[Nusantara] Islam, Kekerasan, dan Teror

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Dec 13 06:00:40 2002


Islam, Kekerasan, dan Teror 

Oleh Abd Rohim Ghazali 

DALAM suatu Pengajian Ramadhan yang diadakan Pimpinan
Pusat Muhammadiyah di Jakarta, beberapa waktu lalu,
bertema "Islam, Terorisme, dan Globalisme". 

Tampil narasumber antara lain Azyumardi Azra (Rektor
Universitas Islam Negeri/UIN Jakarta), Din Syamsuddin
(Wakil Ketua PP Muhammadiyah, Sekretaris Umum MUI),
Bahtiar Effendy (dosen pascasarjana Ilmu Politik UIN
dan UI Jakarta), Douglas Ramage (The Asia Foundation),
Alwi Shihab (Ketua Umum PKB, mantan Menlu RI), Moeslim
Abdurrahman (cendekiawan Muslim, antropolog), Hidayat
Nurwahid (Ketua Umum Partai Keadilan), ZA Maulani
(Mantan Kepala Bakin, ahli teror), dan As’ad (Wakil
Kepala Badan Intelijen Negara/BIN). Sayang, Duta Besar
Inggris Richard Gozney yang direncanakan hadir, batal
karena mendadak ke Bali. 

Kesimpulan pendek dari "pengajian" itu, munculnya
kekerasan dan terorisme pada hakikatnya tidak terkait
dengan doktrin agama apa pun, termasuk Islam, tetapi
karena ketimpangan dan ketidakadilan politik global.
Dominasi negara adikuasa yang tak terkontrol dan
mengabaikan hukum internasional telah berdampak pada
lahirnya mekanisme kontrol yang inkonvensional, antara
lain dalam bentuk kekerasan dan teror. 

Kesimpulan itu sejalan pendapat ilmuwan kelahiran
Norwegia yang banyak mendapat penghargaan di bidang
kemanusiaan dan perdamaian, Johan Galtung. Meski dunia
kini ditandai dengan munculnya aliran-aliran
fundamentalisme, namun, menurut Galtung, teror-teror
dan kekerasan yang menonjol belakangan-seperti Teror
11 September 2002 dan lain-lain-terkait globalisasi
atau kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS). 

Dibanding serangan yang dilakukan teroris, kata
Galtung, terorisme negara yang dilakukan AS lebih
berbahaya karena menggabungkan fundamentalisme agama
dan fundamentalisme pasar. Serangan AS atas Afganistan
memenuhi kriteria tindakan teroris. Soal teror Bali,
Galtung melihat kemungkinan terkait dengan
fundamentalisme agama. Tetapi, katanya, pelaku belum
tentu fundamentalis Islam. (Kompas, 17/11/2002) 

Dengan menjawab dua pertanyaan berikut, tulisan
sederhana ini bermaksud mengelaborasi lebih jauh
kesimpulan pendek hasil pengajian itu. Pertama,
betulkah kekerasan atau terorisme tidak terkait
doktrin agama, khususnya Islam? Kedua, bila betul,
mengapa ada atau bahkan banyak orang melakukan
kekerasan atau teror dengan mengatasnamakan Islam? 

Islam dan kekerasan 

Satu sabda Rasulullah SAW yang amat populer,
"Barangsiapa melihat kemungkaran maka ubahlah dengan
tangannya, apabila tidak mampu (dengan tangan), dengan
lisannya, apabila tidak mampu (dengan lisan), dengan
hatinya. Dan (yang mengubah dengan hatinya) itulah
selemah-lemah iman." 

Berpedoman pada sabda inilah, Front Pembela Islam
(FPI) sering melakukan penyerangan atas tempat-tempat
hiburan yang dinilai sebagai sarang kemaksiatan.
Mengubah kemungkaran dengan tangan ditafsirkan dan
dimanifestasikan dengan tindakan kekerasan. Padahal,
amat jelas, fungsi tangan bukan hanya untuk tindak
kekerasan. Tangan diciptakan Tuhan untuk melakukan
kreasi-kreasi yang bermanfaat bagi kemanusiaan. 

Tangan juga bisa bermakna "kekuasaan" atau "otoritas".
Di tangan kekuasaan, ketentuan-ketentuan hukum
(konstitusi atau undang-undang) bisa lahir untuk
menjadi pedoman agar masyarakat tidak saling menyakiti
dan membunuh satu sama lain. Dan, sentuhan halus
tangan ibunda pun bisa menyadarkan anak-anak yang
durhaka. Pukulan tangan malah bisa berdampak
sebaliknya. 

Kekerasan, bagaimana pun bentuknya, bertentangan
dengan prinsip-prinsip Islam dan kemanusiaan
universal. Bahkan, dalam negara-negara Islam yang
menerapkan adanya hukuman pancung (bagi pembunuh
dengan sengaja), potong tangan (bagi pencuri dalam
jumlah tertentu), rajam alias dilempar batu sampai
mati (bagi pezina beristri/bersuami), dan hukuman
cambuk (untuk kesaksian palsu dan lain-lain), pada
hakikatnya merupakan hasil interpretasi/tafsiran
doktrin Islam, khususnya tafsiran dhahiry/literalis.
Tafsiran literalis inilah yang menurut Yusuf Qaradhawi
amat potensial melahirkan ekstremitas beragama. 

Sementara doktrin Islam yang qath’iy (pasti benar)
adalah adanya larangan keras untuk menyakiti sesama
makhluk. Membunuh seseorang, menurut Al Quran, sama
dengan membunuh manusia seluruhnya. 

