[Nasional-a] Draft BIOGRAFI JOESOEF ISAK Bag. 1/10

nasional-a@polarhome.com nasional-a@polarhome.com
Fri Oct 4 00:36:18 2002


I. Semasa kecil di Kampung Ketapang

Pada awalnya bernama Joesoef. Sewaktu memimpin suratkabar Merdeka ia dikenal
dengan sebutan Joesoef Merdeka. Kemudian semasa rezim Soeharto, ketika ratusan
ribu tahanan politik (tapol) terdaftar dengan menyandang nama orang tuanya ia
pun dikenal sebagai Joesoef Isak.

	Ia diperlakukan sewenang-wenang selama rezim Soeharto berkuasa, dan ia pun
menentangnya. Meski begitu ia tak pernah keberatan dengan sebutan "Joesoef
Isak".

	Joesoef Isak lahir pada tanggal 15 Juli 1928 di Kampung Ketapang, Jakarta.
Suatu kampung yang dikenal sebagai markas anak-anak Stovia, yang merupakan
sumber pertama dalam gerakan nasionalisme Indonesia. Di kampung ini tidak
sedikit tokoh-tokoh penting dalam pergerakan Indonesia telah lahir dan
berkembang, seperti Soetomo, Mohammad Jamin, Azis Saleh dan banyak lagi yang
lainnya.

	Sekolah-sekolah elit Belanda dari tingkat dasar, menengah hingga perguruan
tinggi sudah lebih dini berdiri di sekitar kampung ini. Sebagai anak yang tumbuh
dan dibesarakan dari keluarga borjuis Joesoef sempat pula mengecap pendidikan di
sekolah-sekolah elit tersebut, dari tingkat dasar, menengah hingga sekolah
lanjutan.

	Ayahnya, Isak, bekerja di suatu kantor telegram Inggris yang mendapat
penghasilan berkecukupan hingga di masa-masa pensiun. Sebagai anak keempat dari
tujuh bersauadara Joesoef merasa terpukul sepeninggal ayahnya di usianya yang
ke-6 tahun. Penghidupan keluarganya semakin menurun, meski tunjangan pensiun
yang diterima tidaklah membuatanya jatuh sebagai keluarga yang berkekurangan.

	Sewaktu Jepang masuk, di usia belasan tahun ia sudah menyaksikan berbagai
kesewenangan dan kebiadaban terhadap kemanusiaan yang berlangsung di
sekelilingnya. Kekerasan demi kekerasan begitu nyata disaksikan di depan mata
kepalanya. Orang-orang kurus kering karena kelaparan, bahkan yang mati
tergeletak karena perlakuan tentara Jepang, rasanya bukan lagi merupakan hal
aneh untuk diceritakan.

	Fasisme Jepang begitu mencolok mempengaruhi segala aspek dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sekolah-sekolah di sekitar Kampung Ketapang seperti
MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan AMS (Algemeene Middelbare School)
dijadikan tahanan massal di mana segala bentuk penyiksaan telah dipraktekkan
oleh tentara-tentara Jepang. Tidak jarang pasukan-pasukan Sekutu dari Australia
maupun Belanda telah menjadi korban penganiayaan yang lebih mengerikan daripada
perlakuan terhadap masyarakat pribumi sendiri.

	Setelah Jepang menyerah dan angkat kaki dari bumi Indonesia Joesoef sudah
bekerja di suratkabar Berita Indonesia yang didirikan oleh S. Taskin, S. Tasrif,
Mohammad Sa'af dan Haris (yang adalah paman Joesoef sendiri). Di suratkabar itu
Joesoef bertugas selaku penyusun dokumentasi serta mengkliping koran-koran
Belanda untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. 
***

Kemampuannya dalam penguasaan bahasa Belanda dan Inggris justru mendahului
bahasa Indonesia sendiri. Di masa-masa remaja ia hanya mengenal bahasa "Melayu
Pasar" daripada bahasa Indonesia yang waktu itu disebut sebagai bahasa "Melayu
Tinggi". Melalui basis literatur dunia yang dikuasainya dengan cepat ia kuasai
pula bahasa Indonesia, terutama lewat pidato-pidato serta tulisan Bung Karno
yang sangat populer ketika itu.

