[Karawang] Soal Beking-bekingan, Perlu Juga Dilihat Latar Belakangnya

Ambon karawang@polarhome.com
Fri Oct 4 14:24:42 2002


Kompas
Kamis, 3 Oktober 2002

TAJUK RENCANA
Soal Beking-bekingan, Perlu Juga Dilihat Latar Belakangnya

TEPATLAH apa yang disampaikan Wakil Presiden Hamzah Haz bahwa kita harus
menghapuskan beking-bekingan. Apalagi kalau itu berkaitan dengan urusan
kejahatan. Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun Kepolisian RI (Polri)
tidak boleh menjadi beking pelaku kejahatan.
Hal itu bukan hanya dimaksudkan untuk mencegah terulangnya kembali bentrokan
antara tentara dan polisi seperti di Binjai, Langkat, Sumatera Utara. Lebih
dari itu, kita membutuhkan aparat keamanan yang mampu melawan tindak
kejahatan.
Bagaimana kita akan melawan pelaku kejahatan, membasmi kejahatan, apabila
para pelaku itu berkomplot dengan aparat keamanan. Kita tidak akan pernah
menciptakan suasana aman, kalau tidak berani dan tidak mau menghadapi para
pelaku kejahatan, hanya karena mereka adalah teman-teman aparat keamanan
yang harus dilindungi.
LARANGAN untuk beking-bekingan tentunya tidak hanya berlaku bagi prajurit.
Hal itu harus berlaku untuk semua tingkatan, termasuk jenjang yang paling
tinggi.
Hanya dengan cara itulah, keinginan kita untuk mempunyai aparat keamanan
yang bersih bisa kita dapatkan. Hanya dengan cara itu maka selanjutnya bisa
bertindak tegas terhadap mereka yang melanggar larangan.
Kita tidak boleh setengah-setengah kalau mau menghapuskan beking-bekingan.
Kita harus tegas dan sama sekali tidak mengenal kompromi.
BEKING-bekingan yang dilakukan aparat keamanan bukan baru kemarin terjadi.
Ini sudah lama berlangsung dan sejak lama kita memprihatinkan hal itu.
Ada dua penyebab timbulnya beking-bekingan. Pertama adalah karena adanya
contoh dari pejabat yang lebih tinggi. Kita sering mendengar bahwa yang
namanya kolonel ke atas pasti memiliki kroni. Mereka saling memanfaatkan,
khususnya dalam urusan materi.
Kita memang sering seakan mendapat pembenaran dari desas-desus itu. Kita
melihat perwira-perwira tinggi yang begitu pensiun segera menjadi direktur
atau komisaris dari perusahaan tertentu.
Contoh-contoh seperti itu sangat wajar menular kepada mereka yang ada di
tingkat lebih rendah. Itu dilakukan sesuai dengan jabatan yang disandangnya.
Bagi para prajurit, yang bisa mereka lakukan adalah menjadi penjaga toko
atau penjaga gudang.
HAL kedua yang menjadi penyebab timbulnya beking-bekingan adalah soal
kesejahteraan. Terutama untuk para prajurit yang paling bawah, terlalu lama
kita tidak memperhatikan mereka.
Sejauh yang kita ingat, ketika zaman Panglima ABRI Jenderal M Jusuf
kehidupan prajurit sangat diperhatikan. Hampir setiap hari Panglima ABRI
ketika itu berkeliling ke seluruh daerah, bertemu langsung dengan prajurit
dan juga keluarganya. Namun setelah itu, hanya sesekali para prajurit itu
ditengok para pimpinannya.
Padahal, keadaan sekarang berbeda dengan kondisi di masa lalu. Di samping
tekanan kehidupan yang semakin membebani, tugas yang harus dipikul oleh
prajurit semakin berat.
DALAM kaitan keinginan kita menghapus beking-bekingan, pada tempatnyalah
apabila kita mau memperhatikan kehidupan para prajurit. Bagaimana pun mereka
adalah saudara-saudara kita, bangsa Indonesia. Mereka mempunyai tanggung
jawab, bukan hanya kepada diri mereka sendiri, tetapi juga kepada keluarga
mereka.
Pilihan untuk menjadi prajurit adalah sebuah panggilan. Mereka yang memilih
untuk menjadi prajurit berarti siap untuk menyerahkan jiwa raganya bagi Ibu
Pertiwi.
