[Karawang] Pantai Pisangan.. Obyek Wisata atau Obyek Bencana
karawang@polarhome.com
karawang@polarhome.com
Mon Oct 7 22:24:02 2002
Datum: Mon, 7 Oct 2002 12:03:37 -0700 (PDT)
Von: suhlan pribadie <sulanzana@yahoo.com>
An: karawang-admin@polarhome.com
CC: maulanasy@satumail.com
----------------------------------------------------
Tulisan ini saya sadur dari berbagai sumber... dan kunjungan rutin saya tiap
akhir pekan ke daerah itu. Maklum dari rumah saya cukup dekat ke lokasi..
Pantai Pisangan..Cemara Jaya
Obyek Wisata atau Obyek Bencana
Kesan pertama yang timbul selama perjalanan menuju Desa Cemara Jaya, Kecamatan
Cibuaya, desa paling ujung di ruas jalan Karawang-Sungaibuntu, adalah perjalanan
menuju daerah terpencil, miskin, dan kumuh. Namun, kesan itu mulai terkikis,
ketika di sepanjang perjalanan berpapasan dengan mobil-mobil mulus keluaran
mutakhir, mulai dari jenis minibus hingga sedan.
Bahkan, ketika memasuki kawasan tambak selepas Desa Sungaibuntu, Kecamatan
Pedes, ketika jalan sudah menyempit sehingga sangat pas-pasan untuk berpapasan
dua mobil, mobil-mobil tersebut masih dijumpai melaju dari arah berlawanan.
Kesan pertama tadi berganti dengan pertanyaan besar, dari mana datangnya
mobil-mobil itu? Apa yang mereka lakukan di tengah-tengah tambak yang gelap itu
dan jauh dari mana-mana ini? Ada apa sebenarnya di ujung jalan kian menyempit
itu?
PERTANYAAN itu setengah terjawab setelah memasuki Desa Cemara Jaya, yang
terletak di seberang padang tambak atau empang yang berisi berbagai jenis ikan
bandeng dan udang itu. Dikatakan setengah terjawab, karena sebelum pertanyaan
tadi terjawab sepenuhnya, justru sudah muncul pertanyaan lain yang lebih besar
dan membingungkan.
Mobil-mobil itu ternyata memang berasal dari desa tersebut. Desa itu bergeliat
sepanjang hari. Sampai pukul 20.00 WIB, desa masih bermandikan cahaya. Pasar
desa masih diwarnai hiruk-pikuk kegiatan perekonomian. Suasana itu sungguh
kontras dengan desa-desa sekitarnya.
Tidak hanya itu, di desa yang terdiri atas empat dusun atau kampung, yaitu Dusun
Cemara I, Cemara II, Pisangan, dan Sekong, dipenuhi dengan rumah-rumah besar dan
mewah, berdinding beton, berpilar besar, bercat warna terang, dan berlantai
keramik atau marmer. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda kemiskinan atau
tercium bau amis khas desa nelayan, meskipun deburan ombak laut sudah bisa
terdengar dari deretan rumah-rumah itu.
Namun, pemandangan yang paling unik di tengah keramaian desa di malam hari itu
adalah banyaknya warga keturunan Cina yang membaur bersama-sama warga pribumi.
Perempuan-perempuan berparas cantik, bermata sipit, berkulit putih halus,
berjalan bersama teman-temannya yang berkulit lebih gelap dan berparas pribumi.
Mereka bercanda dengan bahasa campuran Sunda dan Jawa Cirebonan, khas daerah
pantai utara (pantura) Jabar.
Tanpa bermaksud membeda-bedakan suku atau ras, pemandangan tersebut tetap saja
aneh bagi pendatang dan sempat membuat orang lupa sedang berada di sebuah desa
pesisir terpencil berjarak 1,5 jam perjalanan bermobil dari pintu tol Karawang
Barat, Jalan Tol Jakarta-Cikampek.
***
"EMPAT puluh persen penduduk desa ini keturunan Cina," ungkap Dadi Maryadi,
Kepala Desa Cemara Jaya, memulai pembicaraannya dengan Kompas, awal Juni lalu.
Keberadaan warga keturunan Cina yang sudah membaur menjadi penduduk asli desa
itu menjadi keunikan dan keistimewaan Cemara Jaya.
