[Karawang] Tafsir Al-Quran Perlu Direvisi Agar Berperspektif Jender

Ambon karawang@polarhome.com
Thu Oct 24 03:00:07 2002


Media Indonesia
 Kamis, 10 Oktober 2002 21:33 WIB

Tafsir Al-Quran Perlu Direvisi Agar Berperspektif Jender


GURU BESAR Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta Prof
D Nasaruddin Umar mengharapkan Depag dapat merevisi terjemahan Al-Quran agar
lebih bersperpektif jender. Terjemahan Depag selama ini hanya mendasarkan
pada tafsir klasik.

NASARUDDIN seusai berbicara pada seminar 'Bias Jender dalam Penafsiran
Al-Quran yang diselenggarakan Universitas Negeri Jakarta (UNJ), belum lama
ini di Jakarta mengatakan, terjemahan Al-Quran yang diterbitkan Depag selama
ini hanya mendasarkan pada tafsir klasik.

Penafsiran klasik itu, menurut dia, dilakukan oleh beberapa ulama yang
hidupnya dalam budaya yang hanya menjunjung tinggi posisi laki-laki
(patriaki).

Untuk kesetaraan dan keadilan antara hak dan kewajiban laki-laki dan
perempuan, maka penafsiran klasik Al-Quran itu perlu direvisi dengan
mempertimbangkan budaya kesetaraan, kata Nasaruddin.

Ia juga menyarankan agar dalam revisi penafsiran Al-Quran itu benar-benar
sesuai makna aslinya dan tak bias jender. Untuk itu, dalam pelaksanaan nanti
Depag hendaknya membentuk konsorsium dari berbagai disiplin ilmu.

Dalam seminar yang dipandu Pimpinan Umum Antara Mohamad Sobary itu,
Nasaruddin mencontohkan terjemahan bahwa laki-laki memimpin perempuan
sebagai kurang tepat. "Yang benar adalah laki-laki sebagai pendamping
perempuan," katanya menegaskan.

Pembantu Rektor III UIN Jakarta itu juga menjelaskan bahwa akhlak dalam
Al-Quran mengajarkan monogami, artinya seseorang laki-laki hanya berhak
mempunyai satu istri.

Sedangkan tafsiran mengenai poligami, katanya, mengandung persyaratan berat,
yakni seorang laki-laki dituntut bisa bertindak adil terhadap semua istri,
sementara untuk bertindak adil itu sulit diukur.

"Dengan demikian, penafsiran bahwa pria bisa menikah dengan empat perempuan
hampir mustahil karena persyaratan yang berat itu," ujarnya.

Ia juga mengharapkan masyarakat agar dalam membaca ayat-ayat jender pada
Al-Quran dilakukan secara komprehensif sehingga bisa membedakan hal yang
normatif dengan yang kontekstual.

SEMENTARA itu, Menteri Agama Said Agil Husein Almunawar dalam sambutan
tertulisnya menyatakan setuju adanya penafsiran Al-Quran, khususnya terhadap
penafsiran yang diskriminatif dan membelenggu perempuan.

Menurut Menteri, perlu dilakukan tafsiran yang menempatkan perempuan pada
posisi yang proporsional sesuai ajaran Islam.

Sedangkan moderator Mohamad Sobary mengatakan perlakuan tidak adil terhadap
perempuan juga terekonstruksi dalam kebudayaan karena diwariskan dari
generasi ke generasi secara berkelanjutan tanpa kritik.

Karena itu masyarakat harus bersikap kritis pada agama dengan mengkritisi
cara ulama terdahulu memahami dan menafsirkan ayat Al-Quran karena konteks
kebudayaan masa lalu.

Hal senada juga dikemukakan pemerhati perempuan Dr Cut Kamaril Wardhani.
Katanya, umat Islam di Indonesia perlu meningkatkan pemahaman kesetaraan
jender agar dapat menempatkan kedudukan setara antara pria dan perempuan.

Ketua Pusat Studi Wanita Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu menyatakan,
sebagian besar umat Islam Indonesia belum responsif pemahaman jender.

Belum responsif jender karena umat Islam masih berpegang pada tafsir atau
terjemahan ayat-ayat Al-Quran dinilai bias jender, karena penyusunnya hidup
dalam budaya menempatkan derajat kaum pria di atas perempuan.

Untuk itu, pemerintah dan kalangan ulama perlu memperbaiki tafsir ayat
Al-Quran yang dinilai bias jender atau tidak menempatkan kedudukan perempuan
setara dan berkeadilan dengan pria.

