[Nusantara] Disiplin Pasar Neoliberal

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Wed Dec 11 10:36:11 2002


Disiplin Pasar Neoliberal 

* Tanggapan untuk Indra J Piliang 

Oleh Budiman Sudjatmiko 

DALAM tulisannya, Akar-akar Hancurnya Civil Society
(Kompas, 19/11/2002), Indra J Piliang merisaukan
kehancuran masyarakat madani di Indonesia. Dia
menyebutkan, proses kehancurannya justru makin tampak
setelah terjadinya transisi demokrasi. 

Dalam proses pemberdayaan rakyat, pegiat LSM bingung
karena kehilangan common enemy, yaitu negara.
Sementara partai-partai politik kini justru tidak
cukup memberi warna bagi proses itu. 

Indra risau, saat partai-partai politik kini bertumbuh
bagai jamur di musim hujan, gerakan-gerakan sosial
justru kebingungan bagaimana menjadi pohon yang
berakar di tengah jamur-jamur itu. Sementara tugas
pemberdayaan rakyat belum lagi berbunga, apalagi
berbuah. 

Menurut saya, kehancuran ikatan solidaritas horizontal
merupakan salah satu akar kehancuran civil society.
Saya tengarai ada sejumlah faktor ekonomi-politik yang
menyebabkan hancurnya solidaritas horizontal itu,
yaitu berdominasinya gelombang neoliberalisme yang
melanda negeri-negeri berkembang sejak 1980-an,
berdampak pada pembangunan ekonomi dan perpolitikan di
negeri-negeri itu. 

Menurut Kenneth M Roberts dari University of New
Mexico, kesenjangan sosial sebagai dampak ekspansi
neoliberalisme di Amerika Latin ternyata tidak selalu
memunculkan solidaritas horizontal di kalangan rakyat,
terutama solidaritas berbasis kelas. Fenomena ini
menarik karena wilayah itu dikenal sebagai wilayah di
mana solidaritas horizontal berbasis lintas-kelas
(misalnya populisme Peronis) ataupun berbasis kelas
(sosialisme Marxis) memiliki sejarah panjang. 

Ketika neoliberalisasi kian melebarkan kesenjangan
sosial, ternyata ikatan kelas kian memudar.
Persoalannya, apakah itu perkara khas di Amerika Latin
atau fenomena umum di negeri-negeri dunia ketiga
lainnya? 

Kiranya berguna mengupasnya jika kita memfokuskan pada
pertanyaan: apakah ada kecenderungan serupa atau,
bahkan, lebih kuat di Indonesia? Sebagaimana
diketahui, politik berbasis kelas di Indonesia tidak
berdominasi ketimbang, misalnya, politik aliran. 

Selanjutnya, K Roberts mengatakan, artikulasi politik
di Amerika Latin pada periode awal transisi tidak
mendasarkan dirinya kepada solidaritas horizontal,
tetapi penguatan ikatan vertikal di mana ikatan dengan
kaum senasibnya malah memudar. Artinya, setelah
direpresi cukup lama semasa era otoriterisme, dan
setelah mengalami tindakan "pendisiplinan" oleh
regulasi pasar model neoliberalisme oleh rezim-rezim
itu, rupanya preferensi-preferensi politik masyarakat
bawah mengalami proses "individualisasi" sekaligus
dis-artikulasi kelas. 

Namun, "disiplin pasar ala neoliberal" juga tidak
menjadikan pilihan-pilihan politik mereka "rasional",
seperti asumsi sejumlah kalangan, liberalisasi ekonomi
akan menyebabkan rasionalisasi dalam
preferensi-preferensi politik dan budaya masyarakat. 

Ada asumsi, dalam proses itu, masyarakat akan mulai
meninggalkan ikatan-ikatan lain, kecuali ikatan pada
harapan menyejahterakan hidup mereka dalam segala
aspeknya, menurut hukum besi penawaran dan permintaan
yang "rasional". Bagaimana kita mencermati perkara
ini? 

Kita perlu mencatat, era transisi di banyak negara
berkembang merupakan reaksi atas berkuasanya era
otoriterisme. Kecenderungan politik penguasa otoriter
di masa lalu adalah penyingkiran sektor-sektor rakyat
dari kancah politik dan peredaman aspirasi-aspirasi
ekonomi mereka yang (umumnya) berbasis atau,
setidaknya, berjargon kepentingan kelas. 

Namun, pada saat bersamaan, kekuasaan otoriter justru
melakukan kooptasi politik terhadap kelas menengah.
Kelas menengah ini lalu dijadikan junior partners
dalam sistem politik otoriter dan ekonomi pasar (baik
yang ortodoks maupun agak longgar). Ketika akhirnya
demokratisasi terjadi, yang menjadi penyangganya
justru lapisan menengah yang semasa rezim lama menjadi
junior partners. 

Dalam banyak kasus, sebagian lapisan oligarkis
"demokratis" pendukung rezim lama disertakan di
dalamnya. Sehingga yang didapati semasa era transisi
adalah struktur kekuasaan yang beralih dari core group
lama rezim otoriter ke core group baru rezim
sipil/demokratis. Tak kurang dari itu, berlanjutnya
kebijakan ekonomi neoliberal dan adanya sejumlah besar
massa rakyat yang sekian lama terdepolitisasi. 

