[Nusantara] Islam, Terorisme, dan Moralitas Bangsa

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Dec 13 06:00:46 2002


Islam, Terorisme, dan Moralitas Bangsa 

Oleh: A Zaini Bisri 

PERAYAAN Idul Fitri yang lalu memberikan hikmah
khususnya bagi umat Islam di Indonesia. Penetapan 1
Syawal 1423 H yang berbeda (5 Desember dan 6 Desember)
selain menegaskan kebesaran Allah SWT (dengan
kesempurnaan-Nya dalam penciptaan alam semesta), juga
mengajarkan tasamuh (toleransi) dalam berlebaran. 

Sedangkan dari segi substansi Idul Fitri, Islam telah
mengajarkan takbir kepada umatnya. Saat adzan, mereka
mengumandangkan takbir, membesarkan asma Allah. Saat
iqamah, mereka mengucapkan takbir. Saat hendak memulai
shalat, mereka melafalkan takbir. Saat bayi
dilahirkan, mereka membisikkan takbir di telinganya. 

Saat menyembelih hewan mereka menyebut takbir. Saat di
medan laga mereka meneriakkan takbir. Dan saat
merayakan Idul Fitri tempo hari mereka memperbanyak
takbir. 

Kumandang takbir bagi umat Islam di Indonesia
menemukan momentum yang tepat. Gema takbir saat ini
bukan hanya ungkapan rasa syukur dan rasa takjub
kepada Sang Pencipta. Di dalam takbir juga ada terapi
untuk mengangkat kembali harkat umat Islam dan
mengobati luka-luka bangsa kita. 

Pada saat keadaan umat Islam, bangsa dan negara kita
yang terhina seperti saat ini, maka takbir menyadarkan
kembali besarnya kekuasaan Tuhan dan kecilnya
kewenangan manusia. Menyadari kekuasaan Tuhan akan
membuka kembali harapan bagi bangsa kita untuk bangkit
dari keterpurukan. 

Surah Ali Imran ayat 26 berbunyi, "Katakanlah: Wahai
Tuhan yang memiliki kerajaan. Engkau berikan kerajaan
kepada orang yang Engkau kehendaki, serta Engkau cabut
kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau
muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
hinakan orang yang Engkau kehendaki. Dan hanya di
tangan Engkaulah segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau
Mahakuasa terhadap segala sesuatu." 

Bencana Terorisme 

Saat ini umat Islam di seluruh dunia yang secara
politik, ekonomi dan budaya dalam keadaan lemah,
menjadi makin tersudut oleh isu terorisme global. Isu
ini telah membuat umat Islam yang selama ini terpecah
belah, makin menjadi tercerai berai. 

Perpecahan akibat isu terorisme itu merupakan fitnah
(bencana) besar. Bukan semata-mata terorismenya yang
jadi pokok masalah, tetapi dampaknya terhadap citra
dan kehidupan komunitas muslim. 

Terorisme dalam pengertian paham kekerasan, bukan
bagian dari ajaran Islam. Karena itu stigma bahwa
Islam identik dengan teroris akan menyedot energi dan
sumber daya umat Islam di seluruh dunia. Setiap muslim
merasa diteror dan banyak energi akan habis hanya
untuk mereposisi ajaran Islam. 

Terapinya adalah umat Islam harus kembali ke jalan
Allah, senantiasa mewaspadai segala sesuatu di balik
isu terorisme, dan merajut kembali ukhuwah islamiyah. 

Abdullah bin Mas'ud berkata, "Rasulullah SAW membuat
satu garis di hadapan kami, kemudian beliau bersabda,
'Ini adalah jalan Allah.' Setelah itu beliau membuat
beberapa garis lain (yang bengkok) di kiri-kanan garis
yang pertama (yang lurus), seraya bersabda, 'Ini
adalah beberapa jalan, di atas setiap jalan ada setan
yang mengajak ke jalan itu.' Kemudian beliau membaca
ayat 153 Surah Al-An'am." 

Mengapa harus kembali ke jalan Allah? 

Seorang muslim yang menjadi teroris perlu meninjau
kembali pemahaman agamanya. Dia harus memahami Islam
seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dalam
bingkainya yang utuh, bukan dari sudut tertentu saja.
Jelasnya, dia perlu merekonstruksi kembali moralnya.
Banyak hadis Nabi SAW yang mendefinisikan pengertian
"mukmin" dan "muslim" dari aspek moralitas. 

