[Nusantara] "How Liberal Can You Go?"

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Dec 13 06:01:06 2002


"How Liberal Can You Go?" 

Ahmad Gaus AF

ANCAMAN serius bagi setiap pemikiran keagamaan adalah
kemandekan, kebuntuan, dan ketiadaan semangat inovasi.
Kondisi semacam itu akan menyebabkan agama kehilangan
relevansinya dengan zaman dan masyarakat yang terus
berubah. Pemikiran keagamaan dalam bentuk tafsir,
teologi, dan lebih-lebih hukum (fiqih), bagaimanapun
merupakan hasil interaksi dengan semangat zamannya. 

Maka, mandeknya pemikiran keagamaan akan berdampak
langsung pada irelevansi agama dan akhirnya
peminggiran agama dari denyut nadi kehidupan manusia. 

Itulah sebabnya, di setiap kurun waktu selalu ada
orang atau kelompok yang "gelisah" bahwa agama mereka
akan kehilangan elan vital untuk menyesuaikan diri
dengan-atau menjawab-tantangan zaman. Mereka berusaha
mempelopori perubahan dan melampaui pemikiran status
quo. Namun, gerakan semacam itu tidak selalu berjalan
mulus karena akan ditantang oleh mereka yang juga
"cemas" dengan kemurnian iman mereka apabila perubahan
dilakukan di wilayah-wilayah keagamaan. 

Sejarah kemunculan gerakan-gerakan keagamaan (Islam)
di Tanah Air dengan jelas menunjukkan hasrat kepada
perubahan di satu kutub, dan pada saat bersamaan
muncul perlawanan dari kutub lain yang mencoba
mempertahankan apa yang mereka anggap "kebenaran
mutlak" yang tidak bisa diganggu gugat. Contoh paling
mudah adalah Nurcholish Madjid ketika pada dekade
1970-an, ia dan teman-temannya mendeklarasikan
perlunya kelompok pembaru yang liberal. 

Melalui berbagai ceramah dan tulisannya, Cak Nur
mengajak umat Islam untuk melakukan
perubahan-perubahan yang mendalam supaya dapat
mengikuti perkembangan zaman. Ia mengajukan argumen
bahwa organisasi-organisasi Islam yang selama ini
mengklaim sebagai pembaru telah berhenti sebagai
pembaru, karena mereka tidak sanggup menangkap
semangat dari ide pembaruan itu sendiri, yaitu
dinamika dan progresivitas. Lebih jauh, menurut dia,
ide-ide dan pemikiran Islam yang diwadahi dan hendak
diperjuangkan oleh partai-partai Islam ketika itu
sudah memfosil, usang, kehilangan dinamika, sehingga
tidak menarik lagi. Karena itu, kemudian ia mengajukan
tesis: Islam Yes, Partai Islam No! 

Dalam makalahnya yang berjudul Menyegarkan Kembali
Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia,
ketua umum PB HMI dua periode ini juga mengkritik ide
Negara Islam yang menurutnya hanya merupakan suatu
apologi, yaitu apologi terhadap ideologi-ideologi
Barat modern seperti demokrasi, sosialisme,dan
komunisme. Sebagai apologi, ujarnya, pikiran-pikiran
itu hanya mempunyai efektivitas yang berumur pendek. 

Dua tesis itulah (Islam Yes Partai Islam No, dan Tidak
Ada Negara Islam), yang menyulut kontroversi
berkepanjangan. Tetapi, ia juga banyak diakui telah
menyegarkan kembali pemahaman Islam yang dianggap
telah lama membeku, dan seraya itu memberikan "rasa
aman teologis" bagi kaum Muslim tanpa harus bergabung
dengan partai Islam atau mendirikan negara Islam. 

SEMANGAT untuk menyegarkan kembali pemahaman Islam itu
pulalah tampaknya yang kini diwarisi oleh anak-anak
muda yang juga menyuarakan perlunya suatu pembaruan
yang liberal dalam pemikiran Islam. Dinyatakan oleh
koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil
Abshar-Abdalla dalam tulisannya, Menyegarkan Kembali
Pemahaman Islam. 

