[Nasional-f] [koran-salatiga] Cerpen: Varka Hanya Ingin Tidur

enjoy_aje nasional-f@polarhome.com
Mon Sep 9 15:00:05 2002


   Cerpen 
 
Varka Hanya Ingin Tidur 
http://www.suaramerdeka.com/cybernews/budaya/cerpen.htm
Cerpen Anton Chekhov 
Malam. Varka, pengasuh kecil itu, seorang gadis
berumur tiga belas, sedang menggoyang-goyang ayunan
tempat seorang bayi berbaring seraya bersenandung
cukup keras:

Tidurlah, tidur, bayiku sayang

Aku bernyanyi untukmu ...

Sebuah lentera hijau menyala; terentang seutas tali
dari ujung ke ujung ruangan, di situ tersampir pakaian
bayi dan sebah celana panjang hitam. Bayangan
kehijauan membias di langit-langit, dan pakaian bayi
serta celana panjang menampilkan bayangan memanjang di
perapian, di atas ayunan dan pada tubuh Varka ... Saat
lentera itu berkelip-kelip, bayangan kehijauan dan
bayang-bayang memanjang bagaikan hidup,
bergerak-gerak, seperti tertiup angin. Tercium aroma
sup kubis dan bau toko sepatu.

Bayi itu menangis. Lama sekali dan meraung-raung dan
terus menerus menangis; tapi dia terus saja
menjerit-jerit, tanpa ada yang tahu kapan akan
berhenti. Dan Varka mengantuk. Matanya bagaikan
direkat oleh lem, kepalanya tertunduk lemah, lehernya
terasa sa kit. Dia tak sanggup menggerakkan bulu mata
atau bibirnya, dirasanya wajahnya mengering dan
menjadi ringan, seolah-olah kepalanya mengecil
seukuran pentul korek api.

"Tidurlah, tidur, bayiku sayang," gumamnya, "aku
memasak bubur untukmu ..."

Sebuah ceret terjerang di atas perapian. Melalui pintu
di ruang sebelah tampak pemilik sekaligus pelayan toko
sepatu Afanasy sedang sibuk mendengkur ... Ayunan bayi
berderit perlahan, Varka bergumam - dan semua suara
itu berbaur dalam musik malam yang begitu manis
didengar saat seseorang berbaring tenang di atas
ranjang. Tapi kini musik itu terasa menggelisahkan dan
menekan, karena membuat orang mengantuk, padahal Varka
tak boleh tertidur. Jika Varka sampai - Tuhan
melarang! - jatuh tertidur, majikannya dan istrinya
akan memukulnya.

Lentera itu berkedip. Bias sinar kehijauan dan
bayangan memanjang bergerak-gerak, memaksa tampak di
mata Varka yang separuh terbuka, dan dalam benaknya
yang separuh sadar membayang wujud-wujud kabur. Dia
melihat awan gelap berkejaran di angkasa dan
menjerit-jerit seperti seorang bayi. Tapi kemudian
angin bertiup menyibak awan dan Varka melihat sebuah
jalan panjang yang lebar tertutup lumpur becek; di
sepanjang jalan memanjang deretan kendaraan, sementara
orang-orang dengan dompet terkepit di punggungnya
berlalu-lalang; pada kedua tepi jalan dilihatnya hutan
di sela-sela kabut dingin. Tiba-tiba orang-orang yang
mengepit dompet itu berjatuhan di tanah becek
berlumpur. "Untuk apa kalian menjatuhkan diri?" tanya
Varka. "Untuk tidur!" jawab mereka. Dan mereka pun
jatuh tertidur, tidur dengan nyenyak, sementara itu
burung-burung gagak bertengger di atas kabel telegraf,
menjerit-jerit seperti bayi, mencoba membangunkan
mereka.

"Tidurlah, tidur, bayiku sayang, akan kunyanyikan lagu
untukmu," gumam Varka, dan kini ia melihat dirinya
berada dalam sebuah pondok gelap berdebu.

Mendiang ayahnya, Yefim Stepanov, berguling-guling
dari satu sisi ke sisi lain di lantai. Varka tak
melihatnya, tapi ia mendengar rintihannya dan suaranya
berguling-guling di lantai karena kesakitan.
"Keberaniannya telah musnah," seperti perkataan
ayahnya; rasa sakit itu begitu kejam sehingga ayahnya
tak mampu mengucapkan sepatah kata pun, dan hanya
mampu mendenguskan nafasnya dan menggertakkan gigi
seperti suara geraman.

