[Nasional-a] Draft BIOGRAFI JOESOEF ISAK - Pengatar Penulis

nasional-a@polarhome.com nasional-a@polarhome.com
Fri Oct 4 00:36:17 2002


Draft BIOGRAFI JOESOEF ISAK

(sebuah oral history)

Oleh Hafis Azhari 



I.     Semasa kecil di kampung Ketapang
1.	Awal mula terjun sebagai wartawan muda
2.	Zaman demokrasi terpimpin
3.	Separatisme dan rongrongan terhadap RI
4.	Reportase seputar penangkapan Kartosuwiryo
5.	Garis suratkabar Merdeka

II. 	Mulai terjun ke organisasi kewartawanan
6.	Tumbuhnya kesadaran berpolitik
7.	Kongres PWI di Makassar
8.	Pembentukan Persatuan Wartawan Asia-Afrika 
9.	Strategi menolak Uni Soviet dari keanggotaan PWAA 

III.	Seputar peristiwa G30S/1965
10.	Perlakuan militer terhadap wartawan progressif
11.	Intimidasi seputar penyitaan rumah
12.	Menilai obyektif para tokoh PKI

IV. 	Penahanan di penjara Salemba (1968)
13.	Rumus interogasi yang diberlakukan
14.	Pemeriksaan khusus oleh top-interrogator
15.	Kesejahteraan di penjara
16.	Nasib beberapa kawan tapol
17.	Memaklumi kawan tapol yang pindah agama
18.	Menyelundupkan koran ke dalam sel
19.	Mutasi sosial yang berkembang
20.	Membebaskan kawan-kawan dari sel isolasi
21.	Soal religi dan religiositas

V.  	Pembebasan dari Salemba
22.	Dari penjara ke tahanan kota
23.	Soal penghapusan kode ET (ex-tapol)
24.	Pertemuan dengan deputi menteri luar negeri AS
25.	Pandangannya tentang solidaritas internasional
26.	Suatu kisah tentang keluarga Umar Said
27.	Kesaksian dari seorang kawan jurnalis

VI. 	Riwayat penerbit Hasta Mitra
28.	Kiat mengedit karya Pramoedya Ananta Toer
29.	Cerita tentang kiriman mesin ketik dari Jean Paul Sartre
30.	Interogasi yang absurd di Kejaksaan Agung
31.	Kisah tentang seorang penerjemah buku Pramoedya
32.	Pemecatan puteranya dari fakultas Sosial-Politik UI


VII. 	Beberapa hal tentang karakter Joesoef Isak
33.	Pelajaran dari Soebadio Sastrosatomo
34.	Kritik atas kekurangan Bung Karno
35.	Suatu kisah menarik pasca peristiwa Madiun
36.	Rahasia pribadi yang dipertahankan demi kesatuan bangsa
37.	Bagaimana menyelamatkan Pancasila?

VIII. Joesoef Isak mencita-citakan generasi baru Indonesia
38.	Menyoal kesenjangan perekonomian berabad-abad
39.	Solidaritas New Emerging Forces sedunia
40.	Wajah-wajah generasi baru Indonesia	


Pengantar dari Penulis 

Dalam buku 100 Tahun Bung Karno (Sebuah Liber Amicorum) Joesoef Isak menegaskan
dalam kata pengantarnya bahwa, "selama 30 tahun lebih telah terbentuk suatu
public opinion yang mapan tentang Soekarno tanpa ada kesempatan sama sekali bagi
Soekarno atau para pembelanya untuk menyatakan pendapat yang lain. Hukum
kelambanan kemudian berlaku hingga kebanyakan orang sudah tidak sanggup lagi
membebaskan diri dari kemalasan berpikir yang sudah membeku itu."

	Kelambanan atau inertia ini pada dasarnya terkait juga dengan maraknya invasi
kebudayaan barat yang dipancarkan lewat satelit, yang mendikte cita-rasa atau
selera pada gaya hidup masyarakat kita selama ini. Meski begitu Bung Karno
bersama pemikiran dan ajarannya tidak akan pernah goyah, bahkan tidak mungkin
terpengaruh oleh pasang-surut serta gelombang laut yang mengganas sekalipun.