Dampak penajaman kebijakan deindustrialisasi yang
memfokuskan diri pada liberalisasi perdagangan (rezim
otoriter atau rezim sipil demokratis), massa rakyat
kian tersegmentasi dalam unit-unit produksi
kecil-kecilan. Kian banyak dari mereka menjadi buruh
sub- kontrak, pekerja lepas, petani yang kehilangan
akses atas tanah, para pengecer kecil, dan
berkurangnya konsentrasi-konsentrasi buruh dalam
jumlah besar di pabrik-pabrik besar plus jutaan massa
pengangguran. Kian berkurang ikatan perekat berskala
besar dalam proses produksi. 

JIKA di Amerika Latin neoliberalisme ditumbuhkan sejak
awal oleh rezim militer untuk "mendisiplinkan"
masyarakatnya agar patuh kepada regulasi pasar dan
tidak berideologi lain kecuali ideologi ekonomi
neoliberal dan tidak berpolitik kecuali tunduk pada
otoriterisme militer, maka neoliberalisme di Indonesia
amat terasa justru semasa menjelang keruntuhan rezim
otoriter Orde Baru. Terutama setelah paket Structural
Adjustment Programme disepakati Presiden Soeharto
(saat itu) karena krisis ekonomi 1997. 

Meski demikian, saat terjadi perpindahan dari pola
"depolitisasi tanpa disiplin pasar" pada awal Orde
Baru ke pola "depolitisasi dengan disiplin pasar"
tahun 1987 (melalui paket deregulasi), lalu beranjak
ke pola "politisasi dengan disiplin pasar" sejak 1999
(pemilu bebas pertama setelah 1955), ada yang tidak
berubah di dalamnya, yaitu pola hubungan elite-massa
yang bersifat patrimonial. 

Sejumlah kalangan mengatakan, modernisasi membuat
masyarakat kian urban, terspesialisasi, melek huruf,
terdidik, dan semacamnya. Dalam kaitan ini,
neoliberalisme ekonomi merupakan fase terbaru. Namun,
justru di sinilah perkaranya. Ketika modernisasi hanya
mendorong tiap individu menaati "disiplin pasar"
(memenuhi mekanisme penawaran dan permintaan aspek
kehidupan) tetapi tidak membuat mereka melek
(literate) dalam politik, dampaknya adalah paradoks:
terjadi proses derasionalisasi politik di tengah
proses rasionalisasi ekonomi neoliberal. 

Hal itu ditampakkan dalam pilihan-pilihan politik yang
relatif terlepas dari posisi sosial/ kelasnya, dan
sebaliknya condong pada ikatan politik vertikal dengan
patron-patron lama. Patron-patron inilah yang dulu
merupakan junior partners kekuasaan otoriter lama dan
kini menempati posisi eselon satu (core group)
kekuasaan baru. 

"PERBAIKAN nasib" menjadi pelaku utama yang independen
dari kekuasaan baru, menjadikan posisi sang patron
lebih kuat. Dengan transformasi itu, kini mereka
berkuasa, baik secara nasional maupun lokal. Namun,
pada saat sang patron terlepas dari dependensinya atas
kekuasaan otoriter lama, mereka kini justru tergantung
(dependent) pada regulasi disiplin pasar. 

Hal itu berdampak pada perilaku politiknya sehingga
menjadi lebih "terbuka" dalam mengartikulasikan
kepentingan politiknya (yang tak mungkin mereka
lakukan saat "magang" pada rezim lama), menjadi lebih
"demokratis" (mereka harus dipilih, tak lagi
diangkat), dan lebih memiliki kelonggaran ruang untuk
mendorong karier politiknya dalam mekanisme pasar
politik secara bebas. 

Namun, perkembangan itu hanya terjadi di kalangan
elite kekuasaan baru. Sementara pola hubungan antara
patron dan kliennya, massa pemilih di lapisan bawah,
tidak mengalami perubahan. Perbedaannya adalah sang
patron memiliki dua posisi rangkap, sebagai insan
politik yang "berdaulat" (tak lagi menempel pada
kekuasaan otoriter) dan sebagai insan ekonomi
paripurna. Sang patron merupakan entrepeneur yang juga
siap mempraktikkan disiplin pasar kepada kliennya. 

Maka mulailah mereka mendirikan badan-badan usaha yang
terintegrasi secara nasional dan, jika mungkin, secara
internasional. Lalu, jika dilihat dari kacamata relasi
kelas secara umum, mereka "memecah-mecah" lapisan
bawah masyarakat (klien mereka) menjadi
pekerja-pekerja subkontrak, pekerja lepas tanpa
perlindungan hukum, dan pengikut politik saat pemilu
di tingkat nasional maupun pemilihan kepala-kepala
daerah. 

Mereka telah mengubah massa menjadi partikel-partikel
atom (atomized particles) yang mengambang hilir-mudik
mengisi ruang-ruang publik kita yang kecil, dalam
kompartemen-kompartemen yang terasing satu sama lain.
Untuk Indra dan para pegiat demokrasi, dimulai dari
ruang-ruang kecil yang tersekat inilah, demokrasi dan
semuanya mesti kita bangun kembali. 

Budiman Sudjatmiko, Mahasiswa Program Master di
Department of Political Studies, SOAS (School of
Oriental and African Studies) University of London. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail Plus - Powerful. Affordable. Sign up now.
http://mailplus.yahoo.com