Begitu pula umat Islam secara umum perlu kembali
kepada substansi moralitas Islam, bukan hanya terbatas
pada retorika atau formalitas. Banyak indikasi
terjadinya demoralisasi baik di kalangan elite umat
Islam maupun kalangan awam. 

Pada lapisan grass root, banyak orang mulai kehilangan
identitas kultural dan religiusnya. Sejak krisis mulai
berlangsung, orang mudah menyakiti orang lain,
membacok, membakar, membunuh, dan membuat kerusakan
serta teror. 

Pengangguran, kemiskinan, dan kesulitan hidup rupanya
telah membuat banyak orang terjatuh ke dalam
keterasingan, ketidakberdayaan, dan keputusasaan.
Orang tidak peduli lagi siapa dirinya dan tidak
bersandar lagi pada ajaran luhur agamanya. Semua itu
seakan membuktikan kebenaran hadis Nabi,
"Kaada'l-fakru an-yakuuna kufran" (Kemiskinan
mengantarkan pada kekufuran). 

Di kalangan elite, ada tokoh Islam yang dengan enteng
ikut-ikutan menuding muslim lainnya sebagai teroris,
bahkan menjelek-jelekkan nama seseorang dan pesantren
tertentu. Padahal belum jelas benar apakah orang itu
teroris dan pesantren dimaksud sebagai sarang teroris.


Tokoh itu mungkin lupa tuntunan Alquran (Surah
Al-Hujurat: 12), yakni kita jangan mudah berprasangka
dan menuduh. Nabi juga bersabda, "Mencaci maki seorang
muslim adalah perbuatan fasik, sedang membunuh seorang
muslim adalah tindak kekufuran." (HR Bukhari dan
Muslim). 

Ada pula elite Islam yang komentarnya mengenai
penegakan syariat Islam justru kian memicu terorisme.
Dia bahkan mengatakan tidak ada sistem politik Islam,
sistem budaya Islam, sistem ekonomi Islam, dan
seterusnya. Sistem-sistem itu adalah bumerang bagi
umat Islam. 

Penilaian seperti itu akan didengar sebagai provokasi
dan bisa membuat marah sebagian muslim lainnya.
Disamping itu, ketika sistem perbankan syariah dan
lainnya kini justru dilirik para bankir konvensional,
komentar tersebut terlihat kurang cerdas. 

Demoralisasi Pemerintahan 

Kebijakan sebagian pemerintahan negara Islam atau
negara yang mayoritas penduduknya muslim, pascatragedi
11 September 2001, juga mengalami demoralisasi. Mereka
hanya memanfaatkan isu terorisme untuk mempertahankan
kekuasaannya. 

Pemerintah Pakistan misalnya, terlihat hanya
"mengikuti gendang AS". Sedangkan pemerintah Malaysia
memanfaatkan isu terorisme untuk menekan oposisi,
antara lain dengan memasang kamera video dan tape
recorder di masjid-masjid di Kedah. 

Sungguh tragis bila isu terorisme telah menjadi
komoditas politik dan kekuasaan saja. Apalagi bila
akhirnya yang menjadi korban adalah rakyat muslim di
negara muslim. 

Mudah-mudahan hal itu tidak terjadi di Indonesia.
Bantuan AS sebesar 50 juta dolar untuk memerangi
terorisme jangan sampai menjadi palu godam untuk
menindas rakyat sendiri. Tangkaplah teroris tapi air
tidak boleh keruh. Jangan sampai perbuatan kalap
segelintir oknum muslim menjadi tanggung jawab seluruh
orang Islam. 

Begitu pula jangan sampai pemerintah Indonesia
mencontoh kegagalan pemerintah AS dalam memerangi
terorisme dunia. AS telah gagal pada awalnya dan pada
akhirnya karena standar ganda. Berapapun uang yang
dihabiskan untuk propaganda dan reklame, tetap saja
orang tidak percaya bahwa "perang" itu tidak ditujukan
kepada orang Islam. 

Sayangnya, ada saja muslim yang meyakini seakan-akan
Islam akan hancur oleh AS. Mereka tidak yakin dengan
jaminan Allah dalam Surah At-Taubah ayat 33. Mereka
juga tidak menyadari bahwa Islam akan kehilangan
cahayanya karena kelemahan umat Islam sendiri. (18) 

- A Zaini Bisri, wartawan Suara Merdeka di Semarang. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com