[Karawang] [Nasional] Agama dan Otentisitas Islam

He-Man karawang@polarhome.com
Sun Oct 27 00:37:16 2002


-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH
-----------------------------------------------------------------------
Republika
Jumat, 25 Oktober 2002

Agama dan Otentisitas Islam
Oleh : Azyumardi Azra

Munculnya berbagai gerakan Islam yang cukup menonjol dalam beberapa tahun
terakhir pasca-jatuhnya Soeharto yang dipimpin warga 'keturunan Arab'
menarik dicermati. Kenyataan ini bisa dilihat dari kepemimpinan puncak
kelompok seperti Lasykar Jihad (LJ), Front Pembela Islam (FPI), Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Ikhwan al-Muslimun Indonesia (JAMI), dan
lain-lain. Pemimpin utama LJ adalah Ja'far Umar Thalib; FPI adalah habib
Rizieq Shihab, MMI adalah Abu Bakar Ba'asyir, JAMI adalah Al-Habshi.

Kelompok-kelompok seperti ini menjadi menonjol terutama karena pemahaman
keagamaan yang cenderung literal dan aksi-aksi mereka yang cenderung radila.
LJ misalnya terkait dengan "jihad" di Maluku dan Ambon; FPI dengan razia dan
perusakan kafe, diskotik, klub-malam, tempat-tempat perjudian dan
lokasi-lokasi maksiat lainnya. Sedangkan pimpinan MMI Abu Bakar Baasyir
bahkan disebut banyak kalangan asing (seperti majalah Time), pemerintah AS,
Lee Kuan Yew, dan lain-lain sebagai pimpinan organisasi Jamaah Islamiyah
(JI) yang memiliki jaringan di Asia Tenggara (khususnya Singapura dan
Malaysia), dan selanjutnya dianggap berkaitan (allegendly linked) dengan
jaringan Al-Qaidah.

Fenomena kemunculan kelompok-kelompok ini sangat terlihat pada masa
pasca-Soeharto. Visibilitas itu semakin terlihat karena liputan media massa,
khususnya tv, sehingga menimbulkan luasnya pengaruh gerakan mereka. LJ
misalnya pernah menyelenggarakan Tabligh Akbar di Stadion Utama Senayan
untuk menunjukkan solidaritas terhadap kaum Muslimin di Maluku.

Mereka menghimbau agar kaum Muslimin melakukan jihad menghadapi golongan
Kristen di Maluku. Kelompok-kelompok ini juga menghimbau penerapan syari'ah
Islam oleh negara untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi Indonesia.
Selain itu, kelompok-kelompok seperti ini menolak kepemimpinan perempuan
dengan alasan gender; bahwa Islam tidak membenarkan perempuan menjadi
pemimpin.

Mengamati pemahaman Islam, wacana dan praksis yang mereka kembangkan, maka
secara singkat kelompok-kelompok ini dapat dikategorikan sebagai kelompok
"salafi radikal", yang berorientasi kepada penegakan dan pengamalan "Islam
yang murni", "Islam otentik" yang dipraktekkan Nabi Muhammad dan para
sahabatnya. Mereka disebut sebagai "salafi radikal" karena mereka cenderung
menempuh pendekatan dan cara-cara keras untuk mencapai tujuan, daripada
dengan pendekatan dan cara-cara damai dan persuasif.

Kemenonjolan warga keturunan Arab dalam kepemimpinan kelompok-kelompok
seperti ini pada segi tertentu tidak mengherankan. Hal ini karena secara
historis dan sosiologis, terdapat warga keturunan Arab yang memandang bahwa
diri mereka -- sebagai keturunan Arab -- memiliki tugas suci u ntuk
"memurnikan Islam Indonesia" dan membawanya menjadi "Islam murni", "Islam
otentik" sebagaimana dipahami dan dipraktekkan di tanah Arab. Islam
Indonesia dipandang sebagai "Islam tidak murni" yang telah tercampur dengan
kepercayaan dan praktek keagamaan lokal.

