[Nusantara] Neokonservatisme Elite Politik

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Wed Dec 11 06:48:14 2002


Neokonservatisme Elite Politik? 

ELITE politik di DPR dan MPR tidak sepi dari kritik
dan tudingan. Kritik antara lain mengatakan kehadiran
para anggota DPR dalam rapat-rapat sangat minim,
bahkan ada yang tidak pernah hadir dalam rapat pleno
misalnya. Juga dituding banyak di antara anggota DPR
berperilaku "D-4" (daftar, duduk, dengar dan duit).
Yang konyol lagi banyak dari elite politik di badan
legislatif kita itu dituduh terlibat money politics,
sogok dan suap. Bahkan dalam proses pembuatan
undang-undang (UU) mengenal pos "mata air" dan "air
mata" alias Pansus "basah" dan "kering". 

Dan akhir-akhir ini dikabarkan anggota DPR kita itu
terkotak-kotak, yaitu mereka yang tergolong tetap
reformis di samping yang konservatif. Lebih parah
lagi, dalam pembahasan RUU Parpol dan RUU Pemilu di
DPR belakangan ini disebut-sebut ada elite politik
tergolong neokonservatisme, yaitu mereka yang menolak
dinamika dan aspirasi yang berkembang bahkan
bertentangan dengan tuntutan reformasi mengenai
keberadaan Parpol dan Pemilu yang menghendaki sistem
proporsional dan daftar terbuka. 

Tetapi ternyata tidak hanya kritik dan tudingan
negatif seperti itu yang dialamatkan ke elite politik
di DPR dan MPR. Ada tudingan yang lebih serius dan
mendasar lagi berkenaan dengan pembentukan, tugas dan
fungsi Komisi Konstitusi yang diamanatkan oleh Sidang
Tahunan MPR (ST-MPR) 2002 lalu. Tap MPR No I/MPR/2002
mengamanatkan pembentukan Komisi Konstitusi bertugas
melakukan pengkajian secara komprehensif tentang
perubahan UUD '45. 

TUDINGAN yang lebih serius dan mendasar itu karena ada
fraksi-fraksi di Panitia Ad hoc I Badan Pekerja MPR
(PAH I BP-MPR) yang menolak pembentukan Komisi
Konstitusi. Akibatnya, elite politik di fraksi-fraksi
yang menolak pembentukan Komisi Konstitusi tadi
dituding sebagai tidak konsisten, bahkan arogan. Tidak
konsisten karena baru saja disepakati pembentukan
Komisi Konstitusi, tapi hanya berselang beberapa bulan
kemudian, kesepakatan itu diingkari. Dituding sebagai
arogan karena ada kesan seolah apa yang dihasilkan
oleh MPR berkenaan dengan amandemen UUD '45 sudah
sempurna, tapi di sana-sini ternyata ada bolong-bolong
sedemikian rupa sehingga bukan mustahil bisa
menimbulkan krisis konstitusi. 

Sebagai contoh, UUD '45 hasil amandemen mempergunakan
beberapa istilah yang mempunyai makna dan dampak yang
berbeda satu sama lain secara hukum dan dari tata cara
persidangan. Di satu bagian, UUD '45 mempergunakan
istilah "sidang" MPR. Di bagian lain, dipergunakan
istilah "rapat paripurna" MPR. Terdapat juga kata-kata
"di hadapan" MPR. 

Apabila jabatan Wakil Presiden lowong misalnya, MPR
menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden.
Tapi mengenai adanya usul pemberhentian Presiden atau
Wakil Presiden, maka untuk memutuskannya harus
dilakukan melalui rapat paripurna MPR. Sebaliknya,
apabila Presiden dan Wakil Presiden sama-sama mangkat,
berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan
kewajibannya, MPR menyelenggarakan sidang untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden. 

JADI, jelas sekali di satu sisi, pengambilan keputusan
usul pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden
dilakukan melalui "rapat paripurna" MPR, tapi di sisi
lain, pemilihan pengganti Presiden dan Wakil Presiden
dilakukan bukan melalui "rapat paripurna" melainkan
oleh "sidang" MPR. Padahal, pengertian "sidang" dan
"rapat paripurna" MPR sangat berbeda. Kembali di sini
terlihat adanya inkonsistensi penggunaan terminologi
atau istilah hukum dalam amandemen UUD '45. 