Dibandingkan dengan gerakan pembaruan pemikiran Islam
era 1970-an, apa yang dilakukan oleh Ulil Abshar dan
kawan-kawan di JIL sekarang ini jauh lebih agresif dan
maju, karena terorganisir dengan baik. Tema-tema yang
diangkat pun lebih beragam dengan melibatkan
narasumber berbagai tokoh yang dipandang sejalan
dengan, dan dapat mendukung, ideologi Islam liberal. 

Atas dasar itu, tidak heran jika Ketua PB-NU KH
Salahuddin Wahid pernah menyatakan bahwa JIL-yang
kebanyakan dipelopori oleh anakanak muda NU-jauh lebih
liberal dari Cak Nur. Kalau Cak Nur, katanya kepada
majalah Sabili Nomor 15, 25 Januari 2002, masih kental
dengan nuansa Islamnya seperti penggunaan istilah
masyarakat madani, sedangkan JIL menggunakan istilah
masyarakat sipil. Berbeda dengan Kiai Salahuddin, para
penentang JIL, cenderung berpendapat bahwa JIL itu
hanya kelanjutan belaka dari proyek dan ide-ide Cak
Nur. 

Mana yang benar, bukanlah soal yang terlalu penting.
Yang penting adalah sejauh mana ide-ide itu memang
mampu membangunkan tidur orang banyak, bukan sekadar
memancing kemarahan orang banyak. Dalam hal ini,
pilihan-pilihan isu tidak bisa diabaikan. Apa yang
membuat gerakan pembaruan pemikiran Islam era 70-an
begitu spektakuler dan gaungnya begitu kuat, tidak
lain karena pilihan isunya. 

Kalau saja waktu itu Cak Nur bicara soal hak waris,
kesaksian perempuan, jilbab, kawin antaragama, dan
yang setara dengan itu, mungkin proyek pembaruannya
tidak akan cukup berwibawa. 

Betapapun gerakan pembaruan ketika itu adalah gerakan
kultural, namun ia bisa menjadi counter political
discourse bagi pemikiran arus utama (mainstream) yang
tertanam kuat di benak para politisi dan aktivis Islam
tentang hubungan antara Islam, partai politik, dan
negara. Boleh dibilang bahwa perdebatan mengenai
hubungan ketiganya pada masa itu (Orde Baru) sudah
menemui jalan buntu. Kaum Muslim di-fait accompli
bahwa menjadi Muslim harus dengan sendirinya menjadi
pendukung partai Islam dan mendirikan negara Islam;
sebaliknya, rezim Orde Baru sangat alergi dengan
partai Islam dan ide-ide negara Islam. Penghadapan
antara umat dan rezim seakan-akan adalah zero sum
game. Di sinilah kehadiran gagasan pembaruan ketika
itu menemukan arti pentingnya; ia memberikan solusi
dan jalan keluar dari kebuntuan. 

APA yang diagendakan oleh gerakan Islam liberal
sekarang ini sebenarnya juga sebagian menyangkut
isu-isu struktural, seperti demokrasi dan penghargaan
kepada HAM. Dalam tingkat tertentu, isu-isu pinggiran
seperti soal jilbab, kawin antar- agama, dan
lain-lain, juga bisa ditransformasikan menjadi isu
struktural sehingga dampaknya langsung terasa.
Misalnya kasus jilbab. Memang benar bahwa seorang ahli
tafsir seperti Prof Quraish Shihab saja mengisyaratkan
bahwa jilbab itu budaya Arab. Yang bukan bangsa Arab
tidak terkena ketentuan untuk mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh. Perintah dalam Al Quran dan hadis
menyangkut ketentuan jilbab, kata Shihab, adalah
perintah dalam arti sebaik-baiknya, bukan perintah
wajib (Lihat, Wawasan Al Quran, 1996, tentang
Pakaian). Akan tetapi, yang harus menjadi agenda para
pejuang demokratisasi pemikiran keagamaan seperti JIL
bukanlah soal hukumnya wajib atau tidak (itu soal
interpretasi fiqih yang boleh berbeda), melainkan
memperjuangkan agar orang bisa melaksanakan apa yang
diyakininya sendiri tanpa paksaan. 