Al-Quran telah mengatur hak dan kewajiban setara dan berkeadilan antara
perempuan dengan kaum pria, seperti menuntut ilmu yang tinggi, bekerja
sesuai kemampuan dan berperanserta memajukan kehidupan bangsanya.

Dengan demikian, para ulama, pendidik dan tokoh masyarakat dapat
mensosialisasikan kesetaraan dan keadilan jender antara kaum laki-laki dan
perempuan, sehingga perempuan memiliki kualitas SDM yang tinggi.

Sementara itu, guru besar Universitas Trisakti Prof Dr Maftuchah Yusuf
mengharapkan, hasil seminar ditindaklanjuti dengan mengintegrasikan ke dalam
materi dakwah agama Islam dan kurikulum pendidikan agama dan sosial budaya.

Selain itu, perlu didirikan Pusat Kajian Bias Jender Dalam Tafsir Al-Quran
di sejumlah ormas perempuan Islam, sehingga hasil kajian bisa
diimplementasikan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan negara.

Maftuchah mengusulkan kepada Depag dan ormas perempuan Islam agar memantau
peraturan dan ketidakadilan jender di berbagai bidang, seperti politik,
ekonomi, sosial dan budaya.

Ketidakadilan jender bagi perempuan dalam lingkungan keluarga sangat
mencolok, dan terjadi salah tafsir menempatkan bahwa perempuan, istri, ibu,
dan anak gadis sebagai manusia kelas dua.

"Segala pekerjaan rumah tangga dari pagi hingga malam dibebankan kepada
perempuan. Padahal setiap anggota keluarga baik ayah, ibu, anak laki-laki
dan perempuan harus diberi kesempatan dan kemudahan yang sama agar
betul-betul sehat, bahagia dan sejahtera," kata Prof Dr Maftuchah Yusuf.

Menurut guru besar Universitas Trisakti dan UNJ itu, ibu sebagai pendidik
utama dan pertama harus diberi kemampuan mendidik anak laki-laki dan
perempuannya agar menjadi orang bertakwa, sehat rohani jasmani, disiplin,
senang kerja keras, rasional, dan bertanggung jawab.

Namun di puluhan juta keluarga ibu-ibu tersebut keadaan dan kondisinya tidak
sesuai dengan tugasnya sebagai pendidik. Akibat yang menomorduakan perempuan
sebagian dari ibu-ibu itu masih setengah buta huruf, nrimo, patuh, pasrah
melaksanakan apa yang ditugaskan suami, dan tidak mengetahui apa hak-haknya
sebagai makhluk yang setara dengan laki-laki.

"Meski banyak sekali yang sudah terdidik, namun akibat didikan mereka di
rumah yang menempatkan perempuan sebagai mahluk nomor dua, maka rasa
kurangnya, rasa ketidakpercayaan dirinya, dan rasa takut ditertawakan masih
melekat pada mereka," kata wanita aktif berusia 82 tahun itu.

Namun demikian, Dr Maftuchah yang telah 65 tahun menjadi pendidik itu
mengatakan yakin bahwa ajaran Kitab Suci Al-Quran tidak mengajarkan adanya
ketidakadilan, kesewenang-wenangan, pelecehan, dan perlakuan yang
membelenggu serta membatasi gerak perempuan untuk berprestasi dan beramal.

SEMERNTARA itu budayawan Mohamad Sobary MA yang berbicara tentang
'Marginalisasi Kaum Perempuan Dalam Kebudayaan Kita' mengatakan tidak mau
berkompromi, dan tidak mau menerima alasan bahwa sebuah kata atau ungkapan
tidak demokratis atau melecehkan perempuan sekadar guyonan dan sengaja.
Pendidikan agama, atau perlakuan keagamaan yang tidak adil terhadap
perempuan juga terkonstruksi di dalam kebudayaan.

"Itu diwariskan dari generasi ke generasi secara berkelanjutan yang nyaris
tanpa kritik karena agama dipandang tak bisa dikritik," kata Sobary.

Ia juga melihat bahwa dalam novel, film, iklan, dongeng dan mitos yang
secara jelas merupakan cerminan kebudayaan Indonesia, yang di dalamnya
tercermin ungkapan alam bawah sadar, sangat sarat dengan ketidakadilan
terhadap perempuan. (Ant/OL-01)



---
Outgoing mail is certified Virus Free.
Checked by AVG anti-virus system (http://www.grisoft.com).
Version: 6.0.404 / Virus Database: 228 - Release Date: 2002-10-15