Karena sepenuhnya berpendidikan kolonial pada mulanya ia tak punya aspirasi
nasionalisme serta wawasan kemerdekaan suatu bangsa. Berkat pidato-pidato Bung
Karno pula (selaku bapak bangsanya) pelan-pelan ia mengenal kesadaran
kebangkitan nasional, yang kemudian semakin berkembang menjadi kesadaran
kebangkitan berpolitik. Kesadaran itu dengan sendirinya diperkuat pula melalui
bacaan-bacaan majalah, terutama Nationale Commentaren yang merupakan majalah
nasionalis pertama yang dipimpin oleh Sam Ratulangi, Mohammad Jamin dan
kawan-kawan, yang di kemudian hari dikenal sebagai bapak-bapak perintis dan
pendiri RI.
***

1.	Awalmula terjun sebagai wartawan muda 

Adalah paman Haris yang mula-mula mengajak Joesoef untuk bergabung di suratkabar
Berita Indonesia yang merupakan suratkabar pertama Republik Indonesia. Ketika
itu ia bertugas di suatu kantor yang mengurusi warisan peninggalan orang-orang
Belanda (Weskamer) (?) suatu pekerjaan yang dipercayakan kepadanya selepas dari
sekolah ekonomi menengah Belanda (MHS).

Berkat pamannya pula Joesoef semakin banyak mengenal literatur dunia dari
karya-karya Shakespeare, Marx, Freud, Bernard Shaw, hingga lagu-lagu klasik dari
piringan hitam karya Mozart, Bach, Bethooven dan lain-lain. Sebagai anak muda
yang menggemari dunia sastra dan politik Haris seringkali membawa pulang
beberapa buku dari kantor, yang semula adalah buku-buku sitaan Jepang dari
pemerintah Hindia Belanda. Buku-buku itu kemudian menjadi bacaan wajib bagi
Joesoef hingga mengantarkannya sebagai wartawan muda yang cukup menguasai basis
pengetahuan umum.

Itulah yang di kemudian hari Joesoef berpendapat bahwa untuk menjadi seorang
wartawan tidaklah mesti dari jurusan publisistik, tetapi bisa juga dari
psikologi, sosiologi bahkan pertanian. Dan kelak ketika memimpin suaratkabar
Merdeka ia tidak terlampau mempersoalkan ijasah, sertifikat atau persyaratan
ini-itu terhadap calon wartawan, tetapi yang terpenting adalah kerangka dan
logika berpikir, serta seberapa jauh penguasaan si calon wartawan kepada basis
pengetahuan umum tadi.
Sewaktu pendudukan Belanda antara 1945-1949 Berita Indonesia berkali-kali
mengalami pembredelan oleh pihak Belanda, yang menilainya sebagai suratkabar
yang berupaya menghasut-hasut para pembaca kepada tindak pembangkangan dan
pemberontakan. Tentulah cara-pandang ini sangat berbeda bahkan bertolakbelakang
dengan pendapat Joesoef yang menilainya sebagai suratkabar radikal dan
revolusioner, yang secara sadar didirikan sejak pendudukan Jepang untuk
meng-counter Gunsai Kanbu (sebagai suratkabar yang memihak pendudukan Jepang
atas RI).

Di tahun-tahun ini pula kesadaran nasional serta kesadaran perlunya menulis
untuk membela RI semakin tumbuh pada diri Joesoef. Selain di Berita Indonesia ia
pun berusaha menulis reportase-reportase politik di berbagai suratkabar,
terutama beberapa suratkabar yang didirikan para milisi Belanda yang mengadakan
wajib militer, dan ternyata tidak sedikit dari mereka yang sangat progressif
memihak RI.
Sebagai wartawan muda yang cukup produktif ketika itu Joesoef memanfaatkan
kesempatan untuk menulis berbagai reportase dari persoalan politik hingga ke
persoalan kesenian, olahraga dan lain-lain. Suatu ketika di suratkabar Asia Raya
ia "menyerang" seorang penyanyi populer Sam Saimun yang sangat terkenal dengan
lagunya, "Dua Mata Bola" dan "Nyiur Melambai". Joesoef mengkritik caranya dalam
melafalkan berbagai lagu yang dinilainya terlampau kegenitan dan sok
kebarat-baratan. Hal itu tak lain karena pada masanya banyak kalangan elit yang
gemar melafalkan kata dan huruf dalam bahasa Indonesia yang-secara
sengaja-menjadi dibarat-baratkan. 
***

Pada tahun 1949 setelah BM Diah membeli Berita Indonesia untuk digabungkan ke
dalam suratkabar Merdeka serta-merta Joesoef bekerja sebagai staf pada redaksi
Merdeka.

