[Karawang] Tentara, Mengapa Tidak Boleh Berpolitik
Ambon
karawang@polarhome.com
Fri Oct 4 14:24:40 2002
SUARA PEMBARUAN DAILY
Tentara, Mengapa Tidak Boleh Berpolitik
Tulus Warsito
Dalam pengertian sehari-hari, tentara (terutama angkatan darat) adalah sosok
profesi yang paling nasionalistik, karena tugasnya adalah membela bangsa dan
negara. Lebih dari itu, tentara adalah juga sosok profesi yang secara ragawi
tampak gagah perkasa, berjiwa ksatria dan selalu peduli terhadap penderitaan
rakyat. Di mata anak-anak, tentara adalah sosok hero yang memang pantas
untuk tampil sebagai pemimpin bangsa. Tetapi sejak lengsernya Soeharto, si
hero itu sedikit demi sedikit dikurangi jatahnya di lembaga parlemen. Bahkan
pada tahun 2004 nanti sudah tidak lagi tampil di Senayan. Kata koran,
tentara tidak boleh lagi berpolitik. Dari sekarang, yang boleh tampil dalam
politik adalah orang sipil. Lalu kita bertanya, mengapa demikian?
Bukanlah Satu-satunya
Yang dimaksudkan tak boleh berpolitik adalah dalam pengertian politik
praktis. Tepatnya lagi adalah politik kepartaian ataupun politik parlemen.
Sedangkan politik sebagai hak warga negara, apalagi sebagai kewajiban,
tentara merupakan kelompok yang paling bertanggung jawab menangani hal itu.
Kalau kita harus mengenang kejayaan tentara di Indonesia, sebenarnya Orde
Baru bukanlah satu-satunya rezim yang menampilkan "pemerintahan militer",
karena sebagian besar pemerintahan di Amerika Latin misalnya, bahkan hampir
di semua negara sedang berkembang melakukan hal yang sama. Hanya saja dalam
masyarakat internasional seolah ada satu konvensi bahwa sistem pemerintahan
yang maju adalah yang dipimpin oleh sipil, sebaliknya pemerintahan militer
adalah cermin keterbelakangan. "Konvensi" semacam itu menyebabkan citra
militer yang disebut terlebih dulu menjadi hanya sekadar dongeng, karena
untuk apa tampil gagah-perkasa apabila dianggap tidak pantas untuk memimpin
negara.
Bagi orang yang selalu membanggakan militer sebagai patriot bangsa seolah
menganggap bahwa politik praktis adalah segalanya. Kalau militer tak lagi
boleh tampil di Senayan seolah habis sudah riwayat tentara. Kalau militer
tak boleh lagi menjadi presiden, seolah tak ada lagi jalan mulia untuk
berbakti kepada bangsa dan negara. Padahal, menjadi tentara itu merupakan
profesi yang paling nasionalistik. Tentara memang harus peduli politik.
Dari segi profesi, militer adalah sebuah lembaga yang dibentuk untuk
mem-back up keamanan dan stabilitas negara dan bangsa. Oleh karena itu,
militer merupakan profesi yang paling peduli terhadap kemajuan teknologi,
baik teknologi komunikasi, teknologi persenjataan, maupun teknologi apa
saja, karena dari teknologi militer berkepentingan untuk memanfaatkannya
sebagai alat menjalankan misinya.
Kepentingan terhadap perkembangan teknologi tersebut, pada gilirannya
mengakibatkan sosok militer menjadi lembaga yang selalu tampil modern, maju
dan progresif. Oleh karena itu sangatlah wajar jika militer selalu merasa
perlu meningkatkan kemampuan teknologinya, kemampuan operasionalnya, dari
waktu ke waktu. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas keamanan bangsa
dan negara tentu saja militer juga amat peduli dengan perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, maupun budaya dan
terutama sekali dalam bidang politik, karena dengan begitu mereka dapat
memantau dan mengantisipasi perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Bahkan
dalam era globalisasi sekarang ini, yang mereka perhatikan tidak hanya
masyarakat di dalam negeri melainkan juga masyarakat internasional.
