[Nusantara] Membangun perdamaian - "Benny Susetyo, Pr"

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Sun Dec 1 10:24:06 2002


Membangun perdamaian 
Oleh Benny Susetyo Pr 

NICOLLO Machiavelli, cendekiawan politik yang masyhur
dengan Il Principe (Sang Pangeran)-nya dan cita-cita
negara kekuasaan melalui alat represi, menerima
hujatan atas teorinya tidak saja di masa lalu ketika
ia masih hidup, bahkan sampai sekarang ia terus
dicerca. Pengabaiannya terhadap eksistensi moral dan
prinsip baik buruk dalam pemerintahan merupakan
dasar-dasar di mana kekerasan (represi) absah
digunakan untuk tujuan kekuasaan. 

Peperangan yang melegitimasi piranti-piranti kekerasan
di masa Alexander II dan Julius Caesar II, Caesar
Borgia dan Keluarga Medici, Maximilian dan Louis
XII,membuat Machiavelli gerah. Ia lantas merumuskan
teori kenegaraan modern, yakni menyarankan penggunaan
kekuatan represif untuk membangun sebuah negara yang
kuat. Jalan satu-satunya untuk menghentikan peperangan
adalah hadirnya seorang pangeran yang kuat, yang mampu
menyatukan kekuatan manusia dan hewan. 

Teori pencapaian kekuasaan dengan segala cara ala
machiavellianism ini dikutuk oleh negara-negara masa
kini, tokoh-tokoh politik, agamawan serta masyarakat
lain umumnya karena bertentangan dengan humanisme/HAM.
Namun, betapapun demikian, kutukan tersebut nampak
hanya dalam konsep saja. Realitasnya, cara untuk
mencapai kekuasaan dengan kekerasan, baik fisik/non
fisik (dominasi/hegemoni), baik langsung/tidak, di
dunia modern ini nampak semakin sering digunakan.
Terorisme yang dilakukan negara atau kelompok tertentu
dalam masyarakat adalah contoh baik untuk disebut. 

*** 

APA yang bisa kita petik dari renungan di atas adalah
pelajaran mengenai sikap manusia yang sering
paradoksal. Tidak selalu niat baik menghasilkan tujuan
baik, karena dalam perjalanannya manusia tergoda dan
terbius kepentingan jangka pendek. Niat damai tak
selalu dipahami orang agar dicapai dengan jalan damai
pula. Sebagian dari mereka cenderung menggunakan jalan
kekerasan. Pertanyaannya, sejauh mana jalan kekerasan
bisa mewujudkan kedamaian? Dalam kasus masyarakat
manakah jalan kekerasan bisa menghasilkan kedamaian? 

Negeri kita adalah negeri yang dalam 4 tahun terakhir
ini kata ‘reformasi’ sangat populis. Namun reformasi
sebagai tujuan damai sudah ternoda oleh (cara)
kekerasan demi kekerasan yang menghiasi tubuh bangsa
ini. Perubahan peta politik dan sosial yang
berlangsung dengan cepat ternyata tak menghasilkan
rasa tentram. Kekerasan sosial akibat krisis ekonomi
dan politik semakin meningkat tajam. Contoh kekerasan
selama beberapa pekan terakhir adalah teror bom. 

Teror bom dengan segala bentuknya menjadi alat utama
bagi kaum jahat. Tujuan aksi itu untuk mengganggu
ketenangan masyarakat, menciptakan opini bahwa
Indonesia adalah bangsa kacau, menciptakan persepsi di
masyarakat bahwa pemerintah dan aparat tak mampu
bertindak, menciptakan kekacauan di tingkat sosial,
politik, ekonomi bahkan lebih jauh di sisi kebudayaan.
Teror bom yang semakin meningkat membuat pemerintah
benar-benar kalang kabut. Reformasi, yang diyakini
sebagai masa transisi demokrasi di Indonesia, diwarnai
dengan segala sesuatu yang gelap gulita. Persoalan
demi persoalan datang tak terduga, saling tindih.
Akibatnya, hampir tak satupun ada kasus kekerasan yang
tuntas diusut sampai akar-akarnya. Belum lagi
soal-soal politik lain. 

Kasus hukum pimpinan DPR, pimpinan Kejagung, korupsi
pejabat Orba, suap menyuap dan seterusnya sebagai
rentetan soal yang datang tak habis-habisnya. Di
sinilah sinisme (atau semacam gurauan) muncul: Dengan
adanya kesibukan aparat untuk menangkap dan mengungkap
pelaku teror, maka kasus-kasus politik yang melibatkan
korupsi para pimpinan politik akan terlupakan oleh
masyarakat. Gurauan bernada serius itu perlu dicermati
semua pihak, bahwa senyampang mata kanan kita sedang
ramai-ramai tertuju pada kasus bom di Legian Bali,
jangan lupa mata kiri kita juga harus jeli mengawasi
tingkah laku pejabat yang korup! 

