[Nusantara] Fenomena Sony, Lonceng Keterpurukan Ekonomi Indonesia

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Wed Dec 11 06:48:20 2002


Fenomena Sony, Lonceng Keterpurukan Ekonomi Indonesia 

Oleh Hubertus Ubur 

Masih sesak napas akibat tragedi bom Bali yang telah
merenggut jiwa sehingga disebut tragedi kemanusiaan,
kita dikejutkan lagi oleh berita tentang ” raksasa”
elektronik, Sony. Cabang Indonesia perusahaan
transnasional itu akan ditutup bulan Maret tahun 2003.


Sebenarnya apa yang terjadi adalah Sony melakukan
relokasi pabrik atau keluarnya investor Jepang itu
dari Indonesia. Sampai saat ini Sony memiliki sekitar
70 pabrik Sony yang tersebar di seluruh dunia, dan
kini mereka hendak menguranginya menjadi hanya 54
pabrik. Seperti diketahui, Sony Corporation pada akhir
bulan November lalu melontarkan niat hendak menutup
pabrik audionya di Indonesia. Langkah yang akan
direalisasikan pada bulan Maret tahun depan itu bakal
membuat 1.100 buruhnya menganggur. Ada apa gerangan?
Pihak Sony mengatakan kebijakan ini diambil demi
efisiensi dan efisiensi itu dapat meningkatkan daya
kompetitifnya di pasar lokal dan global. Percayakah
kita pada alasan yang diberikannya? Tentu saja tidak! 

Pertama, karyawan Sony yang berlokasi di Bekasi itu
mengatakan bahwa produksi selama ini meningkat. Banyak
order masuk, penjualan meningkat, berarti keuntungan
pun meningkat. Jadi tidak masuk akal jika demi
efisiensi perusahaan ditutup sebab tidak sesuai dengan
kenyataan. 

Kedua, mengapa justru Sony yang di Indonesia? Bukankah
Indonesia ini mempunyai banyak keunggulan komparatif
yang dapat membuat investor memperoleh keuntungan
berlipat-lipat? Upah buruh murah, bahan baku murah,
potensi pasar besar, kurang apalagi? 

Setelah dikejar-kejar ternyata penutupan itu
disebabkan karena ada beberapa masalah lain yang turut
mempengaruhi seperti pajak, masalah ketidakpastian
aturan hukum dan keamanan, eforia buruh Indonesia dan
sebagainya. 

Jadi alasannya justru bukan ekonomis, meski yang
dikedepankan Sony adalah alasan ekonomis itu. Maklum
Sony sudah belajar banyak dari budaya Indonesia,
berbasa-basi dengan menunjukkan bahwa alasan internal
merekalah yang berperan dan bukan alasan eksternal
atau pihak lain yaitu bangsa dan masyarakat Indonesia.
Sebab, sikap hidup yang menonjol dari masyarakat
Indonesia sekarang adalah sikap tidak mau di-salahkan!


Lihat saja, ketika ada pernyataan dari Pak
Hendropriyono, Kepala BIN, bahwa di Poso ada jaringan
teroris internasional, ia diberondong dengan sikap
antipati dan kritikan-kritikan yang sangat tajam, dan
dikemukakan dengan sangat pedas dan keras. Akibatnya
dia diam. 

Lalu apa yang kita saksikan bahwa kemudian bangsa
dikejutkan oleh berbagai aksi teror, yang tidak hanya
menelan korban tetapi juga mempermalukan bangsa dalam
pergaulan internasional. Lebih parah lagi, sudah ada
tindakan teror, masih ada saja yang tidak percaya
kalau orang Indonesia terlibat di dalamnya. Setelah
polisi mengungkap satu-satu siapa pelakunya, masih ada
yang berkata bahwa mereka hanya diperalat oleh
jaringan intelijen asing. Bagaimanapun pasti ada
rekayasa asing untuk memojokkan Indonesia. 

Apakah bantah-membantah itu tidak boleh? Boleh saja!
Tetapi apalah artinya jika hanya membantah, tanpa
refleksi diri, bertanya dengan hati dan pikiran jernih
tentang kemungkinan orang Indonesia melakukan
kesalahan. 

Tentu kita tidak boleh telan bulat-bulat omongan orang
asing, seperti Sony, tetapi, kiranya hal itu disertai
dengan sikap kritis terhadap diri sendiri
jangan-jangan kita adalah penyebabnya. Kita biasanya
terjebak oleh asumsi kita sendiri bahwa kita bangsa
yang ramah, bangsa yang religius, lalu tidak kritis
lagi bahwa bisa saja ada diskrepansi antara pengakuan
iman dan kehidupan nyata. 