Sejauh ini kepedulian "alamiah" militer ini masih kedengaran sesuai dengan
prakondisi sebagai pimpinan nasional suatu bangsa. Militer menjadi "minor"
sebagai pemenang tampuk pemerintahan apabila lembaga tersebut dilihat dari
teori-teori birokrasi. Para teoretisi menganggap bahwa militer tak lebih
hanya sekadar aparat negara. Walaupun penting, mereka hanyalah alat
pemerintah (pemerintahan sebagai perwujudan negara) dan bukan pemimpin
negara. Dalam teori-teori birokrasi, seperti halnya pegawai negara yang
lain, militer adalah lembaga yang membantu jalannya pemerintahan. Dengan
demikian posisinya berada di bawah eksekutif.
Sedangkan eksekutif adalah pejabat pemerintah yang otoritasnya diperoleh
berdasarkan hasil pemilihan (pemilu). Dalam konteks seperti itu, mestinya
militer "tunduk" kepada eksekutif. Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa
militer adalah lembaga vokasional (lembaga "nafkah"), sedangkan eksekutif
adalah lembaga politik.
Demokrasi Militer
Sebab kedua dari ketidaksesuaian peranan militer sebagai pimpinan nasional
adalah, karena dalam disiplin militer pengambilan keputusan selalu
digerakkan dengan sistem komando. Struktur kepemimpinan yang hirarkis
mencerminkan alur pengambilan keputusan yang sangat didasarkan pada atasan,
walaupun hal itu bukan berarti tidak tahu aspirasi bawahan.
Sebagai lembaga birokrasi, struktur dan sistem komando ini adalah tepat,
karena sesuai dengan asas efisiensi dan efektivitas. Akan tetapi dalam
sistem pemerintahan atau politik nasional, yang objek dan subjek pelakunya
adalah sejumlah manusia dengan segala kepentingan dan aspirasi politiknya,
sistem komando dinilai bertentangan dengan asas demokrasi. Dalam konsep
demokrasi, seburuk apapun orang menafsirkannya, adalah merupakan suatu
mekanisme pengambilan keputusan yang didasarkan pada kepentingan bawahan,
kepentingan rakyat.
Dengan demikian, sekali lagi, lembaga pemilu sebagai unsur pokok yang
membedakan antara birokrat dan eksekutif tetap harus menjadi ukuran dasar
bagi terciptanya proses demokratisasi politik suatu bangsa/negara. Memang
tidak ada satu jaminan bahwa mekanisme top down adalah lebih buruk dari
bottom up policy. Dalam kenyataan di lapangan, keberhasilan kedua model
pengambilan keputusan tersebut tergantung juga pada kualitas masyarakatnya.
Sebagai partner dari "atasan", "bawahan" yang pasif, yang tak punya
inisiatif, tentu tak dapat diharapkan menghasilkan apa-apa jika harus
dilaksanakan model bottom up. Sebaliknya "atasan" yang tahu diri, yang
memperjuangkan semua kepentingan, bisa saja menghasilkan kemajuan bagi semua
pihak. Namun demikian, perlu dicatat bahwa, mana ada "bawahan" yang sama
sekali tidak punya inisiatif, mana ada rakyat yang pasif, apalagi di tengah
gelombang informasi yang mengglobal ini. Lagi pula, permasalahan yang
dibahas di sini adalah masalah ideal, masalah norma, yang hampir semua
negara yang kita anggap maju memang menilai "aneh" jika tentara harus terjun
dalam politik nasional.