Ibunya, Pelageya, berlari ke rumah majikannya untuk
mengabarkan bahwa Yefim sedang sekarat. Dia telah
pergi begitu lama dan mestinya sudah kembali. Varka
terjaga di atas perapian dan mendengar geraman
ayahnya. Lalu dia mendengar seseorang bergegas menuju
gubuk itu. Seorang dokter muda dari kota yang dikirim
dari rumah besar yang kebetulan sedang dia kunjungi.
Dokter itu masuk ke dalam gubuk; dia tak bisa melihat
dalam kegelapan, tapi terdengar suara batuknya dan
derak pintu.

"Nyalakan lilin," katanya.

Yefim menjawabnya dengan suara erangan.

Pelageya bergegas menuju perapian dan mencari korek
api. Semenit berlalu dalam keheningan. Dokter itu
menyadari ada korek api di sakunya, lalu menyalakannya
sebatang.

"Sebentar, Tuan, Sebentar," ujar Pelageya. Ia bergegas
keluar dari gubuk itu, dan tak berapa lama kemudian
kembali dengan sebatang lilin.

Pipi Yefim bersemu kemerah-merahan dan matanya
berkilat-kilat, lirikannya terkesan liar, seolah-olah
dia melihat jelas pemandangan di dalam gubuk dan
dokter itu.

"Ada apa? Apa yang kaupikirkan?" ujar dokter itu
sambil merebahkan Yefim ke ranjang. "Ah, apakah kau
telah menderitanya cukup lama?"

"Apa? Sekarat, Tuan, waktuku telah tiba ... Aku tak
akan lagi berkumpul dengan mereka yang hidup ..."

"Jangan membual! Kami akan menyembuhkanmu!"

"Sesukamulah, Tuan, kami amat berteriam kasih ... Maut
telah tiba, inilah saatnya."

Dokter itu menghabiskan waktu seperempat jam untuk
memeriksa Yefim, lalu dia bangkit dan berkata, "Aku
tak bisa berbuat apa-apa. Kau mesti dikirim ke rumah
sakit untuk dioperasi. Mesti pergi sekarang juga ...
Kau harus pergi! Sudah hampir terlambat, mereka
sebentar lagi sudah pada tidur, tapi tak apa-apa, aku
akan memberimu surat pengantar. Kau dengar?"

"Itu baik sekali, Tuan, tapi dengan kendaraan apa dia
pergi?" ujar Pelageya. "Kami tak punya kuda."

"Tak masalah. Aku akan bilang pada majikanmu agar
meminjamimu seekor kuda."

Dokter itu pergi membawa lilin yang menyala, dan
lagi-lagi terdengar suara geraman. Setengah jam
kemudian seseorang masuk ke dalam gubuk. Sebuah kereta
dikirim untuk membawa Yefim ke rumah sakit. Dia segera
bersiap dan berangkat...

Namun, kini pagi yang jernih dan terang telah
menjelang. Pelageya tak ada di rumah; dia pergu ke
rumah sakit untuk menengok Yefim. Entah di suatu
tempat terdengar suara tangis bayi, dan Varka
mendengar seseorang bernyanyi dengan suara miliknya,
"Tidurlah, tidur, bayiku sayang, akan kunyanyikan lagu
untukmu."

Pelageya telah kembali; dia membuat tanda salib di
dadanya dan berbisk, "Mereka membawanya di malam hari,
tapi menjelang pagi dia telah menyerahkan jiwanya pada
Tuhan ... Kerajaan Surga telah menerimanya dan
kedamaian abadi kini bersamanya ... Mereka bilang dia
terlambat dibawa ke rumah sakit ... Mestinya dia pergi
lebih awal ..."

Varka pergi ke jalan dan menangis di sana, tetapi
tiba-tiba seseorang memukul belakang kepalanya begitu
keras sehingga wajahnya membentur sebatang pohon. Dia
membuka matanya dan melihat tepat di depan mukanya,
wajah majikannya, si tukang sepatu.

"Apa yang kau lakukan, pelacur busuk?" bentaknya.
"Anak itu menangis dan kamu malah tidur!"

Dia menampar Varka di belakang telinganya. Varka
menggoyangkan kepalanya, lalu ia mengayun-ayunkan
ayunan bayi, dan menyenandungkan lagu nina bobo. Bias
sinar kehijauan dan bayangan yang ditimbulkan oleh
celana serta pakaian bayi bergoyang-goyang,
mengangguk-angguk padanya, dan dengan cepat
mempengaruhi pikirannya lagi. Kembali dia melihat
jalan raya yang tertutup oleh lumpur becek. Dilihatnya
orang-orang yang membawa dompet di punggung mereka dan
bayangan-bayangan itu rubuh, lalu jatuh tertidur
dengan cepatnya. Melihat mereka, Varka merasa amat
ingin tidur; dia bersiap membaringkan diri dengan
nyaman, tetapi Pelageya ibunya berjalan di sisinya,
mengajaknya segera bergegas. Mereka cepat-cepat
bergerak menuju kota untuk melihat-lihat keadaan.