Kembali ke apa yang dikemukakan di atas, Sony
mengedepankan alasan yang bersifat ekonomis untuk
menutup perusahaannya di Indonesia. Pertanyaan kritis
yang bisa diajukan ialah apa yang sebenarnya menjadi
alasan dominan bagi Sony untuk menutup perusahaannya
di Indonesia? Alasan ekonomiskah? Ataukah
alasan-alasan non-ekonomis. Jika karena alasan
pertama, tentu kita tidak dapat berbuat apa-apa.
Paling kita hanya dapat menuntut apa yang menjadi hak
karyawan kita yang selama ini bekerja pada Sony.
Tetapi kalau karena alasan situasi dan kondisi, maka
itu loonceng kehancuran ekonomi Indonesia sudah
dibunyikan. Mengapa? 

Pertama, selama ini Jepang merupakan investor terbesar
di Indonesia. Konon, dari joint-venture saja Jepang
sudah mengantongi keuntungan berlipat-lipat, apalagi
dari perusahaanya sendiri. Mengapa dia meninggalkan
keuntungan itu? Dengan henkangnya Sony berarti kita
kehilangan pekerjaan untuk sekian ribu karyawan, dan
kehilangan penghasilan untuk sekian banyak mulut. 

Kedua, jika alasannya adalah masalah keamanan, maka
pasti tidak hanya melibatkan Sony tetapi juga semua
perusahaan asing. Bayangkan kalau semua perusahaan
asing angkat kaki dari Indonesia. Akan terjadi
pengangguran besar-besaran. Keadaan itu akan memicu
munculnya kriminalitas dalam berbagai bentuk. Jika
kriminalitas meningkat maka gangguan keamanan dan
ketenteraman pun semakin menjadi-jadi. 

Dalam kondisi ini akan banyak yang stres, dan dalam
keadaan stres, orang mudah tersulut untuk melakukan
hal-hal yang mengganggu kegiatan-kegiatan ekonomi dan
penyelenggaran pemerintahan. Lantas, apa solusinya?
Ada usul untuk berembuk, agar Sony tidak serta-merta
hengkang dari Indonesia. Pemerintah mau mendengar apa
keluhan Sony dan pemerintah berjanji akan
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi Sony. Usul
yang tentu saja baik. 

Namun perlu diingat bahwa salah satu kebiasaan buruk
bangsa ini adalah suka mengobral janji alias janji
doang tanpa memenuhinya. Ketika ada masalah,
penyelenggara negara ini suka menjawab dengan janji,
namun dalam perjalanan waktu, janji itu tidak
ditepati. Perhatikan apa yang dijanjikan oleh para
pejabat eksekutif, judikatif maupun legislatif ketika
mereka dilantik. 

Apakah mereka sungguh melakukan apa yang mereka
janjikan? Inilah yang menimbulkan ketidakpercayaan
pada diri orang asing terhadap masyarakat Indonesia.
Padahal ada pepatah yang mengatakan: Sekali lancung ke
ujian, seumur hidup tidak dapat dipercaya. Nah, sudah
berapa kali kita berjanji? Lalu berapa lancungnya?
Hitung sendiri! 

Sebagai terapi sesaat, boleh berjanji lagi. Akan
tetapi kita harus serius memperbaiki keadaan dan
berbagai kebijakan yang merugikan orang dan bangsa
lain. Tidak terkandung maksud untuk mengatakan bahwa
apa saja yang diinginkan oleh orang asing harus
dipenuhi. Itu namanya bangsa bermental hamba! 

Dari lain pihak, kehormatan bangsa kiranya harus
diartikan bahwa kita menghormati hak orang dan bangsa
lain sewajarnya. Ketika kita mau dihormati bangsa
lain, kita pun sekaligus mewajibkan diri untuk
menghargai hak-hak orang lain dalam berbagai bidang
dan kebijakan. Tanpa itu, bangsa lain tetap tidak akan
menaruh percaya dan mereka akan berbaik sama kita
hanya untuk sesaat dan menunggu waktu yang tampan
untuk memutuskan kerjasama, kendati nampak
menguntungkan baginya. 

Apa yang ditunggu adalah sikap konsisten, bukti nyata,
dan bukan janji, apalagi janji gombal dan akal-akalan.
Jadi masalah Sony adalah masalah appeal terhadap
disiplin, tanggungjawab, dan moral bangsa yang harus
diwujudkan secara nyata, jika tidak akan ditinggalkan
oleh bangsa lain dengan segala akibatnya di bidang
ekonomi, politik dan sosial 

Penulis adalah kandidat doktor sosiologi Unika Atama
Jaya, Jakarta. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com