	Suratkabar Medeka berdiri pada tanggal 1 Oktober 1945, beberapa tahun setelah
penerbitan Berita Indonesia. Cukup banyak dari kalangan wartawan-khususnya
angkatan muda-yang lengah pada sejarah persuratkabaran Indonesia, bahkan tidak
sedikit yang mengira bahwa Merdeka adalah suratkabar pertama karena ia berdiri
beberapa bulan setelah kemerdekaan RI. Padahal Berita Indonesia sudah lebih
mendahului beberapa tahun sebelumnya, dan terus menerus "bergerilya" sejak
pendudukan fasisme Jepang hingga agresi militer Belanda pertama dan kedua.
***

2. Zaman demokrasi terpimpin

Meski semakin tumbuh kesadaran berpolitik pada dirinya Joesoef merasa belum tahu
dan belum matang dalam berpolitik. Ketika itu ia pernah keliru menilai Soekarno
yang dianggapnya sebagai "tukang ngomong" serta "tukang koar-koar" di depan
massa rakyat. Inilah ciri khas dari sikap intelektualisme di kalangan PSI, yang
merasa tahu dan mengerti tentang politik, padahal sebenarnya tidak menguasai
ilmu politik itu sendiri.
"Sebagai pribadi saya memang pernah dihinggapi keangkuhan intelektualisme di
kalangan orang-orang PSI. Dan ketika saya mulai melek politik, tahu-tahu saya
sudah berada di kubu Sjahrir."
Pada masanya Joesoef tak pernah terdaftar sebagai anggota PSI, juga tak pernah
melibatkan diri dalam organisasi kepartaian, tetapi hanya secara emosional
memihak Sjahrir karena-mau tak mau-ia sudah berada dan tumbuh dalam lingkungan
orang-orang PSI. Selain itu ia pun belum matang memahami apa yang diucapkan Bung
Karno, terutama tentang apa yang dimaksud "progressif revolusioner" yang sering
ditekankan dalam pidato-pidatonya.

	"Apa itu progressif revolusioner? Apa ukuran seseorang itu bisa disebut
progressif revolusiner?"
Pada periode sebelum tahun 1959 Joesoef belum sanggup menguasai ketajaman
wawasan Bung Karno dalam menganalisis perpolitikan Indonesia. Bahkan di antara
1950 hingga 1957 diakuinya sebagai tahun-tahun berseberangan dengan Bung Karno,
karena pengaruh-pengaruh intelektualisme PSI yang menganggap Bung Karno sebagai
tukang agitator. Barulah pada awal 1958 setelah peristiwa PRRI-Permesta ia mulai
meninggalkan PSI dan berpihak mendukung Bung Karno, lantas mengkaji-ulang dalam
kerangka marxisme dan liberalisme.

	Dari situlah ia mulai tegas menentukan garis politiknya. Dan apa yang dimaksud
progressif revoluisoner itu tak lain dari garis kebijakan politik Bung Karno itu
sendiri.

	Pada saat itu ia kembali kepada memorinya di masa-masa remaja dulu, terutama
ketika anak-anak muda begitu gandrung pada pidato-pidato Bung Karno. Ia amat
menggemari sajak-sajak Chairil Anwar mengenai "Persetujuan dengan Bung Karno",
yang dalam salah satu baitnya menegasakan bahwa ia telah "dipanggang atas apimu,
serta digarami oleh lautmu".
***

Zaman demokrasi terpimpin adalah zaman paling menentukan sekaligus mendebarkan
dalam dunia perpolitikan bangsa Indonesia. Di masa inilah kita betul-betul diuji
sebagai bangsa. Bahkan sebagai pribadi Joesoef merasa tertantang untuk
menentukan pilihan tegas dalam garis politiknya.