"Beri kami sedekah, demi Tuhan!" ratap ibunya pada
orang-orang yang mereka temui. "Tunjukkan pada kami
Kasih Tuhan, kebaikan hati orang-orang yang lembut!"

"Bawa bayi itu kemari!" sebuah suara yang amat
dikenalnya terdengar. "Bawa bayi itu ke sini!" ulang
suara yang sama, kali ini dengan nada kasar dan marah.
"Apakah kau tidur, gadis brengsek?"

Varka terlompat dan terengah-engah melihat berkeliling
mencari tahu apa yang terjadi; tak ada jalan raya, tak
ada Pelageya, tak ada orang-orang yang mereka temui,
yang ada hanyalah majikan perempuannya yang datang
untuk menyusui bayi dan berdiri di tengah ruangan.
Saat perempuan gemuk berbahu lebar itu menggendong
bayinya dan menenangkannya, Varka berdiri melihatnya
dan menunggu hingga selesai. Di luar jendela, langit
mulai membiru, bayang-bayang dan bias kehijauan di
langit-langit ruangan tampak memucat, pagi sepertinya
akan segera tiba.

"Gendong, dia," kata majikan perempuannya sambil
mengancingkan baju di atas dadanya. "Dia menangis."

Varka mengambil bayi itu, meletakkannya di ayunan, dan
kembali mengayun-ayunkannya. Bias kehijauan dan
bayang-bayang itu perlahan menghilang, kini tak ada
lagi yang memaksa matanya untuk melihat dan membuat
benaknya berawan. Namun, dia tetap saja mengantuk
seperti sebelumnya. Benar-benar mengantuk setengah
mati! Varka menyandarkan kepalanya di ujung ayunan dan
mencoba menggoyang-goyangkan seluruh tubuhnya untuk
mengatasi rasa kantuk, tapi matanya tetap serasa
lengket dan kepalanya terasa berat.

"Varka, nyalakan perapian!" didengarnya suara
majikannya dari balik pintu.

Sekarang waktunya untuk bangun dan bekerja. Varka
meninggalkan ayunan dan bergegas memotong kayu bakar.
Dia merasa senang. Saat ia bergerak dan melakukan
sesuatu, rasa kantuk tak akan terasa sebesar bila ia
duduk. Varka membawa kayu-kayu itu, menyalakan
perapian dan merasakan wajahnya yang kaku melembut
kembali. Pikirannya terasa lebih jernih.

"Varka, siapkan samovar!" teriak majikannya.

Varka sedang menyiapkan samovar dan sebelum ia sempat
menyelesaikan pekerjaannya itu, di dengarnya perintah
baru, "Varka, bersihkan sepatu tuanmu!"

Varka duduk di atas lantai dan membersihkan sepatu
karet itu. Ia membayangkan betapa sedapnya jika ia
menaruh kepalanya di dalam sebuah sepatu karet yang
besar dan dalam, lalu tidur sejenak di situ ... Dan
tiba-tiba sepatu itu tumbuh, membesar, memenuhi
seluruh ruangan. Varka menjatuhkan sikat sepatu yang
dipegangnya, tetapi ia segera menggoyang-goyangkan
kepalanya, membuka matanya lebar-lebar, lalu mencoba
melihat pada benda-benda lain yang ternyata tak tumbuh
membesar dan bergerak di depan matanya.

"Varka, bersihkan tangga rumah di luar sana; aku malu
pada para pembeli yang datang kemari!"

Varka membersihkan tangga rumah, menyapu dan
membersihkan kamar-kamar, lalu menyalakan perapian
yang lain dan berlari ke toko. Ada banyak pekerjaan
menanti di situ: tak semenitpun ia bisa bebas.

Namun, tiada yang lebih berat daripada berdiri di
tempat yang sama terus menerus di depan meja dapur
sambil mengupas kentang. Kepalanya rubuh di atas meja,
kentang-kentang itu menari-nari di depan matanya, dan
pisau terlepas dari genggaman tangannya saat majikan
perempuannya yang gemuk marah dan berjalan di dekatnya
dengan lengan baju tersingsing. Perempuan itu
berbicara dengan suara nyaring yang terdengar seperti
dentang lonceng di telinga Varka. Cukup menyiksa juga
baginya saat-saat menunggu makan malam, mencuci, dan
menjahit. Ada beberapa saat ketika dia rindu untuk
berbaring di lantai tanpa mempedulikan apapun, dan
tidur.

Siang pun telah berlalu. Melihat pemandangan di luar
jendela menjadi gelap, Varka menekan kedua pipinya
yang terasa bagaikan terbuat dari kayu, dan tersenyum,
walaupun ia tak tahu apa sebabnya. Bayang-bayang senja
menyapu matanya sehingga sulit sekali menjaganya untuk
tetap terbuka, dan dia berjanjia pada diri sendiri
untuk segera tidur. Di petang harinya para tamu
datang.