Penggunaan terminologi dan istilah hukum inilah yang
antara lain perlu diluruskan sedemikian rupa sehingga
tidak menimbulkan kerancuan atau multiinterpretasi
yang bisa berakibat tidak adanya kepastian hukum. Dan
karena itu, memang ada urgensi pembentukan Komisi
Konstitusi. Jadi sangat tidak beralasan apabila ada
fraksi-fraksi di MPR yang menolak pembentukan Komisi
Konstitusi itu, apalagi yang berpendapat bahwa
pembentukan komisi itu pada ST-MPR lalu hanya untuk
menghindari dead lock. Jelas sekali kelompok yang
berpendapat seperti itu tergolong penganut
neokonservatisme alias kolot, tertutup pada perubahan.


Agar Sadar, HIV/AIDS Perlu Masuk DPR ENGIKUTI diskusi
tentang penyebaran HIV/AIDS dan dampaknya, yang
dihadiri oleh 11 orang pakar HIV/AIDS membuat bulu
kuduk bisa merinding. Mengapa tidak? Mereka
menjelaskan secara ilmiah, tentu saja dilengkapi
data-data akurat, membuat para peserta diskusi semakin
tenggelam ke dalam ketakutan kalau penyakit yang
mematikan itu mengena diri kita sendiri, keluarga, dan
tetangga. 

Timbul bermacam-macam kesan dalam hati para peserta
diskusi terbatas yang diselenggarakan Suara Pembaruan
dan World Vision International-Indonesia, Rabu (27/11)
lalu, dalam kaitan Hari AIDS Sedunia 1 Desember.
Paling kurang muncul dalam benak masing-masing peserta
agar terhindar dari penyakit mematikan itu karena
ternyata penyebarannya sangat cepat dan mengerikan. 

Memang di Indonesia, dampak HIV/AIDS itu belum terlalu
kentara, apalagi sampai saat ini data mengenai
penderita HIV/AIDS di Indonesia tidak pasti, konon
hanya 80.000 penderita, tapi ada juga yang menyebutkan
lebih dari dua juta. 

Dr Anugerah Pekerti dari World Vision Indonesia
menceritakan pengalamannya ketika mengunjungi sebuah
kampung di sebuah negara di Afrika. Di situ, ia
bertemu dengan seorang nenek yang tinggal sendirian,
karena sebanyak 15 anak dan cucunya sudah meninggal
karena terserang virus HIV/AIDS. "Satu generasi hilang
hanya karena HIV/AIDS," ujarnya. 

Mantan direktur di WHO dr Nafsiah Mboi berbicara keras
tentang peranan pemerintah yang tidak terlalu menonjol
dalam upaya sosialisasi dampak berbahayanya HIV/AIDS
ke masyarakat luas. "Pemerintah harus bertanggung
jawab penuh soal ini. Masalah HIV/AIDS tidak
main-main," tegasnya. Bahkan, dengan emosi tinggi, ia
menilai penyebaran penyakit itu, sungguh
memprihatinkan. Kita tidak punya perhatian terhadap
perempuan mengenai HIV/AIDS, padahal perempuanlah
pihak yang paling dirugikan. 

Lain lagi pendapat anggota DPR, Surya Chandra
Surapaty, yang juga sangat peduli dengan masalah
HIV/AIDS. Ia mengeluh, masalah kepedulian masyarakat
luas terhadap dampak penyakit itu sangat sedikit.
"Malahan, banyak anggota DPR yang merasa tidak peduli
dengan HIV/AIDS karena belum menjadi masalah besar
untuk Indonesia," ujarnya. Muncul reaksi dari seorang
peserta diskusi, yang mengatakan, HIV/AIDS perlu masuk
DPR. Artinya, para anggota DPR perlu mendapat
penjelasan tentang seluk-beluknya virus HIV/AIDS agar
mereka memahami betapa mengerikan penyakit yang
menyerang lebih banyak generasi muda itu. 

Tetapi, data yang diungkapkan salah seorang anggota
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Farid Husein bahwa
setelah dilakukan estimasi dengan berbagai perbaikan
di tahun 2002, kemungkinan 12 juta sampai 19 juta
orang yang rawan tertular HIV/AIDS. 

Ternyata, kita di Indonesia tidak hanya berhadapan
dengan masalah penyebaran HIV/AIDS, tapi juga banyak
masalah lain yang menimpa generasi muda. Sebab itu
sudah ada bayangan akan hilang satu generasi. Sebab,
kalau jutaan anak kesulitan mendapat pangan dan kurang
gizi, jutaan anak tidak sekolah (drop out), jutaan
anak terlibat narkoba, ratusan ribu terkena HIV/AIDS,
maka mulai tergambar one lost generation itu. Kita
akan kehilangan satu generasi; hampir pasti akan
terjadi. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com