	Pemihakannya pada Bung Karno tak lain karena sejak mula-mula ia begitu
mengidealisasi persatuan Indonesia. Ia tidak menginginkan bangsanya menjadi
tercabik-cabik, dan seketika itu pula ia bergegas menghadiri pidato Bung Karno
di Istana Merdeka, di mana Bung Karno dengan lantangnya mengutuk separatisme
PRRI-Permesta. Dalam hal ini semakian tegaslah pemihakan Joesoef, padahal
dirinya dikelilingi oleh orang-orang yang menyetujui PRRI-Permesta, baik di
kalangan PSI maupun di sekitar kaluarga dan saudaranya sendiri.

	Ia sepakat dengan ide-ide pembaharuan yang dicetuskan, terutama mengenai Dewan
Nasional yang menyusul dengan adanya krisis konstituante. Ia begitu hanyut dalam
arus pergolakan massa bahwa segala pembentukan Front Nasional dan lain-lain
disebabkan pergerakan nasional memang sudah menyimpang dari garis-garis
revolusi.

	Pada saat inilah Joesoef semakin menilai bahwa intelektualisme tak lain dari
kepentingan kelas elit, padahal agitasi-agitasi memang diperlukan untuk tujuan
pendidikan serta membangkitkan semangat kerakyatan. Ia menilai bahwa Bung Karno
tidak kalah kemampuan intelektualnya dengan tokoh-tokoh PSI, meski Bung Karno
lebih mengutamakan gerakan massa rakyat.

	Tindakan dan keputusan Bung Karno adalah wajar, bahkan dinilainya sebagai suatu
keniscayaan karena sejak 1949 bangsa Indonesia telah dipaksa menelan
konsep-konsep Belanda dalam musyawarah-musyawarah federal (BFO). Dalam garis
politiknya pula ia menilai bahwa federalisme identik dengan kolonialisme dan
pemecah-belahan. Sikap ini mengandung konsekuensi bahwa ia semakin menjauh dari
garis politik Sjahrir, meski sebagai pribadi ia tetap memandang Sjahrir sebagai
intelektual yang sangat memikat.

	Adapun mengenai perbedaan prinsip antara Soekarno dengan Hatta-Sjahrir memang
sudah terjadi sejak dahulu, bahkan ketika bergulirnya persoalan PNI dengan
PNI-Pendidikan, yang kemudian berkembang pada persoalan kooperator dan
non-kooperator di zaman Jepang.

	Bagi Joesoef perbedaan itu adalah hal yang lumrah saja dan tak perlu
dibesar-besarkan. Karena bagaimanapun ketiganya adalah bapak-bapak bangsa yang
memberikan teladan bahwa kita hendaknya tetap bersatu dalam berbagai perbedaan.
Persatuan itulah yang menjadi pangkal serta ujung tombak kemerdekaan RI.
Kemakmuran dan kesejahteraan akan diraih bila kita memupuk persatuan-kesatuan
yang merupakan asas demokrasi itu sendiri. Dalam hal ini sikap Bung Karno
bukanlah suatu megalomania untuk menciptakan Indonesia Raya, tetapi berdasarkan
ketulusan hati untuk mempererat persaudaraan yang merupakan asas bagi cita-cita
kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
***

Joesoef menilai bahwa demokrasi terpimpin adalah suatu ikhtiar, suatu eksperimen
agung dalam menciptakan Indonesia Baru, di mana Bung Karno telah sanggup
mengumandangkan tata dunia baru yang berbeda di seluruh penjuru dunia.
Pertimbangan ini sudah cukup matang sejak mula-mula, bahwa demokrasi barat yang
sedang berjalan, setelah 50 persen tambah satu anggota parlemen mengambil
keputusan, jutaan rakyat tertindas tidak begitu saja puas dan senang menerima
nasib yang sudah diputuskan secara demokratis di dewan perwakilan tersebut.

Hal itu bukan lantas Bung Karno identik dengan anti Barat. Sama sekali tidak. Ia
cukup tegas mengakui sumbangan pencerahan para pemikir Barat bagi kemerdekaan
nasional serta bagi hak individu dan hak-hak asasi manusia.