"Varka, hidangkan samovar!" teriak majikannya.

Samovar tinggal sedikit, dan sebelum para tamu meminum
teh yang mereka inginkan, Varka harus menghangatkanna
lima kali. Setelah menghidangkan teh Varka berdiri
selama sejam di pojok yang sama, menatap pada para
tamu, dan menunggu perintah.

"Varka, pergilah sebentar dan beli tiga botol bir!"

Dia beranjak pergi, dan mencoba berlari secepat
mungkin untuk mengusir rasa kantuk.

"Varka, tuangkan vodka! Varka, di mana pembuka tutup
botol? Varka bersihkan dendeng ikan!"

Namun, akhirnya tamu-tamu itu pergi; lampu-lampu
dimatikan, dan sang majikan beserta istrinya pergi
tidur.

"Varka, nina bobokan bayi itu!" dia mendengar perintah
terakhir.

Ceret terjerang di atas perapian, bias bayang-bayang
kehijauan di langit-langit dan bayangan celana panjang
serta pakaian bayi yang tergantung memaku pandangan
Varka yang setengah terbuka, berkedip-kedip padanya
dan membayangi benaknya.

"Tidurlah, tidur, bayiku sayang," gumamnya mencoba
bersenandung, "akan kunyanyikan lagu untukmu."

Dan bayi itu menjerit, merobek-robek suasana dengan
jeritannya. Kembali Varka melihat jalan besar yang
berlumpur, orang-orang yang membawa dompet, Pelageya
ibunya, Yefim ayahnya. Dia mengerti semuanya, dia
mengenal semua orang itu, tetapi dalam separuh
tertidur ia tak mampu mengerti kekuatan yang
mengekangnya, tangan dan kakinya, memberati tubuhnya,
dan menghalanginya dari kehidupan nyata. Dia melihat
berkeliling, mencari kekuatan yang bisa membuatnya
lari dari hal itu, tapi tak ditemukannya. Akhirnya,
dengan amat lelah, dia membentangkan sepasang matanya,
menatap pada cahaya kehijauan yang berkelip-kelip, dan
mendengarkan, pada suara jeritan, menemukan musuh yang
telah mengganggu hidupnya.

Musuh itu adalah si bayi.

Varka tertawa. Terasa aneh baginya karena gagal
menemukan hal sesederhana itu sebelumnya. Bias cahaya
kehijauan, bayangan baju dan ceret di perapian tampak
tertawa dan keheranan pula akan hal itu.

Halusinasi itu menguasai Varka. Dia bangkit berdiri
dan dengan senyum lebar di wajahnya, dengan mata tak
berkedip, dia berjala melintasi ruangan itu. Dia
merasa senang dan terpaku pada pikiran bahwa dia akan
melepaskan diri dari bayi yang telah mengekang tangan
dan kakinya ... Bunuh bayi itu, lalu tidur, tidur,
tidur ...

Seraya tertawa dan mengedip-ngedipkan matanya, Varka
menggoyang-goyangkan jemarinya pada bias cahaya
kehijauan. Ia mengendap-ngendap ke arah ayunan dan
membekap bayi itu. Ketika usai menuntaskan perlawanan
bayi itu, dengan cepat dibaringkannya tubuhnya di atas
lantai. Ia tertawa senang karena akan bisa tidur
dengan leluasa. Sejenak kemudian Varka telah tertidur
pulas seperti orang mati. (72)


Anton Chekhov (1860-1904) adalah cerpenis dan dramawan
terkemuka Rusia dan dunia. Pengarang produktif ini
juga berprofesi sebagai dokter. Selain sejumlah cerita
pendek yang dikenal luas di berbagai belahan dunia,
beberapa naskah dramanya antara lain The Cherry
Orchard (1896) dan Uncle Vanya (1902). Cerpen di atas
diterjemahkan oleh Anton Kurnia dari judul semula
Sleepy dalam Steppe and Other Stories, Everyman's
Library, London, 1991. 
 
 
  
Copyright © 2000 


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Yahoo! Finance - Get real-time stock quotes
http://finance.yahoo.com

------------------------ Yahoo! Groups Sponsor ---------------------~-->
4 DVDs Free +s&p Join Now
http://us.click.yahoo.com/pt6YBB/NXiEAA/MVfIAA/x3XolB/TM
---------------------------------------------------------------------~->

To unsubscribe from this group, send an email to:
koran-salatiga-unsubscribe@yahoogroups.com

 

Your use of Yahoo! Groups is subject to http://docs.yahoo.com/info/terms/