Karena taruhannya jiwa dan raga, maka pada tempatnyalah kepada para prajurit
itu kita berikan kehormatan. Pekerjaan yang mereka lakukan adalah sebuah
pekerjaan yang pantas untuk mendapatkan pengakuan. Bukan sebuah kesia-siaan.
OLEH karena prajurit adalah manusia juga, seharusnyalah negara memberikan
kehidupan yang layak kepada mereka. Sama halnya dengan tuntutan kita untuk
memberikan kehidupan yang layak bagi para buruh, petani, nelayan, guru, dan
para pegawai negeri sipil.
Kita tidak bisa menyangkal, para prajurit pun tentunya memiliki keinginan.
Apalagi di tengah kehidupan yang serba materialistis seperti sekarang ini.
Siapa yang tidak tergoda kalau lingkungan sekeliling mereka hidup
bergelimang harta, sementara mereka yang sewaktu-waktu harus berangkat ke
medan perang, harus hidup di tengah kenestapaan.
Sepanjang yang kita ketahui, banyak di antara para prajurit memilih untuk
menjadi penjaga toko ataupun gudang, karena mereka membutuhkan dana tambahan
untuk menopang kehidupan keluarga. Para prajurit itu rela mengorbankan waktu
istirahat mereka, hanya untuk membuat keluarga mereka bisa bertahan hidup.
Bukan untuk hidup bergelimang kemewahan.
MENJELANG Peringatan ke-57 Hari TNI tanggal 5 Oktober, pada tempatnyalah
kita bertanya, akan dibawa ke manakah TNI kita ini? Tanggung jawab
pertama-tama tentunya berada di pundak para pemimpin TNI sekarang ini untuk
membangun TNI sebagai sebuah institusi yang pantas kita hormati dan kita
banggakan.
Insiden yang terjadi di Binjai dan menewaskan sembilan orang pantas
dijadikan momentum untuk membangun kembali TNI sesuai dengan jati dirinya
sebagai tentara nasional dan tentara yang dekat dengan rakyatnya. Bukan
tentara yang lepas komando, apalagi terlibat dalam beking-bekingan.
Kita percaya bahwa TNI akan mampu mengembalikan institusi seperti yang
dicita-citakan dulu. Pembenahan dari dalam merupakan kunci utama
keberhasilan untuk membangun kembali institusi TNI. Kita yang di luar
dituntut memberi dukungan yang positif, seraya bersama-sama mencegah anggota
TNI untuk tidak terjebak lagi dalam perilaku lama, termasuk beking-bekingan.
Aturan Keimigrasian AS Dinilai Diskriminatif dan Berlebihan
PERATURAN keimigrasian baru Amerika Serikat (AS) telah mengundang
kontroversi karena terkesan diskriminatif. Bahkan, Perdana Menteri (PM)
Malaysia Mahathir Mohamad mengecam peraturan itu sebagai histeria
anti-Muslim.
Mulai hari Selasa 1 Oktober, para petugas imigrasi di AS mencatat identitas
diri-termasuk sidik jari-dan memotret siapa saja yang dinilai memiliki
ciri-ciri teroris, yang baru datang dari negara-negara tertentu, termasuk
dari Malaysia.
Kaum pria menjadi sasaran utama untuk dijaring dalam pemeriksaan khusus itu.
Peraturan keimigrasian AS itu dinilai sudah berlebihan, overacting,
sewenang-wenang, arogan, dan sangat diskriminatif.
HEBOH tentang peraturan keimigrasian AS itu bertambah besar di Malaysia
karena sehari sebelumnya terungkap, Wakil Perdana Menteri (PM) Malaysia
Abdullah Ahmad Badawi harus melepaskan sepatunya dalam pemeriksaan keamanan
setibanya di Los Angeles bulan lalu, dalam perjalanan ke New York untuk
berpidato di Majelis Umum PBB.
Perlakuan petugas AS telah merendahkan martabat Badawi, yang membuat bangsa
Malaysia sangat tersinggung. Bukankah Badawi pejabat penting yang secara
protokoler dan tata krama diplomatik internasional memiliki privilege?
Ketersinggungan bertambah, karena AS memasukkan Malaysia dalam daftar 15
negara yang dianggap berisiko dalam soal terorisme. Kualifikasi dan
kategorisasinya tidaklah jelas, namun tampak mengandung prasangka politik
dan ideologis.