Sasaran kampanye JIL dalam hal ini bukanlah masyakarat
itu sendiri, tetapi institusi atau otoritas yang
membelenggu kebebasan masyarakat dalam menjalankan apa
yang diyakini dari ajaran agamanya. JIL, sekadar
contoh, tidak perlu mempengaruhi mahasiswa IAIN/UIN
untuk tidak berjilbab, karena itu akan percuma selama
institusinya sendiri mewajibkan jilbab. Artinya,
kampanye demokratisasi Islam harus diarahkan langsung
kepada sistem yang melingkupinya. 

Begitu juga sebaliknya. Lembaga atau otoritas yang
melarang perempuan Muslim memakai jilbab-seperti lazim
di masa rezim Orde Baru-juga harus dilawan, demi
persamaan hak yang dijunjung tinggi Islam liberal.
Bukankah prinsip liberalisme adalah "mekanisme pasar"?
Di sinilah diuji sejauhmana kalangan Islam liberal itu
sungguh-sungguh liberal dalam pandangan dan sikapnya.
How liberal can you go? 

Kasus lain. Kawin antaragama adalah juga isu
pinggiran, karena tidak menjadi mainstream dan
cenderung tidak tampak. Diakui atau tidak, sudah
banyak warga masyarakat yang melakukan kawin
antaragama, sekalipun mereka tahu kesulitan yang akan
mereka hadapi, misalnya dalam hal pencatatan
pernikahan mereka di kantor catatan sipil. 

Isu pinggiran ini akan menjadi isu publik apabila
agenda pemecahannya struktural. Misalnya, dalam Islam,
memisahkan kantor urusan agama (KUA) dengan catatan
sipil. Sehingga dengan begitu menghilangkan kendala
pencatatan bagi pasangan beda agama. Dalam konteks ini
perlu dipikirkan bahwa salah satu agenda Islam liberal
adalah mereduksi campur tangan (birokrasi) negara
dalam mengatur kehidupan umat beragama. Hal lain yang
bisa dilakukan adalah menyusun fiqih baru menyangkut
ketentuan kawin beda agama. 

Dua kasus itu sekadar contoh terhadap mana gerakan
Islam liberal bisa memainkan peran strategisnya.
Pendekatan baru adalah kata kuncinya. Bukankah Islam
liberal sendiri hanya old wine in the new bottle?
Karena itu, tanpa pendekatan baru, JIL tidak bisa
mengelak dari tuduhan bahwa agendanya hanya
mengulang-ulang proyek usang yang sudah ketinggalan
zaman. 

Akhirnya, dengan sedikit memperbandingkan gerakan
Islam liberal era Cak Nur dan kawan-kawan pada dekade
1970-an dengan era Ulil Abshar dan kawan-kawan pada
dekade 2000-an sekarang ini, bukanlah hendak
menegaskan supremasi, prestise, dan kelebihan yang
satu atas yang lain. Di setiap generasi, memang
seharusnya muncul pikiran-pikiran baru yang
menyegarkan. Gerakan pembaruan Cak Nur digulirkan pada
masa transisi masyarakat dan bangsa dari era Orde Lama
ke era Orde Baru, yang menyebabkan munculnya
tuntutan-tuntutan baru yang perlu diberikan
jawabannya. 

Gerakan Islam liberal sekarang ini juga digulirkan
pada era transisi dari rezim otoriter Orde Baru ke
Orde Demokrasi atau era kebebasan. Tantangan era
kebebasan sekarang ini pasti jauh lebih kompleks, dan
pasti pula membutuhkan pikiran-pikiran yang jauh lebih
liberal, yang lebih menyentakkan kesadaran banyak
orang, dan mengganggu tidurnya orangorang yang malas.
How liberal can you go? 

Ahmad Gaus AF Peneliti di Paramadina, Jakarta


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com