Kajian-kajian komparatif tentang Islam Timur Tengah dengan Islam Indonesia
yang dilakukan para ahli seperti Prof. Nikki Keddie (UCLA) dan Dr Mona Abaza
(American University, Kairo) menunjukkan, terdapatnya pandangan di kalangan
orang-orang Arab baik di Timur Tengah maupun di Indonesia sendiri, bahwa
Islam Timur Tengah "lebih baik", "lebih otentik", "lebih murni" dibandingkan
dengan Islam Indonesia. Penelitian dan kajian mereka juga membuktikan, bahwa
sebenarnya pemahaman dan praktek Islam yang tidak murni juga terdapat di
Timur Tengah; penyimpangan terhadap norma-norma Islam juga dapat ditemukan
di mana-mana di Timur Tengah.

Penampilan warga keturunan dalam kelompok-kelompok yang disebutkan di atas
dalam segi-segi tertentu akan dan dapat menimbulkan kesan, bahwa seluruh
warga keturunan Arab memiliki pemahaman dan praksis Islam seperti itu.
Persepsi seperti ini adalah keliru, karena sesungguhnya warga keturunan Arab
tidaklah monolitik, sebaliknya mereka plural; mereka beragam bahkan tidak
hanya dalam pandangan dan praksis keagamaan, teapi juga dalam stratifikasi
sosial, yang pada gilirannya mempengaruhi sikap dan interaksi mereka dengan
kaum Muslim pribumi Islam.

Karena itu, jika dilakukan klasifikasi sikap keagamaan yang terdapat di
kalangan warga keturunan Arab, maka dapat ditemukan tiga kelompok besar:
pertama, kelompok moderat, yang pemahaman dan praktek keagamaannya sama atau
sebagian besarnya sama dengan mainstream mayoritas Muslim Indonesia,
sebagaimana lazim terlihat dalam organisasi-organisasi besar seperti NU,
Muhammadiyah.

Dari kalangan warga keturunan Arab, kelompok ini diwakili misalnya oleh
organisasi Jami'at Khair dan al-Irsyad, dan kelompok-kelompok atau
individu-individu keturunan Arab lainnya. Kedua, kelompok "sekuler", yang
tidak memiliki perhatian dan kepedulian khusus kepada hal-hal yang berbau
Islam. Mereka ini tidak terbentuk menjadi kelompok yang solid, dan
sebaliknya lebih merupakan individu-individu independen yang cenderung tidak
terkait -- apalagi aktif -- dalam gerakan Islam maupun wacana Islam. Ketiga,
kelompok "salafi radika" yang kemudian menjadi pemimpin kelompok-kelompok
yang disebutkan di awal.

Keragaman warga keturunan Arab di Indonesia juga berkaitan dengan asal
daerah mereka di Timur Tengah. Di Indonesia terdapat warga keturunan Arab
yang berasal dari Mesir, Arab Saudi, Iraq, dan Yaman. Belum pernah dilakukan
penelitian tentang asal muasal daerah ini, tetapi bisa dipastikan bahwa
mayoritas warga keturunan Arab di Indonesia berasal dari kawasan Hadhramaut,
Yaman Selatan.

Imigrasi orang-orang Hadhramaut ke Indonesia dalam jumlah besar dan massif
terjadi terutama sejak abad 19, dan kemudian mereka membentuk
enklave-enklave di berbagai kota di Indonesia; Petamburan dan Kwitang
(Batavia), Pekalongan, Surakarta, Surabaya, Pontianak, Palembang, dan
lain-lain. enklave-enklave ini sebagiannya masih bertahan, sebagiannya lagi,
karena urbanisasi, telah bercampur dengan warga-warga lainnya.

Secara sosiologis, warga keturunan Hadhramaut di Indonesia mewarisi
stratifikasi sosial yang rumit sebagaimana terdapat di tanah leluhur mereka.
Secara garis besar stratifikasi sosial itu adalah sebagai berikut: Pertama,
golongan sayyid (perempuannya, syarifah), yakni mereka yang merupakan
keturunan Nabi Muhammad. Kelompok sayyid ini dapat dibagi pula menjadi dua:
sayyid relijius yang berorientasi pada Islam, yang kemudian umumnya
menggunakan gelar habib (atau haba'ib).