"Adhrocracy"
Dari pengalaman dapat pula diambil kesimpulan bahwa, secara institusional
jika militer (yang punya senjata dan sistem komando itu) berada di puncak
pimpinan nasional instink politik untuk mempertahankan kekuasaan akan
semakin berlanjut, karena institusi politik lainnya dipastikan menjadi
macet. Kenapa demikian? Karena senjata sebagai "alat mempengaruhi" adalah
sarana paling objektif dan efektif untuk mempertahankan kekuasaan, apalagi
di masyarakat sedang berkembang. Sebab yang lain adalah, karena sistem
komando akan mengurangi mekanisme penyerapan aspirasi dari bawah, yang pada
gilirannya semakin melanggengkan kekuasaan (yang biasanya dinyatakan atau
dijanjikan sebagai "bersifat sementara" itu).
Para penganut realisme politik sering menyalahkan politisi sipil tentang
terjadinya "adhocracy militer" (pemerintahan militer sementara) ini, karena
mereka percaya bahwa hanya dengan politically real powerful siapapun atau
kelompok manapun dapat tampil pada puncak pimpinan nasional, walaupun tanpa
senjata.
Sedangkan bagi para institusionalis seperti Lucian W Pye misalnya,
menggarisbawahi bahwa hanya dengan restrukturisasi lembaga-lembaga politik
yang sesuai dengan demokrasi saja yang dapat mengakhiri adhocracy militer,
karena urusan pemerintahan, urusan politik nasional bukan sekadar "arisan"
atau "promosi dagang" yang hanya dengan satu lembaga promotor saja dapat
diharapkan siapa "pemenang"-nya (pada zaman Orde Baru, Soehartolah yang
mengatur semua pos jabatan penting pemerintahan).
Kesementaraan pemerintahan (adhocracy) yang di -tackle oleh militer biasanya
disebabkan oleh hal-hal yang darurat, ketika kedaulatan negara dan tertib
sosial/politik nasional berada pada titik rawan. Jika kondisi masyarakat
telah menghasilkan kemajuan dalam bidang ekonomi, sosial dan politik, maka
otomatis kedaulatan negara harus dikembalikan pada posisinya terdahulu,
yaitu sejajar dengan kedaulatan rakyat. Negara tidak lain adalah rakyat.
Jika birokrat adalah abdi negara, maka berarti juga abdi masyarakat.
Jika pendapat di atas mengandung kebenaran, menjadi sangat mendesak bagi
kita untuk menegaskan kondisi sosial, ekonomi dan politik kita saat ini.
Apakah saat ini kita sudah berada pada posisi baik-baik saja, atau hanya
kelihatannya baik, atau jangan-jangan bahkan masih buruk atau lebih buruk
daripada era Orde Baru. Apabila kenyataannya masih lebih buruk, maka menjadi
sulit bagi politisi sipil untuk menolak kembalinya tentara ke tampuk
kekuasaan, walaupun amendemen UUD telah mengantisipasi hal tersebut.
Instabilitas sosial, politik dan ekonomi, merupakan prasyarat paling empuk
bagi kembalinya tentara pada adhocracy seperti yang disebut terdahulu.
Politisi sipil tidak boleh dan tidak dapat sekadar melempar tanggung jawab,
apalagi menuduh militer sebagai biang instabilitas nasional, walaupun mereka
memiliki peluang untuk itu. Instabilitas, dan juga stabilitas nasional
merupakan sesuatu yang tak satu kelompok pun dapat mengendalikan
kehadirannya. Artinya, stabilitas nasional adalah tanggung jawab bersama,
bukan hanya militer, bukan hanya sipil. Kalau militer masih dianggap sebagai
pihak paling bertanggung jawab terhadap stabilitas nasional, berarti memang
mereka masih yang paling kuat di negeri ini. Berarti juga mereka pula yang
masih merupakan lembaga paling pantas untuk tampil di puncak kekuasaan.
Berarti juga kita kembali ke era Soeharto. Berarti pula kita mengkhianati
amanat reformasi. Ternyata?
Penulis adalah Dosen Fisipol - UMY, tinggal di Yogyakarta.
Last modified: 3/10/2002