Penilaiannya terhadap politik Bung Karno semakin matang di usia 30-an. Bagi
Joesoef ia adalah pemimpin yang sangat jeli dalam mempertimbangkan segala aksi
dan reaksi, juga thesis dan anti-thesis. Ia cukup mahir dalam menganalisis
perbandingan politik dunia, bahwa dalam sepanjang sejarah politik modern di
manapun, rakyat-rakyat tertindas yang ingin memperbaiki nasibnya pada akhirnya
selalu berada di pihak yang kalah. Sedangkan kaum pemodal (kapitalisme) selalu
saja menang dan berhasil memulihkan kembali status- quo kepada kondisi yang
menguntungkan baginya. Karena itu persatuan-kesatuan adalah prasyarat dan bagian
dari konsep demokrasinya Bung Karno, demi penegakan demokrasi itu sendiri, yakni
untuk memberdayakan seluruh rakyat dalam membangun dan mewujudkan cita-cita
sosial-politiknya.
***

3. Separatisme dan rongrongan terhadap RI

Berbagai gerakan separatisme dan rongrongan terhadap RI masih terus bermunculan
bahkan hingga memasuki tahun 1960-an. Secara politis hal tersebut harus diatasi
dan diselesaikan, karena penyelesaian secara politis adalah tolok-ukur
pembangunan suatu bangsa yang-dengan sadar-Bung Karno berusaha menanganinya.

	Pemberontakan PRRI-Permesta, DI TII dan lain-lain memiliki asas dan alasannya
masing-masing dalam mengerahkan segala aksinya. Hal ini terjadi di mana-mana, di
negara manapun, terlebih-lebih Indonesia yang baru bangkit mencapai kemerdekaan
dan kedaulatan bangsanya. Sukuisme terselubung atau kefanatikan kepada agama dan
ideologi biarlah memiliki haknya untuk hidup dan berada, meski hal itu bukanlah
menghalalkan keberadaannya dalam menciptakan makar (subversi) terhadap
pemerintahan yang sah dan diakui rakyat banyak.

	Selain itu ketidakadilan terhadap daerah tentulah merupakan faktor penting yang
mudah dieksploitasi oleh berbagai kekuatan yang hendak merongrong kesatuan RI.
Sejak pagi-dini Joesoef berusaha mencermati pidato-pidato Bung Karno bahwa
bangsa Indonesia hendaknya menajamkan kewaspadaan terhadap usaha-usaha subversif
tersebut. Baginya peringatan-peringatan Bung Karno adalah suatu komitmen dan
tanggungjawab seorang pemimpin yang tidak bosan-bosan mengajari rakyatnya supaya
mengerti akan martabat dan harga diri suatu bangsa yang merdeka berdaulat.

	Bersamaan dengan itu intervensi asing terus menerus menunjukkan peranannya
dengan cara-cara yang semakin lihai dan canggih. Karena itu Joesoef berpendapat
bahwa pertengahan abad ke-20 adalah era kecanggihan intelijen, suatu era di mana
rakyat-awam harus dibangkitkan kesadarannya agar dapat mengerti apa yang
dihadapinya hingga tidak keliru menentuikan siapa yang layak menjadi "lawannya".

	Korban yang diakibatkan perang dingin tidak kalah besarnya dengan perang yang
sesungguhnya. Cara-cara terselubung yang dilancarkan-melalui kucuran dana-di
Indonesia adalah sejajar seperti yang dipraktekkan di Eropa Barat dalam
menghadapi "bahaya komunisme". Di Eropa Barat, Amerika Serikat dengan program
Marshall Plan-nya dapat membangkitkan kekuatan ekonomi serta membangun ketahanan
politik yang diatur sedemikian rupa. Tetapi di Indonesia dan negeri-negeri
berkembang Amerika menerapkan rumus-rumus dengan menegakkan dan mendukung
rezim-rezim militer lokal.

	Setelah itu maka berlangsunglah intervensi dengan menampilkan tokoh-tokoh
jenderal yang mendadak menjadi politikus dan negarawan ingusan. Bahkan menurut
Joesoef, Angkatan Darat kemudian berhasil menunggangi kalangan wartawan,
budayawan, sastrawan dengan konsep Manikebu dan BPS, yang semuanya itu bermuara
pada grand scenario perang dingin yang mengemban misi menyingkirkan PKI hingga
Soekarno sekaligus.