*** 

REFORMASI sebagai ‘tujuan damai’ dan teror bom sebagai
‘jalan kekerasan’ yang makin lama makin mengakrab,
lambat laun menjadi identitas bangsa ini. Dalam
perjalanan empat tahun ini kita mencatat bahwa
otoritas kekuasaan kehilangan orientasi untuk
mewujudkan ketertiban umum. Mereka tak mampu
mengatasibudaya premanisme yang menjamur di kalangan
sipil dengan menggunakan baju keagamaan, kedaerahan,
kesukuan, dan kepartaian. Ini akibat negara juga
mengembangkan budaya premanisme yang hampir serupa,
yakni kerap mengintimidasi dan meneror! Tanpa kita
sadari bahwa tumbuhnya kekerasan dalam bungkus
premanisme ini menghancurkan peradaban kemanusiaan. 

Menurut Robert W Heffner, kelahiran pelbagai laskar
bisa dilacak saat kekuasaan Soeharto di ambang
kehancuran, atau sebelumnya sebagai kekuatan untuk
menyanggahnya. Kenyataannya ada berbagai laskar sipil
yang bertumbuh dan berkembang subur dalam masyarakat,
di mana kelakuan militeristiknya kerap melebihi
militer formal sesungguhnya. Keberadaan mereka selama
ini sering meresahkan daripada membantu keamanan
masyarakat. Alih-alih menciptakan kekacauan dan teror
daripada ketentraman dan kedamaian. Di sisi lain,
kekuasaan-negara tidak menyadari bahwa kelahiran
berbagai laskar tersebut diakibatkan negara tak mampu
melindungi masyarakat. Atau juga karena sengaja
dibentuk negara untuk beberapa kepentingan jangka
pendek para elitnya. 

Maka, tanpa sadar elit politik kita lebih
mengedepankan nalar negara-kekuasaan
(machiavellianism) daripada nalar negara-moral. Demi
alasan ini pula, kekerasan bisa digunakan atas nama
negara. Kekerasan diberikan legalisasi atas nama
negara –yang lebih berkuasa ketimbang nalar moral.
Moralitas politik tunduk pada nalar negara. Akibatnya
selama empat tahun terakhir ini kita terjebak pada
litani kekerasan. 

Litani ini terus-menerus menghidupi politik, budaya,
agama, pendidikan dan militer. Litani ini bergerak
menjadi lingkaran ‘fasis’ di mana jargon agama,
nasionalisme, ekonomi dan politik diusung para elit
untuk kepentingan pribadinya sendiri-sendiri. Karakter
kekerasan inilah yang lebih lanjut beranak–pinak dalam
bentuk radikalisme keagamaan, kedaerahan dan kesukuan.
Ini membuat orang hidup dalam sikap: “Yang penting aku
menang, cara apapun yang dipakai tidak soal”
(machiavelianism). 

Keangkuhan untuk menang menyeret bangsa ini ke dalam
mentalisme dan fanatisme sempit yang lahir dari
ketidakberdayaan dan keengganan berkompetisi. 

*** 

HARUS kita akui bahwa sejarah Indonesia memang penuh
kekerasan, mulai dari Ken Arok di Singosari sampai
dengan Amangkurat I dan II di Mataram. Dalam The
History of Java, Raffles menceritakan betapa sadis
Amangkurat I: “Bila ia merasa tak enak hati, ia selalu
menghabisi orang yang menjadi sumber
ketidaksenangannya.” Ia bahkan pernah mengumpulkan
6000 orang (para agamawan beserta keluarganya) ke
alun-alun, dan membunuhnya tak kurang dari waktu 30
menit. Atau cerita dari Babad Tanah Jawi yang
menunjukkan betapa sadis si Amangkurat II. Ia menikam
dan mencincang Trunajaya, lantas membagi-bagikan
hatinya agar dimakan para bupati yang hadir di suatu
balairung pembantaian itu (!). 

Potensi kekerasan yang ada dalam kultur kita tersebut,
haruskah kita pelihara sampai kini dalam sebuah
situasi dunia di mana kita disebut sebagai bangsa
ramah? Maka, berangkat dari pengakuan/kesadaran bahwa
kekerasan adalah potensi yang ada dalam habitat kita,
mengharuskan bangsa ini untuk lebih banyak merefleksi
diri. Potensi kekerasan bukanlah dari luar sana, tapi
di dalam sini. Derrida menyebut the self sebagai hal
yang perlu dibedakan dengan the other. 

Kerapkali orang menilai kekerasan yang dikaitkan
dengan the other, bukan the self. Maka meskipun secara
moral, agama tidak membenarkan kekerasan, tapi jangan
lupa bahwa agama menyimpan potensi kekerasan itu.
Persoalannya, bagaimana kita merawat potensi kekerasan
itu menjadi perdamaian? 

Jadi, perdamaian tidak semata-mata diciptakan dengan
menolak machiavellianism sebagai ide tapi
mempraktikannya di lapangan: Mulut berucap santun
namun kaki-tangan berlaku biadab. Tapi perdamaian
adalah kristal-kristal kekerasan yang telah diwarnai
dengan sikap tenggang rasa, tepo seliro, ketulusan
hati, kejujuran jiwa dan mata hati yang terbuka. 

(Benny Susetyo, Pr adalah Budayawan dan Rohaniwan,
Tinggal di Malang) 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com