Kedua, sayyid yang tidak secara khusus berorientasi Islam, jika tidak dapat
disebut "sekuler". Kaum sayyid pada dasarnya hanya melakukan perkawinan di
antara mereka sendiri dengan alasan kafa'ah (sederajat). Kedua, kelompok
qaba'il, yang merupakan kepala-kepala atau kalangan pemuka kabilah, suku,
atau klan. Ketiga, kelompok masyayikh atau syekh-syekh, ulama yang merupakan
ahli-ahli agama, yang tidak merupakan sayyid. Mereka bisa juga datang dari
kalangan qaba'il. Keempat, kelompok "muwallad", yakni golongan "peranakan",
yang darahnya tidak lagi murni Hadrami, sudah tercampur melalui perkawinan
dengan etnis lain.

Kontes dan pertarungan pengaruh terjadi di antara berbagai kelompok ini. Di
Indonesia, misalnya, hal ini dapat dilihat dari terjadinya konflik di antara
kelompok sayyid dan non-sayyid dalam organisasi Jami'at Khair pada awal abad
20, yang berakhir dengan keluarnya kelompok non-sayyid dari Jami'at Khayr
untuk selanjutnya mendirikan organisasi baru, al-Irsyad. Pertarungan dan
persaingan ini nampaknya terus berlanjut membuat organisasi warga keturunan
Arab cenderung rentan terhadap perpecahan, seperti bisa dilihat dalam
al-Irsyad belum lama ini.

Kontes, persaingan, dan perebutan pengaruh sebenarnya juga terjadi di antara
kepemimpinan warga keturunan Arab dengan kepemimpinan Muslim pribumi, meski
ini lebih terselubung, tidak terkuak secara jelas ke permukaan. Dengan
berbagai pretensi yang mereka miliki, sebagaimana diisyaratkan di atas,
terdapat kecenderungan dan gejala di kalangan kepemimpinan warga keturunan
Arab dengan orientasi "salafi radikal" untuk tidak terlalu mempercayai
kepemimpinan Muslim pribumi.

Bagi mereka terdapat kesan, bahwa kepemimpinan terakhir ini terlalu
"kompromistis" dan "akomodatif" baik terhadap kepemimpinan politik Indonesia
maupun situasi sosial-budaya Indonesia yang menghadapi berbagai "penyakit"
berat. Pandangan yang cenderung sama juga kelihatannya berlaku terhadap
organisasi-organisasi keturunan Arab yang telah mapan, seperti Jami'at Khair
dan al-Irsyad.

Berdasarkan alasan inilah maka kepemimpinan warga keturunan Arab dengan
orientasi "salafi radikal" tadi, cenderung mendirikan kelompoknya
sendiri-sendiri, sehingga mereka percaya bisa lebih efektif dalam usaha
mewujudkan agenda-agenda mereka. Karena tema-tema wacana dan praksis yang
mereka angkat cukup kontekstual dengan situasi sosial-budaya dan politik
Indonesia, maupun dengan situasi politik internasional -- khususnya dalam
kaitan dengan AS -- maka kelompok-kelompok dan gerakan mereka dengan segera
mendapatkan keanggotaan yang tidak terbatas pada warga keturunan Arab,
tetapi juga mencakup Muslim pribumi.
Meningkatnya pencarian "otentisitas Islam" di kalangan masyarakat Indonesia
umumnya dalam dua dasawarsa terakhir ini membuat kelompok-kelompok "salafi
radikal" tadi menjadi alternatif menarik bagi sebagian orang yang tengah
mencari "Islam otentik" tersebut.

Menghadapi gejala sosio-relijius ini, sudah pada tempatnya
organisasi-organisasi besar seperti Muhammadiyah dan NU merumuskan pemikiran
dan program alternatif. Kehausan dan pencarian "Islam otentik" nampaknya
akan terus berlanjut, dan waktunya Muhammadiyah, NU dan
organisasi-organisasi mainstream lainnya bersikap lebih pro-aktif untuk
mengantisipasi perkembangan seperti ini. Wallahu a'lam bish shawab.

Gurubesar Sejarah dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-m: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
Nasional-a:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
Nasional-e:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-e/
------------------Mailing List Nasional------------------