 

Pandangan yang tidak menyediakan ruang bagi perbedaan
kelompok pada Islam radikal adalah pandangan yang
populer dalam situasi tertentu, tapi sifatnya
sementara. Dalam masyarakat yang demokratis, saya
optimistis pandangan ini akan terpinggirkan. 

Benarkah Anda sedang menyiapkan metodologi Islam
liberal? 

Ya, saya memang sedang menuliskannya. Secara sporadis
sudah saya sampaikan dalam bentuk diskusi ke
teman-teman, tapi saya ingin membuatnya dengan
ringkas. 

Bisa beri beberapa detail? 

Seperti yang sudah saya uraikan tadi, membedakan
antara Islam dan kultur Arab, antara Islam sebagai
nilai dan Islam sebagai artikulasi nilai-nilai itu
dalam konteks historis yang spesifik. Ada cara-cara
lain yang harus dikembangkan terus-menerus sesuai
dengan keadaan umat Islam. 

Bagaimana Jaringan Islam Liberal menyikapi penerapan
syariat Islam? 

Syariat Islam harus ditafsirkan secara substansial dan
menjadi urusan masyarakat sendiri. Artinya, jangan
memaksakan pilihan sebuah kelompok pada semua orang,
Kalau ada orang memakai cadar, berjilbab, oke. Apa
bedanya orang yang bercadar sebagai pilihan dengan
orang yang memakai jins juga sebagai pilihan? Cara
pandang yang paling baik atas Islam dan syariat Islam,
menurut saya, adalah yang dipakai NU dan Muhammadiyah
itu. 

Bisa Anda rumuskan seperti apa? 

Yaitu menganggap semua ini perkara masyarakat. Jadi,
negara jangan diikut-ikutkan. Kalau NU dan
Muhammadiyah mau punya seragam sendiri, silakan. Tapi,
kalau itu diresmikan dalam peraturan daerah atau
undang-undang, ya tidak bisa. Ini penting sekali. Cara
pandang yang saya kritik adalah yang menyebutkan Islam
adalah agama dan negara. Saya mengajukan, harus
dipisahkan antara agama dan politik--ini untuk menjaga
kesucian agama itu sendiri. 

Kembali ke soal fatwa hukuman mati. Sejak kapan muncul
reaksi terhadap artikel Anda? 

Langsung. Via telepon, SMS, E-mail. Yang marah
biasanya melalui SMS atau E-mail. Sampai tadi malam,
ada 15 E-mail dari satu orang yang melaknat saya.
Judulnya “kenapa Ulil pantas dapat palu godam”,
ha-ha-ha.... 

Sejauh ini mereka menunjukkan tanda-tanda akan
mewujudkan fatwa itu? Saya kira mereka sedang
mengumpulkan dukungan untuk fatwa itu. 

Seringkah pemikiran Anda mendapat reaksi begitu keras?


Yang secara langsung dan kolektif baru kali ini. 

Anda takut? 

Ketika mula-mula membaca berita (soal fatwa itu), saya
sedikit takut. Beberapa orang langsung menawarkan
pengawalan. Tapi saya lalu menganggapnya tidak serius.
Pertama, karena para ulama yang mengeluarkan fatwa itu
tidak cukup kredibel. Dan dua lembaga besar, NU dan
Muhammadiyah, kan tidak terlibat. Bahkan Partai
Keadilan pun tidak. Katanya, mereka mengutus seseorang
ke rapat itu, tapi saya tidak yakin itu pandangan
kolektif Partai Keadilan. 

Memangnya Anda sedang geram ketika menulis artikel
itu--seperti yang diduga oleh mertua Anda, K.H.
Mustafa Bisri? 

Memang tulisan itu provokatif dan agak
melebih-lebihkan. Tulisan itu adalah hasil perjumpaan
dan pergumulan pemikiran saya dengan teman-teman garis
keras dalam sejumlah diskusi. Misalnya dengan Ismail
Yusanto dari Hizbut Tahrir, Adian Husaini dari KISDI,
Hartono Ahmad Daib yang menulis buku Paham dan
Golongan Sesat di Indonesia. Pandangan mereka saya
anggap bercorak “gerakan Islam baru”, untuk membedakan
dengan gerakan Islam lama seperti Muhammadiyah dan NU.


***** 

Catatan: Artikel yang sama sudah diturunkan Majalah
TEMPO edisi 16 Maret 2002. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com