Dalam sejarahnya, Rasulullah SAW beserta pengikutnya
banyak melakukan perang. Apa yang dilakukan Rasulullah
itu bahkan dilegitimasi dengan firman Tuhan yang
menganjurkan untuk berperang (harb) atau saling
membunuh (qital). Siapakah yang menjadi lawannya?
Inilah yang perlu dicermati. 

Lawan Rasulullah adalah para penindas dan pihak-pihak
yang diidentifikasi menunjukkan sikap permusuhan dan
tidak mau hidup damai berdampingan dengan Islam dan
kaum Muslimin ( QS 2:190-191, 216-217; 8:59-60;
9:36,38; 22:39-40; 33:60-62; dan 49:9-10). 

Selain itu, perlu dicatat, menurut Azyumardi Azra
(2002), ayat-ayat itu mengacu kelompok, bukan
individu. Kaum Muslimin dipandang kelompok, begitu
juga musuh-musuhnya. 

Artinya, dalam perspektif Islam, untuk tindakan
kekerasan terhadap individu sama sekali tidak ada
landasannya. Dan, masih menurut Azra, termasuk dalam
pengertian ini adalah pembunuhan atau bahkan sweeping
sekalipun terhadap individu-individu yang dianggap
representasi "kelompok" musuh-musuh Islam, sama sekali
tak bisa dibenarkan. 

Islam dan teror 

Dengan dalih Amerika Serikat adalah musuh Islam, Osama
bin Laden, dalam pidatonya yang disiarkan al-Jazira
Minggu (7 Oktober 2001) malam, menyatakan syukur
alhamdulillah atas tindakan teror yang
meluluhlantakkan menara kembar World Trade Center
(WTC) di Manhattan. "Amerika telah diserang Allah pada
titik terlemahnya," kata Osama. 

Baru-baru ini, Osama memuji tindakan teror bom di Bali
yang menewaskan banyak warga dari negara-negara yang
dianggapnya sebagai sekutu Amerika. 

Di depan penyidik, Amrozi, salah seorang yang disangka
pelaku peledakan bom di Kuta, Bali, merasa menyesal
dengan "hasil karyanya". Tetapi, penyesalan itu
menjadi tak berarti, bukan karena perbuatannya yang
dianggap salah, tetapi karena sasarannya salah, yang
banyak terbunuh bukan warga AS seperti yang
dikehendaki. 

Sebagaimana Osama, Amrozi melihat Amerika Serikat
sebagai musuh Islam. Artinya, baik Osama ataupun
Amrozi, samasama menganggap teror sebagai tindakan
lazim, bahkan suatu keharusan untuk melawan mereka
yang dianggap musuh Islam. 

Apakah dengan demikian bisa disimpulkan Islam
membenarkan teror? Tentu tidak! Betul bahwa Osama dan
Amrozi adalah pemeluk Islam, tetapi keduanya sama
sekali bukan representasi Islam. 

Kasus Osama dan Amrozi mungkin sama dengan kasus
pemboman Gedung Federal Alfred Murrah di Oklahoma City
tahun 1995 yang dilakukan Timothy McVeigh, seorang
Kristen warga negara Amerika. Tentu saja, McVeigh
bukan representasi Kristen atau Amerika. 

Alat politik 

Salah satu watak Islam, menurut Clifford Geertz, bukan
entitas yang otonom. Islam senantiasa tampil dalam
wajahnya yang beragam, searah keragaman sosiokultural
di mana pun Islam berada. Apalagi, sebagian besar
doktrin Islam (baik dari Al Quran maupun Hadis)
memberi kelonggaran lahirnya multi-interpretasi.
Karena itu, bisa dipahami jika teman-teman di Jaringan
Islam Liberal (JIL) menyebut Islam sebagai agama
"warna-warni". 

Namun, perlu dicatat, tidak semua "warna" Islam bisa
dibenarkan. Yang bisa dibenarkan hanya yang sejalan
dengan makna dan tujuan Islam, yakni kedamaian, untuk
kesejahteraan dan keselamatan bagi manusia dan seluruh
isi alam raya ini (rahmatan li al’alamin). 

Namun, masalahnya, selain Rasulullah, tidak ada
seorang pun di dunia yang memiliki otoritas mutlak
mengklasifikasi "warna" Islam mana yang benar dan
tidak. Celah ini potensial dimanfaatkan pihak-pihak
yang punya kepentingan (politik) untuk memenuhi
ambisinya. 

Maka tidak jarang kita temukan tindakan-tindakan
kekerasan yang mengatasnamakan Islam, dengan rujukan
dalil-dalil yang tentu sesuai selera politik pelaku
kekerasan. Dengan demikian, watak multi-interpretasi
Islam, selain bermanfaat, bisa berdampak negatif, bisa
dijadilan alat politik. 

Adakah cara yang efektif untuk meminimalisasi
kemungkinan interpretasi negatif itu? Yang paling
mungkin adalah melalui gerakan pendidikan dan dakwah
Islam yang humanis, yakni dengan memasyarakatkan
cara-cara menanamkan dan menyebarkan Islam yang
berpilar kemanusiaan, antikekerasan, dan antiteror. 

Barangkali, pendidikan dan dakwah semacam inilah yang
selama ini, antara lain, dikembangkan KH Abdullah
Gymnastiar alias Aa Gym. 

Abd Rohim Ghazali Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik
UI dan aktif di The Amien Rais Center 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com