Itulah sebabnya Mahathir dalam mengekspresikan kemarahannya menegaskan, "Ini
sudah merupakan histeria anti-Muslim yang bersifat umum. Hanya karena
tindakan segelintir orang, kini seolah-olah seluruh kaum Muslim dicap sama,
yang membuat mereka harus diperiksa untuk membuktikan mereka bukan teroris."
LEBIH jauh Mahathir menegaskan, "Tentu saja saya bingung. Saya bukan
pencuri. Saya bukan teroris." Pernyataan kekecewaan juga disampaikan Menteri
Luar Negeri (Menlu) Malaysia Syed Hamid Albar, yang menganggap peraturan
keimigrasian AS sangat diskriminatif.
Aturan keimigrasian baru AS diperkirakan akan membawa implikasi luas. Rasa
ketersinggungan, kecewa, dan kemarahan akan muncul di 15 negara yang dituduh
AS berisiko terorisme. Sikap antipati terhadap AS akan meningkat.
Padahal, Malaysia termasuk negara yang paling cepat menyampaikan simpati
kepada AS atas tragedi serangan terorisme 11 September 2001.
Pemerintahan Mahathir pun menyatakan dukungan kuat terhadap koalisi global
melawan terorisme.
Secara konkret, Pemerintah Malaysia menangkap puluhan anggota kelompok
militan dan dimasukkan ke dalam tahanan tanpa proses pengadilan, berdasarkan
Peraturan Keamanan Dalam Negeri (ISA). Langkah tegas Mahathir disambut
gembira oleh AS, sampai-sampai pemimpin Malaysia itu diundang ke Gedung
Putih.
Mahathir pun dianggap kawan. Sebelumnya, Mahathir kurang disukai karena
termasuk pemimpin Dunia Ketiga yang vokal mengecam hegemoni dan dominasi AS
dan negara Barat lainnya. Tokoh berusia 76 tahun itu sempat dikecam
melanggar hak asasi dalam proses penangkapan dan penahanan mantan Wakil PM
Malaysia Anwar Ibrahim.
PERUBAHAN konfigurasi hubungan itu juga dialami Pakistan. AS semula mengecam
Presiden Jenderal Pervez Musharraf karena mengambil alih kekuasaan melalui
kudeta militer. Namun, Musharraf langsung dianggap kawan karena mendukung
kampanye AS dalam melawan terorisme internasional.
Arah kampanye melawan terorisme semakin menjadi tidak jelas oleh peraturan
keimigrasian baru AS. Malaysia, Pakistan, dan ke-13 negara lain yang semula
memperlihatkan dukungan terhadap gerakan melawan terorisme, kini mulai
kecewa dan marah terhadap AS.
Sungguh menyakitkan tuduhan dan perlakuan diskriminatif AS. Namun, secara
tidak langsung AS telah mencari musuh dengan peraturan keimigrasiannya.
Implikasi negatifnya dipastikan akan mempengaruhi koalisi global melawan
terorisme.
Pertanyaan tentang arah kampanye global melawan terorisme mulai mencuat
sejak timbulnya krisis Irak. Upaya melawan terorisme mulai kehilangan fokus
ketika Presiden AS George W Bush mengancam akan menggempur Irak atas tuduhan
membangun program persenjataan pemusnah massal yang mengancam kepentingan AS
dan dunia.
KONTROVERSI atas rencana serangan AS terhadap Irak hanya membuyarkan
konsentrasi terhadap upaya bersama melawan terorisme. Apalagi mulai beredar
isu, motif utama gempuran terhadap Irak tidak terkait dengan masalah
terorisme, tetapi lebih untuk kepentingan bisnis minyak.
Pemerintahan Presiden Irak Saddam Hussein harus dijatuhkan agar muncul
pemimpin baru, yang dapat bekerja sama dan memberi peluang besar kepada AS
dalam eksplorasi minyak sebagai bisnis yang menggiurkan.
Terlepas dari soal salah atau benar, isu minyak telah memberi persepsi
negatif terhadap rencana Presiden Bush menggempur Irak. Dalam kenyataannya,
suara menentang serangan AS terus bergema luas, dari daratan Eropa sampai
Asia, bahkan di dalam negeri AS sendiri.
TIBA-TIBA peraturan keimigrasian baru diberlakukan AS. Peraturan itu hanya
akan menambah sikap antipati terhadap AS, terutama di 15 negara yang
dituduhnya berisiko teroris.
Implikasi peraturan keimigrasian itu sangat luas dan sensitif karena
bersifat diskriminatif, dan dicurigai mengandung prasangka ideologis.
Ketegangan baru pun muncul.