	Dalam kaitan perang dingin serta akibat-akibat yang ditimbulkannya, sastrawan
Pramoedya Ananta Toer-sahabat dekat Joesoef-menyatakan bahwa kejatuhan Presiden
Soekarno adalah bagian dari produk perang dingin yang gila dan takut setengah
mati pada momok komunisme. Bahkan aneksasi Timor Timur oleh tentara-tentara
Soeharto (sejak 1975) tak lain merupakan sisa-sisa perang dingin yang itu-itu
juga.

	Joesoef tidak terlampau mempersoalkan sikap politik atau sikap budaya kalangan
sastrawan (Manikebu) ataupun wartawan (BPS) yang baginya adalah urusan mereka
yang sah-sah saja. Tetapi yang menjadi persoalan adalah sangat jelas-dan menjadi
tanggungjawab mereka-bahwa Angkatan Darat terang-terangan menunggangi dan
mendalangi (quote-unquote) persitiwa kebudayaan itu.
Mestinya Manikebu dan BPS dapat hidup aktif setelah pembubaran PKI dan pengkupan
Soekarno. Tetapi semua orang tahu bahwa keduanya tidak konsekuen karena memang
tidak punya misi dalam mengemban konsep kebudayaan di Indonesia.

Kucuran-kucuran dana terus berkelanjutan sepanjang kepemimpinan rezim Soeharto.
Sejak tahun-tahun pertama penggulingan Bung Karno penekanan di bidang
ekonomi-politik dilakukan dengan cara-cara terselubung tak manusiawi, suatu
pengulang-ulangan gaya militerisme Amerika dengan mencari mitra dari elemen
bersahabat dalam tubuh Angkatan Darat pribumi.

	Dalam kaitan ini Peter Dale Scott, seorang mantan diplomat Kanada sekaligus
seorang penyair yang dikagumi Joesoef telah mengutip data-data yang sudah tak
asing lagi-meski nampak asing bagi angkatan muda Indonesia-terutama dari
Departemen Pertahanan Amerika, Military Assistance Facts, bahwa adanya (dan
besarnya) bantuan milieter Amerika kepada Indonesia telah dirahasiakan bagi
publik sejak 1963. Pada tahun ini jumlah suplai militer menurun drastis, tetapi
justru dipusatkan khusus kepada komplotan anti PKI dan anti Soekarno yaitu
kelompok Angkatan Darat.

	Dilanjutkan oleh Scott bahwa bukti-bukti penggulingan Allende (Cili) oleh CIA
merupakan analogi yang relevan, "…dan suatu hari kita pun akan mendengar betapa
CIA melalui spekulasi mata uang dan berbagai tindakan bermusuhan lainnya, dengan
aktif menyumbang kepada destabilisasi radikal ekonomi Indonesia. Hal ini justru
terjadi beberapa pekan menjelang kudeta 1965 dengan cara menaikkan harga beras
empat kali lipat antara 30 Juni dan 1 Oktober, dan harga dollar di pasar gelap
menjulang naik setinggi langit, teristimewa pada September 1965 itu."

	Kecanggihan militerisme Amerika tidak cukup berhenti sampai di situ. Dengan
cara-cara lihai dan penuh tipu-muslihat mereka kembali memainkan peranannya yang
bersifat multikompleks dengan menunggangi kalangan pers dan media untuk
memanipulasi opini dan dokumentasi palsu yang kemudian gemar dikunyah-kunyah
oleh pakar-pakar yang kompeten di Indonesia.

	Kesan-kesan yang diopinikan di media-media itulah yang kemudian melahirkan pola
dan kerangka berpikir rancu, yang sejak pagi-dini Bung Karno menyebutnya dengan
istilah denkfout, suatu kesalahan dalam kerangka berpikir, suatu kerancuan dalam
pola berpikir. Dengan maraknya gejala denkfout yang menghinggapi kalangan media
ini maka dengan lantang Joesoef menegaskan:

	Itulah dampak paling serius yang dipraktekkan rezim militer Soeharto selama 30
tahun lebih. Dan hampir semua pers di Indonesia telah terkontaminasi oleh
jurnalisme kuning….
***

Bersambung kebag. 2/10