	Bung Karno tetaplah Bung Karno, biarpun arus perubahan terus mengalir kepada
kemajuan ataupun pendangkalan. Ia akan terus hidup bersama dengan kebesaran dan
kesederhanaannya. Karena dalam kesederhanaan hidup seorang pemimpin, justru akan
melahirkan contoh dan teladan yang kelak membuahkan pemikiran bahkan mutasi
perubahan yang bersinambungan.

	Dan bila kita bicara dan berkreasi tentang Bung Karno, maka kita pun lantas
bertanya-tanya tentang para sahabat, pembantu serta pendukungnya. Secara
terus-terang penulis beserta kawan-kawan seangkatan yang lahir dan dibesarkan
pasca tahun 1965-an (secara implisit) bertanya-tanya: kalau sekarang begitu
nyata dan jelas tentang kebesaran nama Bung Karno sebagai pemimpin nasional RI,
lantas mungkinkah kebesaran itu muncul tanpa ada sahabat atau para pembantu yang
dengan setia mendukung dan membelanya? Di manakah mereka selama ini? Ke manakah
mereka sekarang ini…?

	Bila ada yang mengatakan bahwa mereka tidak diberi hak dan kesempatan untuk
bersuara maka pernyataan ini tidaklah keliru. Bahkan bila dinyatakan bahwa
mereka telah dibungkam dan diberangus atau ribuan di antara mereka telah
terbunuh atau dibunuh oleh rezim militer Orde Baru, pernyataan ini pun  tak bisa
dikatakan berlebihan.

	Pada kesempatan ini penulis ingin sekali menegaskan bahwa para pembantu dan
pendukung Bung Karno yang berikhtiar dan bekerja keras menciptakan tatanan
Indonesia Baru yang berbudaya dan berperadaban, adalah suatu "generasi yang
hilang" (The Lost Generation). Inilah tragedi terbesar dalam sejarah Indonesia
di mana kejahatan dan kekejaman telah berjuang mengorganisasi diri sampai puncak
kejayaannya, hingga berhasil menyingkirkan dan menyapu habis sisa-sisa kejayaan
masa lampau sebagai pelajaran berharga untuk melangkah ke masadepan.

	Orang-orang bijak mengatakan bahwa tidaklah mungkin datang suatu zaman di mana
hari ini menjadi lebih buruk daripada hari kemarin, dan besok tak mungkin
menjadi lebih buruk daripada hari ini. Tetapi tanpa bermaksud menyangkal
pendapat orang-orang bijak itu, penulis ingin menegaskan bahwa selama 30 tahun
lebih berjalannya pemerintahan Orde Baru, keadaan dan situasi yang terjadi dan
menimpa bangsa ini, justru adalah sebaliknya.

	Dalam kaitan ini maka muncullah berbagai "gugatan": mungkinkah tercipta
kebaikan di hari esok bila ada seseorang atau sekelompok orang berambisi keras
untuk berkuasa, hingga dengan cara-caranya yang kotor dan kejam tak mampu
terimbangi oleh lawan-lawannya yang dengan hati-tulus menginginkan penyelamatan
bangsanya? Mungkinkah esok itu lebih baik bila hari ini mereka tengah
merencanakan bahkan mengorganisasi diri untuk menyelenggarakan perusakan?

	Dalam biografi ini sekali lagi ditegaskan pernyataan Joesoef Isak tentang
periode militerisme Indonesia, di mana perebutan kekuasaan, pelanggaran HAM,
perkosaan kebebasan individu dan menyatakan pendapat, telah berlangsung begitu
resmi, sah dan konstitusional, bahkan dinyatakan legal sesuai hukum dan
prosedur.
	Karena itu selama sistem militerisme-fasis berjalan maka kesewenangan amatlah
merajai segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, hingga nyaris tak ada
ruang dan waktu untuk mengadakan perlawanan yang berimbang. Tetapi apakah
pewarta-pewarta kebenaran itu sudah mati seperti yang sering diolok-olokkan
lawan-lawannya? Apakah para tapol Orde Baru, yang sebagian besar para pendukung
dan pembantu Bung Karno itu telah mengalami kepunahan? Jawabannya ternyata
'tidak' sama sekali.