Menurut Dadi, sejak dulu hingga sekarang tidak pernah ada masalah antara
penduduk pribumi dengan warga keturunan Cina. Hubungan antarsuku dan antaragama
terjalin harmonis. Saat ini, terdapat empat agama resmi yang dianut penduduk
Cemara Jaya, yaitu Islam, Kristen, Buddha, dan Kong Hucu.
Mereka saling menghormati dan menghargai. Hari Raya Idul Fitri, yang non-Muslim
berkunjung dan mengucapkan selamat kepada umat Islam. "Sebaliknya, pada saat
Hari Raya Imlek, misalnya, penduduk pribumi dan beragama Islam, berkunjung dan
mengucapkan selamat kepada warga keturunan Cina," ujar Dadi.
Menurut kisah yang berkembang secara turun-temurun, warga keturunan Cina itu
adalah pelarian dari Batavia (Jakarta) pada zaman VOC. Mereka terdampar di
pantai timur Karawang sekitar pertengahan abad ke-17.
***
PENDUDUK keturunan Cina boleh disebut motor penggerak ekonomi desa berpenduduk
4.900 jiwa tersebut. Sebagian besar penduduk desa itu memang bekerja sebagai
buruh tani tambak di tambak dan empang yang dimiliki warga non-pribumi itu.
Tambak seluas 1.300 ha dari luas total desa sebesar 1.400 ha itu memang menjadi
sumber penghidupan utama bagi penduduk desa. Beberapa tahun lalu, tambak di
Cemara Jaya mengalami puncak kejayaan ketika para pemiliknya membudidayakan
udang bago, yang harganya mencapai Rp 80.000/ kg.
Namun, tahun-tahun terakhir ini, budidaya udang bago berkurang drastis karena
kondisi lingkungan di kawasan itu sudah tidak sesuai untuk habitat udang
tersebut. "Udang bago tidak tahan hidup di tambak-tambak karena airnya sudah
terlalu terpolusi," tutur Dadi menirukan keluhan para petani tambak.
Setelah masa udang bago berlalu, petani beralih membudidayakan ikan bandeng.
Hingga saat ini terdapat dua jenis bandeng yang ditanam di tambak-tambak Cemara
Jaya, yaitu bandeng biasa dan bandeng dua jari. Bandeng jenis terakhir ini
adalah bandeng berukuran kecil, seukuran dua jari orang dewasa, dan digunakan
sebagai umpan memancing ikan tuna sehingga sering disebut bandeng tuna.
Dengan harga waktu panen mencapai Rp 600 per ekor bandeng tuna, dan Rp 15.000-Rp
20.000 per kg bandeng biasa, penduduk desa tersebut bisa mempertahankan taraf
hidupnya di atas garis kemiskinan. Data yang dimiliki pemerintah desa
menunjukkan, penghasilan minimal penduduk Cemara Jaya yang menjadi buruh kasar
di tambak-tambak bandeng itu bisa mencapai Rp 10.000-15.000 per orang per hari.
Sementara itu, penghasilan para juragan tambak, yang produknya menjadi andalan
komoditas ekspor Kabupaten Karawang, jelas jauh di atasnya. Tanpa menyebutkan
jumlah tepatnya, Dadi hanya memberi gambaran, tiap hari sedikitnya ada tiga
sampai empat truk kecil yang bolak-balik ke desa itu untuk mengambil bandeng
tuna. "Jika satu truk bisa berisi 10.000-20.000 ekor bandeng tuna dengan harga
Rp 600 per ekor, hitung sendiri lah pendapatan mereka," ujarnya sambil
tersenyum.
Itulah sebabnya, tambah Dadi, masyarakat Karawang dan sekitarnya menjuluki Desa
Cemara Jaya sebagai Desa Dollar.
***
SELAIN memiliki potensi penghasilan yang begitu besar dari tambak-tambak udang
dan bandengnya, desa ini juga memiliki potensi tambang uang lain dari sektor
pariwisata. Pantai Pisangan Indah yang terletak di ujung utara desa tersebut,
sangat potensial untuk dijadikan objek wisata andalan.