	Mereka sang pewarta kebenaran itu terus hidup dan abadi. Sebagian mereka memang
telah tiada, namun ketiadaan yang tetap hadir dalam sanubari dan kalbu kita yang
tetap mengemban amanat kebenaran. Sesekali kita mendengar apa yang mereka
suarakan, juga membaca apa yang mereka guratkan lewat pena, maka kita temukan
seakan mereka serempak berkumandang begitu menawan: "Kita memang telah kalah
tetapi kita tak pernah menyerah, sebab kalah dan menyerah adalah dua hal yang
berbeda."

	Penulisan biografi ini dimaksudkan sebagai upaya "perlawanan" terutama terhadap
dampak psikologis yang seakan mengendap dan membaku dalam benak masyarakat kita.
Selama puluhan tahun doktrin-doktrin itu begitu santernya menyuarakan citra
buruk tentang para tapol dan anak cucunya, hingga angkatan muda kita nyaris
tidak mengenal "bapak-bapak" mereka sendiri, yakni para bapak yang sejak
pagi-dini telah berjuang mengikhtiarkan penemuan jatidiri kita sebagai bangsa
yang merdeka.

	Ya, selama puluhan tahun ini hubungan kita telah terputus, karena kita telah
kehilangan orang tua kita. Kita telah menjadi "yatim piatu", bahkan tak ada
suatu pun yang mendukung kita untuk suatu proses penemuan jatidiri: lingkungan
keluarga, pendidikan sekolah, terutama sistem politik yang mempengaruhi semuanya
itu. Ya, kita telah kehilangan roh kemerdekaan kita, bahkan telah kehilangan
makna tentang suatu pola hidup yang berbudaya dan berperadaban.

	Lantas mau ke mana kita? Ke manakah masyarakat Indonesia Baru yang diidamkan
itu akan terbentuk? Pada akhir tulisan ini penulis menguraikan gambaran yang
dicita-citakan Joesoef Isak tentang generasi baru kita, suatu generasi yang
diharapkan akan tekun menelusuri jalan kebenaran, memperbaiki apa-apa yang telah
dirusak oleh Orde Baru serta memperjelas apa-apa yang telah digelapkan oleh
mereka.
	Generasi baru ini tentulah paralel seperti yang dicita-citakan Bung Karno
bersama founding fathers kita. Suatu generasi yang tidak apriori mengekor ke
timur ataupun ke barat, karena cahaya yang diperoleh bersumber dari pohon
keberkahan yang tidak bersifat ketimuran ataupun kebaratan. Mereka tidak apriori
memihak perseorangan ataupun golongan, akan tetapi loyalitas mereka selalu
ditujukan kepada yang paling dina-lemah-miskin.

	"Pemikiran dan jejak-langkah Bung Karno adalah tolok-ukur untuk menguji
moralitas kita sebagai bangsa." Begitulah tandas Joesoef, suatu pujian yang sama
sekali bukan dimaksudkan sebagai pengkultusan akan tetapi upaya untuk
menempatkan sesuatu pada kadar proporsinya. Suatu kehormatan yang layak
diberikan kepada siapapun yang memang berhak memperolehnya.

	Dalam kaitan ini, bahwa kita sebagai manusia punya kekurangan dan kelemahan,
patutlah kita akui, seperti halnya Bung Karno dan para pendukungnya mempunyai
kelemahan juga. Namun alangkah sembrono dan tidak adil bila kita
membesar-besarkan sisi kelemahan itu, dengan mengabaikan fakta-nyata tentang
kebesaran dan keagungannya. Di sini lagi-lagi kita mendapat pelajaran dari
Joesoef Isak bahwa kita hendaknya tidak terpaku menilai seseorang melalui sebuah
foto atau gambar yang mati, tetapi, "lihatlah sejarah hidup seseorang seperti
sebuah film yang terus berjalan sampai akhir."

	Jadi tak perlu kita berpanjang-panjang mempersoalkan bagaimana seseorang telah
berprinsip atau berideologi, atau bahkan apa latarbelakang partai dan agamanya.
Karena yang paling utama adalah soal perbuatan. Dan seberapa jauh perbuatan para
pendahulu itu dapat memancarkan keteladanan yang kelak menjadi pelajaran
berharga bagi masyarakat, terutama angkata muda kita.
Atas pertimbangan itulah antara lain biografi ini tersusun. Penulis berupaya
memaparkan sejarah hidup Joesoef Isak sebagaimana adanya, dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. Paling sedikit penulis berupaya membongkar segala
citra buruk yang selama ini menjadi label-permanen mengenai bapak-bapak tapol di
negeri ini.