Dengan bentangan pantai pasir yang landai dan masih alami sepanjang sekitar tiga
kilometer, Pantai Pisangan Indah menjadi salah satu alternatif tujuan wisata di
Kabupaten Karawang. Menurut Herman (72), seorang pemilik warung makan di pantai
itu, setiap akhir pekan pantai tersebut penuh sesak dengan wisatawan. Mereka
tidak saja berasal dari Karawang, tetapi juga dari Jakarta, Bandung, Serang, dan
Purwakarta. "Apalagi malam tahun baru, wah, sudah tidak ada lagi tempat untuk
bergerak saking penuhnya. Mereka menunggu melihat matahari terbit pertama dari
ufuk timur," papar Herman.
***
AKAN tetapi, seluruh potensi ekonomi, keindahan alam, dan keunikan budaya dan
masyarakat yang dimiliki desa itu terancam musnah dan hilang dalam waktu dekat
karena gempuran abrasi ombak Laut Jawa. "Masyarakat desa ini sudah tidak
bermasalah dalam hal ekonomi, tetapi saat ini kami terancam musnah oleh alam,"
ujar Dadi prihatin.
Ia mengatakan, sejak 1975, Desa Cemara Jaya sudah kehilangan tidak kurang dari
100 hektar lahan akibat abrasi. Proses penggerusan tanah itu hingga sekarang
masih berlangsung dengan laju abrasi mencapai 2 meter/tahun. "Jadi, setiap
tahun, jarak desa dengan laut selalu berkurang dua meter," katanya.
Yang lebih memprihatinkan lagi, belum ada perhatian serius dari pemerintah, baik
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karawang, Pemerintah Provinsi Jawa Barat maupun
pemerintah pusat, untuk menanggulangi bencana alam yang datang secara perlahan
tetapi pasti ini.
"Memang ada bantuan dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-Red) berupa
konstruksi turap (penahan gelombang-Red) dari bambu dan batu di Dusun Cemara II,
tetapi baru bersifat percontohan dengan panjang hanya 50 meter," papar Kepala
Desa Dadi Maryadi. Padahal, total panjang pantai yang terancam abrasi di desa
itu mencapai delapan kilometer.
Satu-satunya usaha menahan ganasnya ombak justru dilakukan secara swadaya oleh
penduduk setempat dengan biaya pribadi dan teknologi seadanya. Kim Yun, seorang
juragan tambak keturunan Cina di Cemara Jaya yang akrab dipanggil Sumo,
mendirikan Yayasan Peduli Lingkungan dengan misi menghambat laju abrasi di
desanya.
Dengan metode sederhana, yaitu meletakkan karung-karung besar berisi pasir di
pantai dengan jarak antar tumpukan karung sekitar 20-30 meter sebagai pemecah
ombak, Kim Yun berusaha menahan keganasan alam Laut Jawa. Menurut Dadi, Kim Yun
sedikitnya sudah merogoh koceknya sendiri sebesar Rp 500 juta untuk proyek itu.
Meski teknologi yang diterapkan Yayasan Peduli Lingkungan masih belum sepenuhnya
efektif karena karung-karung pasir itu mudah hilang dan rusak terseret ombak,
paling tidak abrasi di daerah Muara Lempeng dan Dobolan di bagian utara desa
Cemara Jaya sudah bisa dihambat berkat turap-turap sederhana tersebut. "Bahkan,
luas pantai yang dipasangi karung-karung pasir itu sudah mulai bertambah,"
ungkap Dadi.
***
SEKUAT-KUATNYA penduduk Cemara Jaya berjuang mengantisipasi gerusan ombak itu,
tetap saja mereka membutuhkan dukungan yang lebih besar lagi dari berbagai
pihak. Di samping kebutuhan dana yang tidak bisa dibilang kecil, yang paling
mereka butuhkan adalah teknologi tepat guna berbiaya serendah mungkin untuk
menahan serangan abrasi.
Jika dukungan dan bantuan ini tidak segera datang, desa dollar yang unik dan
memiliki potensi ekonomi sedemikian besar itu dapat dipastikan akan segera
menghilang dari peta. Bisa jadi, desa itu tenggelam, menjadi bagian dari dasar
Laut Jawa.
--------------------------------------------------------------------------------
Do you Yahoo!?
Faith Hill - Exclusive Performances, Videos, & more
faith.yahoo.com