Dalam suatu pernyataannya, dengan tegas Joesoef mengungkap kembali pidato Bung
Karno yang suatu kali pernah berpesan agar bangsa kita hendaknya mengikiskan
segala kephobian yang menyelimuti kehidupan kita. Ironisnya, selama 30 tahun
lebih segala kephobian itu telah bermutasi menyusupi segala-galanya. Citra-buruk
yang didakwakan rezim Soeharto telah berkembang-biak dan menghinggapi segala
aspek dalam kehidupan berbangsa, bahkan sebagian kita telah lupa bahwa kephobian
terhadap PKI, Bung Karno bahkan kepada bapak-bapak tapol adalah bagian dari
produk megalomania yang bersumber dari luar diri mereka, dan bukan dari
kedalaman diri mereka sendiri.

Dalam penyusunan biografi ini Joesoef menawarkan istilah "Reifikasi" yang
dijabarkannya sebagai produk utak-atik otak rezim militer Orde Baru sebagai
suatu abstraksi yang kemudian mereka anggap dan mereka percayai, bahkan diterima
sebagai kenyataan konkret yang berada di luar eksistensi mereka. Ya, dengan
membeberkan produk reifikasi yang dibikin sebagai fakta itulah yang
mengakibatkan ratusan ribu manusia telah dipersalahkan-yang mungkin saja-hanya
karena prinsip dan ideologinya, dan bukan dari kesalahan perbuatannya.

Di sini penulis ingin menyatakan bahwa penulisan biografi ini bukanlah
dimaksudkan sebagai suatu kampanye ilmiah. Sumber utamanya memang diperoleh dari
wawancara dan bincang-bincang selama beberapa bulan, namun upaya untuk
mengadakan think and re-think (berpikir dan meninjau kembali) serta cross-check
bersama para tapol dan sahabat-sahabat sekitar Joesoef Isak-saya pikir-tidaklah
mengurangi kadar keilmiahan karya ini. Semuanya itu dimungkinkan karena, seperti
kita tahu, segala bentuk perampasan dan pemberangusan terhadap perbukuan dan
karya-cipta oleh rezim Orde Baru, tidaklah memungkinkan referensi-referensi
dapat terhimpun dengan baik. Dalam soal ini Pramoedya bahkan pernah menyatakan
tentang apa yang dialaminya sendiri bahwa perlakuan terhadap karya-cipta di
zaman kolonial dulu, tidaklah separah apa yang telah diperbuat oleh fasisme
Soeharto selama ini.

Karena berbagai keterbatasan itu maka janganlah penulisan biografi ini dianggap
sebagai akhir yang tuntas, malahan penulis sendiri menganggapnya sebagai
kerja-permulaan yang harus dikembangkan terus. Dengan sesadar-sadarnya penulis
berangkat dengan suatu tekad bahwa, "bagaimanapun perjuangan kebenaran dan
kebaikan harus ditegakkan kembali di negeri ini!" Setiap kita yang berbudaya dan
berperadaban hendaknya memikul tanggungjawab ini, karena pada akhirnya toh
tidaklah sia-sia hidup seseorang yang mencari kebenaran walaupun belum
dicapainya, ketimbang mereka yang mencari-cari kesalahan walaupun telah berhasil
diperolehnya.

Segala kekurangan dan kekeliruan mungkin saja akan ditemukan pada buku ini,
namun kekeliruan yang tidak menyangkut persoalan substantif tentang sejarah itu
sendiri, tidaklah menjadi hal utama bagi penulis (meski kritik dan saran untuk
itu tetap akan dihadapi dengan hati terbuka). Hal ini dikemukakan karena-sekali
lagi-sebagian masyarakat kita sudah terbiasa mengunyah-ngunyah persoalan kecil
untuk dibesar-besarkan, sehingga yang sepele itulah yang selalu menjadi bahan
perdebatan. Kerangka berpikir semacam itu-menurut Joesoef-sudah melekat
menghinggapi semua-muanya, tak terkecuali mereka-mereka yang menyatakan diri
sebagai ilmuwan dan intelektual. Apa yang menjadi kreasi mereka selama ini
cumalah kesibukan mengutak-atik persoalan sampingan belaka daripada persoalan
yang substansial.

Terimakasih saya ucapkan kepada….


Banten, 30 September 2002
Hafis Azhari